Case 24

10 4 2
                                    

Wajah Tristan keruh saat melihat pesan terakhir sang doi ditarik. Kendati beberapa kali dia mengirim pesan ke handphonenya, tetapi ketika beberapa puluh menit tak dibalas, pemuda itu semakin cemas.

Merasa tak ada gunanya terus diam, dengan cekatan Tristan membuka laptopnya. Tujuan hack kali ini adalah handphone Frida. Matanya perih, meski demikian merasa berpacu dengan waktu dia mengabaikannya sembari mempercepat pergerakan jemari.

Tak berselang lama, dirinya menemukan lokasi handphone Frida, yang sangat berlawanan dengan lokasi yang gadis itu berikan sebelum pesannya dihapus.

Merasa ada hal yang aneh, dia mendial nomor Dadang—yang ia minta beberapa hari yang lalu.

"Halo?" Suara Dadang diseberang sana membuat pemuda itu berseru keras, yang berimbas pada sakitnya telinga Dadang. "Pelan-pelan ngomongnya. Ada apa?" lanjutnya.

"Saya ada permohonan." Mendengar suara Tristan yang serius, Dadang tanpa sadar terhanyut dalam suasana.

"Permohonan apa?"

"Frida hilang," jelas Tristan. Pemuda itu menarik napas sebentar. "Saya mendapat pesan lokasi darinya, tapi tiba-tiba pesan itu terhapus. Beruntungnya alamat lokasi Frida masih ada, jadi saya tahu. Namun, ketika saya melacak handphonenya, lokasinya berbeda dengan alamat yang saya terima. Maksud saya, apa bisa bapak melihat lokasi handphone Frida sedang saya akan pergi ke tempat share locknya diberikan?" tanya Tristan langsung pada intinya. Dadang sedikit terkejut, tak menyangka Frida yang biasanya tak gegabah akan tiba-tiba menghilang.

"Saya mengerti, saya akan segera ke sana dengan rekan saya," jawabanya singkat kemudian telpon ditutup setelahnya.

****

Frida diam ketika penjelasan dari gadis itu berhenti. Kenyataan menyentaknya bagai paku menancap pada kayu. Kakaknya sampai akhir tak bersalah, sedangkan dia, sempat meragukan kakaknya.

"Gimana? Seru, 'kan? Giselle pandai kan bikin hal semacam ini?" tanya gadis itu sembari cekikikan. Beruntungnya Frida saat ini sedang dibekap mulutnya, jika tidak bisa saja kalimat kasar keluar dari bibir mungil gadis itu.

Natan diam di ujung, cukup jauh dari mereka, tak berniat berbuat apa-apa. Sedang Zoe, gadis itu masuk tak lama setelahnya—memegang sesuatu.

"Kau bawa apa?" Sebelum sampai ke tempat kedua gadis lainnya, pergelangan tangan Zoe tercegat. Natan memandangnya dengan nyalang, sebelum beralih pada pecahan kaca yang ada di telapak tangan gadis tersebut.

"Bukankah Giselle sudah bilang, tak ada yang namanya senjata tajam ketika membawa dia ke sini?"

"Tenang saja, aku tidak melupakan perintah itu, kok. Ini cuma buat main-main, karena firasatku mengatakan, kita bakal ketangkap."

Sebelah alis Natan terangkat, menatap Zoe dengan pandangan menantang. Zoe tak ambil pusing. Sambil mengamati kaca di tangan, gadis itu berujar.

"Kalau itu sampai terjadi, kita bisa mengancam Frida pakai ini."

"Kau gila," desis pemuda itu tetapi melepaskan cengkeramannya kemudian.

Sedang Zoe sendiri hanya terkekeh sejenak. "Aku sudah gila, sejak kalian mengajakku berkerja sama karena takut ketahuan para aparat keparat tersebut," jawabnya dengan mata berkilat marah.

****

Zoe dengan santainya mendekati Frida yang masih bersama Giselle. Tak terkira kagetnya Frida saat adanya fakta yang tak dia duga.

"Kenapa? Panik, Frida?" Zoe semakin mendekat dengan bilah kaca di tangan. Senyum gadis itu terkembang sempurna. Giselle menepi sedikit, memberikan ruang untuknya dapat terlihat seutuhnya di hadapan Frida.

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang