Case 14

19 7 4
                                    

Frida

Pak, itu saya dapat dari Natan, buku hariannya Giselle
(Frida send a picture)

Dadang buru-buru mengunduh gambarnya. Baru selesai membaca buku itu, pria ini sudah menemukan sebuah gejanggalan.

Aku itu imut
Kelebihannya juga banyak.
Untukku, semua orang mudah dicari fokusnya.
Malah, terlalu mudah
Ajarkan saja trik
Untuk sebuah keberanian.
Caranya memang mudah,
Ah, tapi susah
Rintangan banyak
Ingin kita juga banyak.
Percayalah, nanti bisa
Enteng kok, kayak tas tanpa isi.
Rantang juga bisa ringan
Hasilnya yang dibuang
Andai dia paham
Tiada yang kusayang selain dia
Ingin selalu bersama
Alangkah kejam nasib akhirnya.
Namun, ah, entahlah.

Kalimat-kalimat yang ada dalam foto itu terlalu aneh untuk ukuran sebuah buku harian remaja SMA. Semua kata yang dituliskan tidak saling berhubungan, seakan tengah berusaha menutupi makna lain di dalamnya.

Beberapa menit Dadang terus menatapnya. Pria itu sangat yakin bahwa buku harian ini tidak dibaca seperti buku harian pada umumnya. Setelah yakin dengan dugaannya, pria itu menekan ikon telepon, menghubungi gadis yang mengiriminya gambar barusan. Pada dering ketiga, barulah teleponnya terangkat.

"Halo, Pak. Ada apa?"

"Itu, foto dari diari Giselle?" Dadang langsung bertanya sembari kembali membuka foto yang Frida kirimkan barusan padanya.

"Iya, Pak. Ada apa?"

Netra pria itu memicing. Ragu-ragu, dia menanyakan hasil temuannya. "Itu, pesan vertikal?"

"Bingo! Bapak pintar," ujar gadis itu dari seberang telepon membuat Dadang tanpa sadar tersenyum.

"Oh, aku memang pintar, tapi makasih," ujar Dadang tak mendapat jawaban dari Frida. Merasa garing, pemuda itu berdeham sekali. "Oke, fokus. Arti pesan vertikal di sini 'aku mau cari perhatian'. Apa dia butuh diperhatikan?"

"Tampaknya bukan begitu, deh. Perhatian, bukan diperhatikan."

Dadang terdiam. Frida benar. Diperhatikan dan perhatian, kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Beberapa menit kemudian diisi oleh keheningan. Baik Dadang maupun Frida, keduanya sama-sama tidak bersuara.

"Oh, ya, Pak. Natan sebenarnya meminjamkan diari Giselle pada saya, seluruhnya."

Mata Dadang berbinar seketika. "Apa ada halaman lain yang mencurigakan?"

Frida menggeleng meski lawan bicaranya tidak akan tahu itu. "Yang lain, isinya biasa saja," jelasnya lesu.

Penasaran, Dadang meminta foto salah satu halamannya. "Biasa bagaimana? Bisa coba kau kirimkan salah satunya?"

"Bisa, Pak. Saya akan kirim catatan yang mendekati akhir diari. Tunggu sebentar."

"Baik. Jangan putus teleponnya."

Frida

Itu, Pak
(Frida send a picture)

Begitu gambar dia terima, pria itu langsung mengunduhnya. Benar saja, isi dari halaman yang lain sangat biasa. Tidak ada yang aneh dari itu.

Harry tadi menemuiku. Anak itu meminta aku jadi pemeran utama pentas seni. Ratih yang mendengarnya, langsung protes. Itu wajar, karena aslinya 'kan, dia pemeran utamanya.

Indah yang mendengar perdebatan ikutan nimbrung. Nasiku jadi terabaikan gara-gara sibuk berdiskusi. Intinya, keputusan Harry nggak bisa diubah lagi, meskipun Ratih tak setuju.

Malamnya, aku dapat pesan dari Ratih. Enak, ya, jadi anak populer. Ratu di kelas, semua maunya diiyakan. Eh, tapi emangnya enak dapat apa-apa cuma modal popular? Kata-katanya di pesan kurang lebih begitu. Anak itu lama-lama bikin aku kesal.

Besoknya, aku dilabrak. Edo bilang, aku nyogok buat dapat posisi itu. Ratih juga ikut-ikutan, bilang kalau aku ngancem dia. Tiba-tiba dituduh, aku jelas kaget, dong. Enak aja main marah, aku kan juga gak tau apa-apa. Namun, meski aku udah ngeyel menjelaskan, mereka tetap gak percaya. Gatal juga lama-lama tanganku lihat mereka yang seenaknya. Kupukul kalian lama-lama. Akhirnya, aku bicara ke Harry, minta dia jelasin. Ratih baru diam waktu anak itu yang turun tangan, dasar siluman!

"Ini aneh. Catatan yang ini biasa saja," katanya keheranan.

"Benar, kan, Pak? Saya juga bingung. Hanya satu catatan saja yang janggal. Yaitu gambar pertama yang saya kirim kali pertama," jelas Frida.

Gadis itu juga bingung. Catatan yang lain benar-benar biasa saja. Yah, meski beberapa catatan yang ada tiap paragrafnya tidak saling berhubungan, tapi itu sama sekali tidak mencurigakan.

Tidak kehabisan akal, Dadang beralih membuka aplikasi GLens di ponsel, menyalin tulisan tangan dalam gambar itu ke dalam note.

Setelahnya, Dadang menyusun ulang penulisan kalimatnya, menulis kalimat-kalimat itu secara menurun—seperti foto salah satu halaman buku harian sebelumnya.

Senyumnya terbit begitu makna asli dari tulisan tangan itu dia dapat.

"Frida, saya tahu maksud halaman ini," katanya pada Frida yang masih terhubung melalui telepon.

"Apa, Pak?"

"Hari ini mereka bertengkar. Itu kalimat sebenarnya yang dia tulis. Pertanyaannya, siapa yang bertengkar?"

"Bertengkar? Siapa yang Giselle maksud?"

"Itu yang akan kita cari tahu. Besok, saya akan ke rumahmu untuk mengambil bukunya. Saya butuh lebih banyak catatan harian Giselle."

"Baik, Pak."

****

Besoknya Dadang benar-benar datang ke rumah. Beruntungnya ibu Frida sedang pergi ke luar saat itu.

"Ini catatannya, Pak." Frida menyerahkan sebuah buku kecil dengan dominasi warna merah setelah menyajikan teh pada pemuda itu. Dadang yang menerima lantas segera membuka halaman demi halaman sebelum kembali menutupnya.

"Anak yang meminjamkanmu buku diari ini ... Natan. Apa dia bilang hal lain ketika kalian ke sana?"

"Dia hanya bilang, tulisan yang kutemukan di papan tulis waktu itu adalah tulisannya Giselle," aku Frida membuat Dadang mulai memajukan tubuhnya.

"Oh, ya?" Alis Dadang naik sebelah, Frida hanya mengangguk. "Apa ada hal lainnya?" Pertanyaan Dadang dibalas gelengan dari si gadis.

Mata Dadang kembali fokus pada buku diari. "Kamu sudah baca semua?"

"Sudah, tapi aku merasa nggak ada yang aneh, sih. Semua hanya cerita tentang hari-harinya semasa hidup." Pernyataan dari Frida membuat dirinya angguk kepala, meski demikian ketika dirinya membuka kembali, rasanya ada hal ganjal—yang ia rasa lebih baik ditahannya untuk saat ini.

Seakan melupakan diari, selama beberapa menit selanjutnya mereka hanya membahas tentang petunjuk lain, yang sayangnya tak banyak mendapatkan hasil. Ketika semua hal yang bisa Frida ceritakan habis, Dadang memilih undur diri. Hal itu hanya membuatnya hampir menabrak orang yang sedang berdiri di depan pintu rumah Frida.

"Lo, Pak Dadang? Kenapa ke sini?" Pemuda dengan kulit kuning langsat itu sedikit memiringkan kepalanya heran. Dadang juga sempat terdiam sebelum membalas ucapannya.

"Menanyai Frida soal foto tulisan yang dia kirim kemarin. Kamu sendiri kenapa ke sini, Tristan? Mau PDKT?" Nada Dadang berubah jenaka di akhir.

Tristan yang mendengar hanya tertawa renyah sebentar. "Nggak, Pak. Walau maunya begitu, ada hal penting yang harus saya sampaikan ke Frida." Ucapannya membuat Frida yang mendengar dari balik punggung Dadang sedikit memunculkan muka.

"Ada apa memangnya?" tanyanya cepat.

"Ini soal Natan." Tristan diam sebentar, sembari melirik Dadang sebelum kembali angkat suara. "Dia mau bertemu denganmu, sekarang."

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang