Case 01

110 30 22
                                    

Meski sedang tengah hari, lorong yang gadis remaja lewati itu sepi melompong. Dengan banyak kertas yang berada di kedua lipatan tangan, dia tak takut sedikit pun. Baginya, menyerahkan kertas jawaban ulangan harian lebih penting ketimbang suasana lorong saat ini. Namun, ketika dirinya hampir mencapai ujung tangga, sebuah suara keras membuatnya menghentikan langkah. Dengan penasaran yang menggerogoti, kepalanya menoleh ke bawah dari sela sisi tangga, di lantai bawah terkapar seragam putih yang penuh noda merah. Seakan kurang, sepanjang anak tangga, ada bercakan warna merah serupa. Gadis itu diam sejenak, kemudian tertawa setelahnya. Merasa hal semacam ini pastilah ulah jahil salah satu anak kelas di lantai tersebut.

Jadi, tanpa memperhatikan lebih saksama dia turun, melihat seragam siapa gerangan yang menjadi korban kenakalan para remaja. Warna merah itu mengeluarkan bau aneh ketika dia sampai di dekat seragam tersebut. Mulai merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun mengangkatnya pelan hanya untuk mendapati sebuah tangan jatuh tepat di atas genangan merah.

Teriakannya kemudian tanpa dapat tercegah menggema ke lorong tak jauh di belakang, kertas yang semula berada di dekapan melayang ke sekitar genangan ketika si gadis kehilangan tenaga pada anggota tubuhnya. Ia terduduk di atas cairan merah bernama darah, matanya tak memandang ke satu arah sebelum pingsan di lokasi kejadian akibat syok yang menyerang seluruh raga. Tak lama kemudian, beberapa orang dewasa datang, hanya mendapati murid perempuan tersebut dan seragam berlumuran darah dengan papan nama Giselle.

*****

"Apakah Anda sudah menemukan petunjuk, Tuan Dadang?" Nada jenaka dari rekannya tak membuat suasana hati pemuda itu lekas membaik. Dijotosnya sedikit lengan sang rekan, membuat rekannya yang lebih muda darinya mengaduh kesakitan.

"Bisa nggak, sih, kalau mau jotos pake pemberitahuan dulu?" protesnya mendapat gelak dari Dadang

"Kalau pake pengumuman nanti namanya bukan jotos," balas Dadang sekenanya kemudian duduk di bangku pengemudi.

Sang rekan hanya melongo, dia tak habis pikir akan tingkah seniornya yang setahun lebih tua tersebut. "Benar-benar tak ada petunjuk?" tanyanya ketika sudah duduk di atas bangku penumpang. Dadang menggeleng, membuat pemuda itu sedikit bingung karena biasanya Dadang paling ahli memecahkan kasus semacam ini.

"Kesaksian mereka saling bertolak. Giselle ... gadis itu entah kenapa terasa memiliki banyak sisi. Sikapnya terhadap setiap orang berbeda." Mata Dadang memandang lurus ke jalan ketika berucap demikian.

"Kalau begitu, kenapa tak berikan kasus ini kepada petugas lain? Siapa tahu mereka langsung bisa mendapatkan jawabannya," ucapnya yang malah mendapatkan sebuah tepukan keras di belakang kepala dari sang senior.

"Bodoh, kau pikir berapa lama aku bisa mendapatkan kasus lagi setelah kejadian dua tahun yang lalu?" Ucapan Dadang membuat pemuda itu terdiam. Tanpa sadar, dirinya mengingat kejadian itu, ketika ia masih magang di kantor tempat Dadang bekerja.

Kasus yang membuat karir pemuda itu terjun bebas. Siapa yang menduga Dadang—detektif terkemuka—bisa salah dalam memahami kasus. Dia, yang diagungkan sebagai orang paling adil malah menangkap orang tak bersalah dan seakan menambah bebannya, kebenaran itu baru ia ketahui saat orang itu meninggal di balik jeruji besi. Niatnya ingin mengungkapkan kebenaran, mengurangi rasa malu serta aib yang diterima bagi keluarga yang ditinggalkan, tetapi ketika seorang politikus ternama menyuap seisi kantor, polisi akhirnya memilih bungkam. Ya, mereka memang diam, tetapi para penghuni kantor polisi itu lebih memilih megucilkan Dadang, menyangka memiliki kesempatan untuk menjatuhkan mental anak atasan kepolisian yang selalu mendapatkan kasus-kasus besar.

Suasana langsung muram selama sisa perjalanan. Saat mereka tiba, Dadang segera keluar. Membuat pemuda itu sedikit berlari mengejar Dadang. Ketika jaraknya terpaut berapa langkah kaki dari Dadang, sebuah tangan menarik paksa dirinya. Membuat pemuda itu kehilangan jejak sang senior.

"Kau gila! Kenapa masih mengikutinya ketika telah pulang dari TKP, sih?" Pemuda itu diam mendengarkan bentakan dari gadis yang sedikit lebih pendek darinya. Diacaknya rambut sang gadis pelan, dan mendapati sikutan yang cukup kuat.

"Heh! Masalahmu apa, sih, Na? Main sikut aja!" protes sang pemuda tak digubris oleh gadis dengan kartu pengenal Nina.

"Salahmu sendiri, Robi. Kenapa pula kamu mengacak rambut perempuan. Susah tahu ngaturnya!" Robi hanya diam, apa yang susah dari mengatur rambut?

Nina membuang napas ketika melihat pandangan tak mengerti Robi. "Sudahlah, percuma aku meminta temanku satu ini untuk paham."

"Ya, ya. Aku memang nggak peka, puas? Sekarang, bisa lepas cengkeraman tanganmu? Sakit, Na," ucap Robi sembari mengangkat tangannya. Lantas, Nina segera melepas cengkeramannya. Samar, pemuda itu melihat wajah sang gadis merah.

"Y-ya, pokoknya, nggak usah dekat-dekat sama dia. Kamu tahu, 'kan soal senior kita satu itu?" Nina berucap setelah batuk sekali.

"Aku tahu kok."

"Kalau gitu bagus. Mending kamu melapor ke atasan terus minta pin—"

"Tapi apa peduliku, toh dia kan nggak melakukan hal itu sekarang," potong Robi cepat.

"Ya? Tapi kan tetap saja dia itu—"

"Nina, harus berapa kali kau mendengar ucapanku. Kak Dadang itu tak berniat melakukan hal tersebut, dia hanya salah menangkap orang karena orang tersebut disogok agar mengaku demikian. Kau paham?" Setelah mengucapkan hal tersebut Robi berjalan ke depan.

"Ah, dan harus berapa kali kutegaskan ini. Jangan pernah mengatakan hal yang tidak-tidak soal kakakku. Paham, Nina?" Setelah itu Robi berlalu, meninggalkan Nina yang masih mematung di posisinya.

*****

Tiga hari berlalu, dan selama itu pula suasana sekolah berubah menjadi aneh. Sang gadis berambut pendek yang baru masuk hari ini setelah hari introgasi merasa tertinggal banyak informasi. Dari teman sebangkunya, dia mendapati fakta mengejutkan; cerita lengkap kematian Giselle, teman sekelas yang belum pernah dia jumpai. Ketua kelas yang absen sejak dua hari lalu setelah sesi interogasi selesai dan tentang betapa acuh tak acuhnya teman sekelas yang lain perihal masalah ini.

"Kalian sudah melayat ke rumahnya?" tanyanya pada gadis yang duduk di samping. Gadis itu menggeleng.

"Belum, orang tua Giselle tak bisa dihubungi."

"Lah? Kok?" Wajah gadis itu mengkerut ketika mendengar informasi yang aneh. Bagaimana bisa orang tua setenang itu setelah kematian anaknya?

"Itu hal wajar, kok." Suara asing membuatnya menoleh ke depan, ada seorang pemuda tampan dengan name tag Tristan di dada sebelah kirinya. "Kau baru masuk lagi, ya, Frida? Pantas tak tahu beritanya."

"Berita?" ulang Frida heran.

"Bukan hal yang baru lagi kalau orang tua Giselle seperti itu. Saat pembagian rapot atau acara penting saja mereka tak pernah muncul."

"Lantas, siapa yang menggantikan peran orang tuanya?" tanya Frida penasaran, mata Tristan melirik ke bangku depan, ada seorang pemuda tinggi yang sedang terhanyut pada sebuah buku di tangan kanannya.

"Orang tuanya si Natan yang selalu menjadi wali Giselle. Mereka berteman sejak kecil." Frida menganggukkan kepala, matanya kemudian bertemu dengan Tristan yang memandangnya lekat.

"Kenapa?" Merasa risih gadis itu bertanya, Tristan menggeleng.

"Ah, tidak. Hanya saja sekilas kau tampak mirip dengan Giselle."

"Oh ya? Kau ada fotonya?" Tristan mengangguk kemudian menunjukkan sebuah foto di ponselnya.

Gadis dengan potongan rambut panjang sedang tersenyum di sana, di sampingnya ada seorang pemuda dan Tristan. Dilihat-lihat mereka tampak seperti anak Sekolah Dasar.

"Manis," komentar Frida kemudian.

"Ya, dia dulu ceria, entah kenapa saat SMP sikapnya berubah."

"Berubah? Memangnya ada kejadian apa?"

"Desas-desusnya, sih, dia dilecehkan oleh guru di SMP-nya. Aku kurang paham, soalnya tak satu sekolah. Si Natan kebetulan juga tak satu sekolah dengannya."

"Ah, kenapa nggak melapor ke—" perkataan Frida terputus, saat seorang masuk sembari berteriak keras. Suasana langsung turun ketika mendengar perkataannya.

Clara menghilang!

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang