Case 22

51 8 14
                                    

Sebagai anak tunggal, hidup Giselle tak ayal laksana angin lewat di mata kedua orang tuanya. Terlahir dalam keluarga yang belum siap memiliki momongan, tetapi harus memilikinya sebab kecaman khalayak umum, membuat hidup gadis itu tak pernah menjumpai sebuah keluarga bahagia.

Ayahnya terlalu sibuk pada pekerjaan—mencari pundi-pundi uang seraya menanjak jabatan yang lebih tinggi dari yang ia miliki. Ibunya, hanya seorang sosialita yang tak pernah menyentuh dapur sedikit pun. Bahkan ketika Giselle kecil, gadis itu acap kali bertanya-tanya kenapa sang ayah ingin menikahi wanita yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah.

Mereka memang begitu, tetapi ketika sedang ada kunjungan dari pihak keluarga, mereka akan melakoni peran orang tua paling perhatian di seluruh dunia—meski kerap kali mengabaikan segala hal yang Giselle sukai.

Umurnya memang masih muda, tetapi sekali lihat dia juga tahu—mereka tak benar-benar menyayanginya. Mereka hanya takut kesan baik yang mereka bangun hancur karena kehadiran Giselle.

Gadis itu sadar, dan tanpa dapat dia cegah satu kebutuhan yang anak-anak perlukan mulai menguasainya; ia ingin diperhatikan. Maka dari itu, setiap di muka umum, gadis itu akan berlaku layaknya anak manja; merengek laksana balita ketika tak mendapatkan apa yang ia inginkan, marah ketika sedang kecewa, dan hal-hal kekanakan lainnya. Rencananya memang berhasil, tetapi kemudian hanya berbuah sebuah pukulan di tubuh mungilnya. Gadis itu maklum, itu artinya mereka perhatian padanya, 'kan?

Segala rutinitas tersebut berlangsung cukup lama, hingga tanpa sengaja Giselle menemukan mainan baru. Anak laki-laki seusianya, selalu diperhatikan oleh sang Ibu. Jujur saja, gadis itu iri, dan karena itulah dia mulai mendekatinya.

Nama anak laki-laki itu Natan Dwilanga, setelah membuat dirinya berjanji akan selalu memperhatikannya hidup Giselle memang memiliki perubahan. Namun, semua tak berlangsung lama. Iri yang sempat memudar mulai berkobar lagi. Ketika saat kelas lima sekolah dasar Natan semakin lebih diperhatikan daripada dirinya.

Namun, apa dayanya? Dia tak pernah bisa melampiaskan amarahnya pada Natan. Akhirnya, gadis itu menahan iri.

****

"Eh? SMP di luar kota? Kok tiba-tiba?" Giselle melepas sedotan minuman cokelat yang baru dia pesan. Wajah gadis itu kaget, tak menduga mendapatkan berita semacam ini dari teman masa kecilnya.

"Ya, Ibu mau aku tiga tahun di luar kota. Nanti pas SMA balik, kok," balas Natan acuh tak acuh.

"SMP mana?"

"SMP X," jawab Natan menghancurkan segala harapan Giselle untuk terus bersama pemuda itu. Itu ... sekolah yang tak akan diperbolehkan oleh orang tuanya walau dia bersikeras.

****

Selama setahun lebih Giselle kembali merasakan apa itu diabaikan. Gadis itu tak menduga, harus kehilangan satu-satunya orang yang perhatian padanya. Semua terasa asing. Kendati gadis itu masuk dalam jajaran juara umum satu sekolah, orang lain lebih memilih menghindarinya. Terlalu takut dengan segala kesempurnaan Giselle.

Natan dan dirinya sudah putus kontak sejak masuk SMP—entah pemuda itu memang berniat menghilang dari kehidupannya atau karena sebab lain—mereka sudah tak bertukar kabar sebagaimana sebelumnya. Gadis itu kehilangan sandaran miliknya, juga satu-satunya teman yang tulus kepadanya.

Semua karena tindakan implusif yang dirinya lakukan ketika mendengar kabar tersebut. Tangannya, tanpa sengaja mendorong Natan, membuat pemuda itu luka-luka karena sempat tetabrak motor. Kendati dirinya tak dicurigai oleh orang tua Natan, pemuda itu langsung tahu kalau kemalangannya disebabkan oleh Giselle.

Kemudian, dia bertemu dengan seseorang. Guru muda yang sedang magang di SMP-nya. Guru itu selalu menanyai keadaannya sejak tanpa sengaja menemui Giselle yang menangis sesenggukan dalam diam di salah satu lorong sepi tanpa orang yang berlalu lalang.

Saat ditanya, gadis itu mengaku telah dibuli dan dikucilkan oleh teman-temannya. Untuk memperkuat laporannya, Giselle bahkan menunjukkan banyak luka lebam di badan serta noda-noda makanan yang menempel di pakaiannya.

Jujur saja, Giselle memang sengaja bersikap seakan dirinya dikucilkan saat guru itu lewat. Gadis itu telah menguntit sang guru selama kurang lebih seminggu, dan paham bahwa sang guru pasti akan mau memperhatikannya.

Dugaannya terbukti benar. Guru itu semakin memperhatikannya. Kerap kali dia menyapa Giselle duluan hanya sekadar menanyakan kabar. Perasaan bahagia ketika diperhatikan kembali melingkupinya, dan gadis itu selalu suka dengan sensasi menggelitik tersebut.

Semua berjalan lancar, hingga tiba-tiba gadis itu mendapati sang guru dengan seorang gadis berambut pendek.

"Bentar lagi kamu ikut olimpiade, 'kan?" Suara rendah guru muda itu membuat Giselle bersembunyi di balik tembok dekat dari keduanya.

Sang gadis mengangguk. "Ya, Kak. Besok aku lomba."

"Semangat ya, Ri!" Nada suara pemuda itu terdengar riang, serta acakan di rambut gadis itu membuat si gadis menepisnya cukup keras.

"Sudah ih, susah diatur rambutku," protesnya, tetapi Giselle dapat menangkap nada bahagia darinya.

Giselle marah. Perhatian yang seharusnya hanya untuk dirinya seorang, kini direbut oleh sosok asing itu. Ah, tidak, tidak. Gadis itu tidak asing. Giselle mengenalnya.

Dia adalah atlet lari terbaik dalam jenjang SMA. Yang tidak Giselle sangka adalah, posisi gadis itu ternyata adalah adik dari gurunya.

Aku harus bisa diperhatikan olehnya kalau mau diperhatikan oleh Pak Guru, batin gadis itu penuh tekad.

Rencanya cukup simpel. Setelah memperhatikan tingkah gadis itu, dia termasuk tipe yang akan membela orang yang lemah.

Giselle itu beraksi kemudian. Dimanfaatkannya segala hal yang dia punya demi perhatian gadis tersebut. Namun, kendati sudah mengerahkan semuanya; membiarkan orangtuanya memukili dirinya, melakukan berbagai kesalahan di depan gadis itu—padahal dirinya tipe yang tak akan berbuat kesalahan—bahkan, sampai pura-pura tak melihat rambu lalu lintas agar dia selamatkan.

Nahasnya ... semua itu gagal.

Akan tetapi Giselle tak kehabisan akal. Gadis itu mulai mengambil langkah ekstrim; mengadudomba kakak-beradik itu demi kepuasan tersendiri.

Dengan alibi konseling, Giselle membuat situasi seakan gurunya hendak melecehkannya. Semua berjalan lancar hingga akhirnya dia menyadari sesuatu; targetnya adalah orang yang cuek pada lingkungan, meski selalu membela orang yang lemah.

Kemudian sitasi semakin memburuk, karena tekanan mental dan kecaman orang luar, sang guru bunuh diri—meninggalkan Giselle sendiri tanpa ada yang kembali memperhatikannya.

Kacau. Rencananya berantakan total. Sang guru bunuh diri, sementara adiknya—target utama gadis itu—justru menghilang dari publik. Kabar terakhir yang dia terima, gadis bernama Frida itu adalah siswi kelas 10 SMA X dan tengah izin sekolah akibat cidera serius kala berlomba.

Sedang Giselle sendiri, ketika akan kelulusan, kebohongannya terbongkar. Sang guru tak bersalah apa-apa sampai kematiannya, meski kasusnya tak dibesar-besarkan karena turun tangan dari sang Ayah, dirinya benar-benar dikucilkan hingga ketika kelas satu SMA. Dan seakan takdir, dia kembali bertemu dengan gadis itu lagi. Sang mantan atlet, Frida.

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang