Case 11

26 10 13
                                    

Gadis itu duduk berdua dengan ibunya. Di hadapan mereka ada seorang pria paruh baya yang sedang menunjukkan sebuah lembar hitam transparan.

"Frida, bukankah sudah Paman peringatkan untuk tak lari-lari lagi?" Sang gadis cengengesan, bingung ingin menjelaskan situasinya.

Sedang Ibunya ikut melihat hasil rontgen dengan cemas. "Apa ada yang parah lagi, Dav?"

"Tidak ada sih, Kak. Tapi tetap saja, anak Kakak jangan dibiarkan berlari terlalu lama lagi, nanti cederanya kumat," ujar pria dengan papan nama David itu datar.

Ibunya mengangguk, kemudian memandang Frida sedikit tajam. "Tuh, denger kata ommu. Kamu itu, ya. Baru aja selesai rehab karena memaksakan diri ikut lomba, masih aja mau lari-lari lagi."

"Maaf, Bu," cicit gadis itu sembari memandang lantai lekat.

****

Meski cuaca pagi menusuk ke tulang, kasak-kusuk yang terjadi sejak kehadiran seorang gadis membuat suasana panas.

"Ih, bener loh. Aku liat kepala si Frida pas Tiana jatuh kemarin." Kesaksiannya membuat seisi kelas riuh, mereka mulai memberikan deduksi yang tak jelas sumbernya.

"Nggak habis pikir ya aku, bisa-bisanya dia melakukan itu."

"Tapi kan, belum tentu memang dia, bisa aja Tiananya sendiri yang terjun saat dia datang?"

"Mana ada manusia yang mau bunuh diri, apalagi 'kan kondisi Tiana normal-normal aja, ngawur kamu," timpal salah satu dari kerumunan murid tersebut.

Telinga Tristan panas. Sebagai orang yang tahu kebenarannya, mulut pemuda itu sudah gatal untuk memberikan fakta yang sebenarnya. Namun, tindakannya terhenti saat mengingat wanti-wanti dari gadis itu.

"Ingat, jangan gegabah. Biarkan saja rumor itu, toh tak ada gunanya kita marah karenanya"

Tak lama Frida datang, dengan kruk untuk kaki kanan. Sebenarnya gadis itu menolak memakai kruk, tetapi Ibunya memaksa ketika dia hendak kabur. Karena kruk itulah seantero sekolah memperhatikannya, dengan pandangan aneh.

"Ada apa?" tanyanya heran kala satu kelas diam. Tristan, yang duduk di pojokan menyapanya.

"Pagi, Beb! Tumben telat, duduk dulu yuk. Atau mau Akang papah?" Antensi murid lainnya teralih padanya, sedang Frida mendelik.

"Idih, siapa tuh Beb? Nggak kenal aku," ketus gadis itu kemudian duduk di bangkunya.

"Eh? Ada apa ini? Kamu pacaran ama Tristan?" Murid–yang sebelumnya tak percaya bahwa Frida pelaku–bertanya dengan jenaka.

"Oh, nggak kok, masih pro–"

"Aku dan dia bukan pacar. Lain kali mulutnya tolong dijaga, ya." Ucapan Frida sukses membuat murid itu terdiam. Merasa tak ada yang dapat dibahas, serta bel belum berbunyi, gadis itu segera maju ke arah depan.

"Ada yang kenal tulisan di gambar yang kukirimkan?" Suara Frida menggelegar, membuat tanpa sadar mereka semua membuka grup kelas khusus murid.

Dahi seluruh murid berkerut, dan tak menunggu respon gadis itu kembali angkat suara. "Tulisan itu kutemukan saat mencari Nadya."

"Halah, ini bukannya tulisanmu?" Seorang murid dengan sinis berkata demikian.

"Nggak, tulisan Frida bukan kayak gitu." Suara lembut membuat seluruh kelas menoleh ke arah pintu masuk.

Nadya berdiri di sana, dengan senyum berjalan sebagaimana biasanya. "Aku kenal Frida sejak lama–bahkan ketika dia harus rehab selama setahun ketika kelas dua SMA. Jadi, aku yang paling kenal dengan tulisannya. Itu ... bukan tulisan Frida."

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang