Case 15

17 7 3
                                    

Mereka kembali berada di rumah besar ini. Dalam diam Frida memandang Natan yang duduk sedikit jauh darinya.

"Maaf ... yang kubilang kemarin salah," ujar pemuda itu sembari menunduk. "Tulisannya berbeda dari punya Giselle."

"Hah? Apa maksudnya, Nat?" Kening Frida berkerut sembari melontarkan kata tersebut, sedang Dadang dan Natan diam mendengarkan ucapan selanjutnya.

"Setelah kuperhatikan lagi, tulisan di papan tulis itu dan di diarinya Giselle berbeda, Frida," terang Natan kemudian. Netranya sempat berpindah ke sisi kanan Frida sebelum kembali memandang lurus sang gadis.

Jemarinya kembali menunjuk pada foto tulisan di papan tulis. "Coba deh perhatikan lagi. Lekuk alfabetnya berbeda. Apa kamu bawa diarinya?" Pertanyaan Natan di akhir membuat gadis itu memandang Dadang yang awal duduk diam di sebelahnya.

Dengan enggan dikeluarkannya buku itu dari tas kecil, menunjukkan pada Natan. "Tuh, lihat. Beda, kan?"

"Kayaknya sama aja, deh," tampik Dadang kemudian, membuat Natan sempat mendelik padanya.

"Beda, Pak. Saya kenal Giselle sejak TK, jadi saya yang paling paham apa tulisannya memang dia yang bikin atau bukan. Ini pasti ada yang sengaja meniru tulisannya." Dadang masih tampak hendak membantah ketika Tristan yang juga diam menegahi.

"Gini aja deh, Pak, Nat. Gimana kalau kita pakai aplikasi edit saja? Dua foto ini akan ditindih untuk dibuktikan apakah benar seperti yang Natan katakan atau tidak?"

Ketika ketiganya mengangguk, Tristan sigap membuka aplikasi edit di ponselnya. Dengan telaten ditindihnya kedua foto kemudian memudarkan salah satu darinya.

"Gimana?" Frida yang penasaran sedikit memanjangkan lehernya ke arah Tristan yang di samping kiri. Melihat tingkah gadis yang rupanya lebih tua dari Tristan, pemuda itu mendorong jidatnya pelan.

"Beda," akunya membuat Dadang terkejut sedang Natan sedikit tersenyum.

"Nah, apa kubilang. Tak ada hubungannya dengan Giselle. Lagipula, dia 'kan sudah meninggal."

"Tapi—"

"Yah, kau benar, Natan. Mungkin saja ada yang sengaja meniru tulisan mendiang Giselle." Dadang sekejap bangkit dari rasa terkejut. Pemuda itu tersenyum sekejap sebelum meminum minuman yang dihidangkan oleh Natan. "Karena sudah jelas, kami undur diri dulu, ya." Dengan sigap sebelah tangan Dadang menarik lengan Frida sedang tangan satunya mengambil diari dari meja.

"Pak Dadang, ya?" Pernyataan Natan membuat Dadang yang semula sudah mau pergi menoleh. "Bisa tolong kembalikan diari Giselle? Kan tidak ada hubungannya dengan dia."

"Ah, ya. Ini." Dadang kembali menaruh diari kemudian benar-benar keluar dari rumah Natan.

"Pak, kenapa dikasih, sih?" Ketika mereka di luar Frida mendelik, kedua tangan gadis itu bersidekap di dada. Tristan hanya memperhatikan sedang Dadang melirik pintu masuk cukup lama.

"Kamu ... merasa aneh dengan sikap Natan nggak, sih?"

"Natan?" sela Tristan cepat.

"Apa maksudnya? Bapak bercanda? Mengapa masalahnya melebar, sih?" tanya Frida penuh selidik.

Dadang diam, pria itu mengeluarkan ponsel dari saku, menampilkan aplikasi perekam suara yang masih aktif.

"Dari caranya menjelaskan, ada yang aneh. Dia seperti berusaha menutupi sesuatu."

Aplikasi itu ditutup, membuat rekaman suaranya otomatis tersimpan. Layar ponsel berubah, menampilkan aplikasi editing foto yang sama dengan milik Tristan.

"Tulisan di papan tulis memang berbeda dengan tulisan di buku harian."

"Lalu? Kita sud—,"

"Tapi model goresannya sama persis."

Kedua remaja itu terdiam. Melihatnya, Dadang berinisiatif menjelaskan.

"Tebal tipisnya garis yang dibuat, sama persis antara kedua tulisan. Yang beda hanya model tulisannya. Di buku diari, tulisannya sama seperti tulisan Giselle biasanya. Tapi di papan." Pria itu mengganti tulisan yang dicocokkan. "Yang di papan sama seperti tulisan Natan."

"Sebentar. Bapak tahu darimana itu tulisan Natan?" Frida memicingkan matanya, sedang Dadang hanya tersenyum.

"Ingat kasus Giselle? Waktu itu kan aku meminta kalian menulis sedikit untukku."

"Jadi, maksud Bapak, Natan itu dalang dari kasus di sekolah?"

"Ya, kalau dilihat dari bukti, kemungkinan besar begitu kenyataannya."

"Terus yang aku lihat waktu itu apa, Pak. Hantu?" Frida protes, membuat Dadang terpingkal.

"Hei, tenang. Saya kan bilang kalau dilihat dari bukti, bukan benar-benar cuman dia pelakunya." Pemuda itu diam. "Kalau misalnya memang benar begitu—Natan yang memalsukan tulisan pesan tersebut. Dan sosok yang Frida lihat adalah Giselle secara nyata. Ada kemungkinan kasus kematiannya hanyalah sebuah kepalsuan," lanjut pemuda itu sembari melirik Tristan.

"Apa?" Tristan bertanya, membuat Dadang sedikit tersenyum.

"Selamat, Nak. Tampaknya teori konspirasimu kemungkinan besar akan terjadi."

"Yang karena jasadnya nggak ada?" Tristan bertanya.

Dadang menganggukkan kepala. "Iya, tali teorimu kali ini punya bukti yang kemungkinan mendukung. Dimulai dari pesan vertikal—"

"Hah? Pesan vertikal?" Alis Tristan bertaut mendengar kata asing tersebut. "Pesan vertikal apa?"

Tak membalas Tristan, Dadang malah memandang Frida cepat. "Kamu belum cerita padanya, ya?" tanya Dadang yang kemudian dihadiahi sebuah gelengan dari Frida.

"Aku hanya sempat memberitahu Bapak, sih. Lagipula anak itu jadwal tidurnya selalu cepat."

"Hei, hei. Kalian lagi bicarakan apa, sih? Nggak konek nih." Tristan gemas, pemuda itu mulai manyun.

"Diam, biar aku jelaskan. Tapi sekarang kita pergi dari sini dulu. Bagaimana kalau ke taman?"

Tak lama mereka segera berpindah dari depan rumah Natan ke sebuah taman komplek. Suasana sepi menambah ketegangan yang sejak awal sudah dirasakan.

"Sekarang bisa tolong Bapak jelaskan soal bukti yang mendukung teoriku waktu itu?" Tristan duduk di samping Dadang. Sedang Frida, gadis itu lebih memilih berdiri tak jauh dari mereka.

"Pesan vertikal yang ditemukan di diari Giselle." Dadang menunjukkan foto yang dikirim Frida kemarin. "Ada pesan tersembunyi di sini, coba baca huruf pertama secara menurun." Mendengar perintah orang yang lebih tua darinya membuat Tristan melakukan hal tersebut walau masih heran.

Ketika mencoba membaca satu demi satu, dahinya berkerut seketika. "Lo? Lo. Ini ... beneran?" Netranya menatap Dadang, kemudian beralih pada Frida. Setelah melihat anggukan dari keduanya, dia kembali membacanya.

"Haha ... ha. Enggak mungkin Giselle memalsukan kematiannya cuma buat cari perhatian, 'kan?" ujarnya tak percaya.

Frida mengernyit. "Kamu ngomong apa, Tristan?"

"Enggak tau juga sih. Kalau Giselle nggak mau cari perhatian, terus ngapain memalsukan kematian? Tapi, Natan kenapa juga? Ah, bingung." Tristan mengacak rambut gemas. Pemuda itu sudah terlampau pusing dengan kasus yang serasa bagai benang tak memiliki ujung ini. Sudah berbelit, banyak cabang pula.

"Aku kagum pada kalian, Pak." Tristan tiba-tiba berbicara pada Dadang. Alis pemuda itu naik sebelah, menunggu Tristan melanjutkan ucapan. "Kok bisa ya, kalian tahan bergelut dengan kasus mirip-mirip macam gini. Nggak pusing apa?"

"Kamu ... ngantuk? Melindur begitu. Mending kita pulang sekarang deh," ujar Dadang tegas yang menjadi akhir pembicaraan mereka. Namun, kedua anak remaja itu tahu, ketika berkata demikian, wajah Dadang sedikit memerah.

****

Dua hari berlalu sejak penyangkalan yang dilakukan Natan. Tak ada hal aneh yang terjadi. Semua berjalan tenang—sangat tenang sampai Frida merasa akan ada sesuatu yang berbahaya datang. Gadis itu sedang berada di luar kali ini, berjalan sendirian mencari udara segar. Namun, belum lama dia di sana, matanya melirik Natan yang sedang berjalan tergesa.

Dirinya hendak menyapa pemuda itu saat dilihatnya Natan berbelok ke sebuah lorong gelap di samping gedung terbengkalai. "Lo, kenapa dia ke sana, ya?" Merasa menemukan harta karun, Frida tanpa sadar mengikutinya. Hal yang seharusnya tak dia lakukan meski maut menghampiri.

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang