Case 04

45 19 7
                                    

Frida tak percaya dengan apa yang dia dengar sekarang. Gadis itu tiba-tiba saja dipanggil sehari setelah pengevakuasian Clara dan malah mendapatkan kejutan yang tak ia duga-duga.

"Kamu ada masalah apa dengan Clara?" Seorang guru bertanya dengan ketus. Padahal, belum lama Frida duduk di hadapannya.

"Maaf, maksud Bapak apa, ya?"

"Jangan banyak alasan. Apa masalahmu dengannya?"

"Saya tidak ada masalah apa pun. Seperti penjelasan yang saya berikan di awal semester, saya sudah setahun tidak hadir di sekolah."

Jawaban Frida mengundang dengusan sang guru. "Lantas, kenapa ditemukan jepitan rambut milikmu di lokasi kejadian?"

Jepitan rambut berbentuk pita berlapiskan plastik dilemparkan sang guru di atas meja. Frida memandang lama jepitan itu.

"Ini memang benar jepitan saya, tapi saya tidak pernah memakainya lagi."

"Jadi, ini memang punyamu, 'kan! Bukankah pelakunya sudah jelas kamu."

Ucapan seenak jidat guru itu membuat Frida geram, kendati demikian dia berusaha tenang. "Meski begitu bukankah kurang pantas Bapak langsung menyimpulkan ini perbuatan saya? Bisa saja ada yang sengaja menjebak saya."

"Sudah, lebih baik kamu mengaku saja agar hukumanmu bisa dikurangi. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang mau mel—"

"Bukan saya, Pak!"

"Wah, begini rupanya cara membuat murid mengakui kesalahannya." Suara asing di antara Frida dan sang guru membuat mereka menoleh. Dadang tersenyum ketika atensi kedua manusia itu terarah padanya. "Tak perlu memperhatikan saya, silahkan kalian lanjutkan debat tak bermutunya."

"Maaf, Anda siapa?" Usai berdeham untuk mencairkan suasana, sang guru bertanya sopan.

Sebagai respon Dadang hanya tersenyum lagi, kemudian memberikan kartu nama miliknya. "Sebagaimana yang di tulis di sana, nama saya Dadang. Saya datang ke sini secara pribadi tanpa surat atas permintaan pak wakil kepala sekolah."

"Ah, orang suruhan pak Wakepsek." Sang guru mangut-mangut.

"Saya koreksi sedikit karena tampaknya Bapak tak paham. Saya mendapat permintaan wakapsek, bukan disuruh oleh beliau." Nada Dadang yang cukup terdengar ketus, membuat guru itu diam sebelum kembali memandang rendah Frida.

"Anak ini pasti pelakunya. Semua jelas dengan ditemukannya barang miliknya di lokasi kejadian."

"Mana bisa begitu, Pak! Ini namanya menuduh hanya karena praduga! Bisa saja Bapak yang berbuat dan melampiaskannya ke---" Frida masih tak terima, bantahannya mengundang amarah dari sang guru.

Tangan guru itu hampir saja mendarat di pipi Frida jika Dadang tak singgap menahannya. "Tenanglah, Pak. Guru tak boleh menggunakan kekerasan, loh." Mendengar ucapan Dadang guru itu menepis lengannya kuat, sebelum melotot ke arah Frida.

"Tidak bisa begitu, Pak. Anak kurang ajar ini sudah menuduh saya yang tidak-tidak."

"Itu karena bapak yang membuatnya berlaku demikian." Dadang memandang Frida sekilas. "Kutanya sekali lagi, ini memang barang milikmu?" pertanyaannya mendapat anggukan dari Frida.

"Tapi pak, saya benar-benar tak berbuat demikian. Saya—"

"Iya saya tahu. Berarti hanya ada satu kemungkinan." Mata guru itu berkilat sekilas mendengar ucapan Dadang. "Ada seseorang yang sengaja membuatnya terasa sebagai pelaku. Kasus ditutup," lanjut Dadang sembari memukul meja sekali.

Usai menang melawan sang guru, keduanya keluar ruangan. Menghela napas lega Frida kemudian memandang polisi yang baru saja membantunya keluar dari masalah yang tak terduga. Namun, baru saja hendak membuka suara, pemuda yang kira-kira tak jauh umurnya darinnya mengibaskan tangan pelan.

"Simpan saja rasa terima kasihnya. Saya tak perlu hal semacam itu." Hanya interaksi singkat itulah yang mereka lakukan, kendati demikian tindakan Dadang menimbulkan rasa kagum bagi Frida.

****

"Kau baik-baik saja, Fri?" Dua orang gadis mendekati Frida sesampainya di kelas. Wajah cemas tercetak jelas, kendati demikian mereka memaksakan senyum.

Melihat dua sahabatnya berlaku demikian, tak bias membuat dirinya tak tersenyum lebar. "Tenang, guru itu hanya salah paham saja dengan jepitan lamaku,"

"Jepitan? Bukannya kamu nggak pernah pakai begituan lagi setelah memberikannya pada kami?" komentar gadis dengan helai rambut hitam bergelombang, yang mendapat anggukan dari gadis berhelai lurus.

"Iya, tapi entah kenapa jepitan itu sama seperti yang kuberikan ke kalian."

"Apa jangan-jangan ... ada yang mau menjebakmu?"

"Mana mungkin, Zoe. Memang aku siapa sampai-sampai jadi target orang?"

"Nah, benar, tuh. Kau jangan aneh-aneh, Zoe."

"He, aku kan hanya berspekula---"

"Sudah, lupakan. Masalahnya telah selesai," tukas Frida menutup rencana debat antara Zoe dan Nadya.

****

"Kau bercanda? Kalau iya candaanmu nggak lucu, Zoe." Frida memandang lamat Zoe, menelisik kebenaran dari pandangan matanya.

"Untuk apa aku bercanda soal masalah ini, Fri. ini hanya pradugaku, tapi tetap saja aku tak bisa menolak kemungkinan semacam itu." Zoe balik pandang Frida. Tersirat rasa asing di dua bola matanya, membuat Frida tanpa sadar mengusap wajah sekali.

"Tidak mungkin sih, Nadya bukan tipe orang yang begitu. Aku sudah kenal dia sejak lama," tolak Frida. Zoe kemudian mendekat, memegang erat bahu Frida.

"Percayalah, aku juga tak ingin dugaanku benar. Namun, jepit yang dirimu deskripsikan pada kami sama dengan jepitan yang kau kamu berikan ke Nadya." Perkataan Zoe hari itu sukses membuat rasa aneh tumbuh di antara ketiganya.

Frida tak ingin percaya, kendati demikian bisikan setan selalu berkumandang di kedua daun telinganya.

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang