Case 12

28 8 14
                                    

Tristan dan Frida segera bertolak ke lab kimia ketika gedung benar-benar sepi. Tak ada yang mengangkat suaranya selama di perjalanan, terlalu terhanyut pada pikiran masing-masing.

Samar, terdengar suara langkah kaki ketika keduanya menunggu di depan lorong lab. Tampak pemuda yang tidak asing bagi mereka, dengan rambut hitam dan perawakannya yang khas berjalan mendekat.

"Natan?" Tristan adalah orang pertama yang mengenalinya. Pemuda yang dipanggil Natan itu hanya tersenyum kecil.

"Tak kusangka kamu membantunya, Tris," ujarnya kemudian tersenyum manis pada Frida.

"Cukup." Tristan menaruh telapak tangannya di tempat mata Frida berada. "Nanti kamu cinta lokasi sama dia," sambungnya.

"Nggak tertarik, Tris. Udah ada gebetan."

"Oh, bagus. Nggak ada saingan," balas Tristan. Frida yang gemas menyentak tangan pemuda itu sampai hilang dari pandangannya. "Aduh, sakit, beb," ringis pemuda itu.

"Berhenti bercanda, Tan. Kondisinya nggak memungkinkan," tukas Frida sedikit kesal. Yang dimarahi hanya meminta maaf dengan tak enak hati kemudian fokus pada Natan yang masih berdiri santai.

"Jadi, kamu beneran tahu siapa yang nulis?" Frida bertanya pada Natan. Netra gadis menyorot tajam sang pemuda.

"Ya, tentu," jawabnya kemudian memandang sekitar sebelum memberi isyarat agar keduanya mendekat. Merasa penasaran, mereka pun mendekatkan pendengaran ke arah Natan. "Pelakunya ... Giselle." Pengakuannya membuat keduanya manusia itu terdiam kaku.

****

Ketiganya sekarang berada di rumah besar dengan halaman luas. Frida tak menyangka, rumah pemuda berambut hitam itu masih satu arah dengannya.

Dengan lirikan mata Natan menyuruh keduanya masuk. Sepi menyambut mereka saat menginjakkan kaki di sana. Rumah dengan warna biru tenang ini tak tampak seperti rumah kebanyakan orang. Tak lama mereka bertolak ke lantai dua, setelah pemuda itu meminta seorang pembantu untuk menyiapkan makanan. Kamarnya yang tak dihias apa pun kecuali gantungan fotonya dan gadis bernama Giselle membuat kamar itu tampak kosong—dan akan sangat menyeramkan jika mati lampu.

Lama pemuda itu meninggalkan mereka—mencari sesuatu di sebuah rak meja belajar—setelah itu dia menunjukkan sebuah buku tulis bersampul polos.

"Ini punya Giselle," terangnya singkat membuka buku pelan. Ada tulisan dengan tinta merah di awal halaman, dengan tanda seru di beberapa kalimat. "Bisa dibilang ... ini diarinya."

"Diari? Tapi tampaknya ini—"

"... Tampak seperti catatan kematian, 'kan?" Natan tersenyum tipis, dibaliknya halaman paling akhir buku catatan, menunjukkan tulisan dengan tinta hitam. "Hanya ini satu-satunya tulisan yang isinya nggak pakai tinta merah."

Aku itu imut
Kelebihannya juga banyak.
Untukku, semua orang mudah dicari fokusnya.
Malah, terlalu mudah
Ajarkan saja trik
Untuk sebuah keberanian.
Caranya memang mudah,
Ah, tapi susah
Rintangan banyak
Ingin kita juga banyak.
Percayalah, nanti bisa
Enteng kok, kayak tas tanpa isi.
Rantang juga bisa ringan
Hasilnya yang dibuang
Andai dia paham
Tiada yang kusayang selain dia
Ingin selalu bersama
Alangkah kejam nasib akhirnya.
Namun, ah, entahlah.

"Apa ini? Isinya aneh," komentar Tristan setelah sekian lama memilih diam. Pemuda itu memandang tulisan bertinta hitam dengan cermat.

Frida tetap duduk, matanya tak lepas dari kalimat. Pesannya tak berkaitan—yang artinya Giselle menulis pesan ini ketika pikiran benar-benar sedang kacau—dan sialnya, perasaan gadis itu tak tenang.

"Ada hal yang membuatku penasaran, Natan." Jemari gadis itu masih membalik halaman, matanya sedikit melirik Natan yang duduk di hadapan mereka. "Kenapa kamu bilang kalau tulisan di papan tulis itu punya Giselle?"

Mendapat pertanyaan yang tak terduga, tanpa sadar pemuda itu menggaruk tengkuknya pelan. "Ah, soal itu," ujarnya menggantung. "Hanya .... kan aku orang paling dekat dengannya." Suara Natan memudar ketika mengatakan hal terakhir. Meski demikian, suaranya masih terdengar jelas karena ruangan yang sunyi.

Atensi Frida sekarang benar-benar teralihkan dari diari saat ini, pada seorang pemuda yang baru saja kehilangan sahabat masa kecilnya—dan tengah menunduk sekarang.

"Turut berduka cita, Nat." Tristan orang pertama yang memecah hening di antara mereka. Frida kemudian menyusul, sedang Natan hanya angguk kepala, tak sanggup membalas, takut jika tak bisa membendung cairan bening di pelupuk mata.

Keduanya segera pamit saat dirasa Natan butuh waktu sendiri. Kedua insan itu tak membuka percakapan, kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Apa mungkin Giselle masih hidup, ya?" gumam Tristan membuat Frida yang berjalan sedikit di depannya menoleh cepat.

"Apa maksudmu?"

"Ya ... bisa saja dugaan yang kuberikan pada dektektif Dadang kemarin benar adanya."

"Jangan ngawur kamu, Tan. Bisa saja itu jebakan."

"Hah?"

"Yah, siapa tahu pelakunya bisa meniru tulisan, 'kan?" jawab Frida ambigu kemudian kembali memandang ke arah depan, tak menghiraukan Tristan yang tampak kebingungan.

"Maksudnya?"

"Ya kan ada orang yang bisa meniru tulisan orang lain. Kayak orang yang bisa imitasi suara."

"... Kalau kayak gitu," Tristan mengernyitkan dahi, "pelakunya ada di kelas kita?"

"Iya. Soalnya, yang tahu tulisan Giselle 'kan kayaknya cuma anak kelas."

"Tapi kan ... Giselle nggak dekat sama siapa-siapa di kelas, Da," sangkal Tristan langsung.

"Kalau begitu ... Guru. Ya, mereka kan juga selalu melihat tugas Giselle, otomatis mereka juga familiar dengan tulisan Giselle."

"Nggak, Da. Giselle itu nggak pernah kumpul tugas."

"Kok masih bisa sekolah?" Frida heran, tetapi bukan itu masalahnya. "Kalau begitu, hanya Natan orang yang dapat dicurigai."

"Kenapa?" tanya Tristan. "Dia itu 'kan teman dekatnya. Paling terpukul kayaknya waktu tahu kalau Giselle udah tiada."

Frida melirik Tristan sejenak, kemudian kembali menatap trotoar. "Kayaknya. Kita nggak tahu hati manusia kayak gimana, Tris."

****

Malamnya Frida tak tenang. Gadis itu berulang kali berguling-guling di atas kasur. Pikirannya melayang, pada diari dengan isi tak berhubungan milik Giselle. Beruntung, gadis itu dapat meminjam buku tersebut dari Natan.

Kembali dibukanya buku tersebut, bersama pena dan buku lainnya dia mulai membaca ulang setiap isi tulisan. Janggal dirasakannya, tetapi gadis itu masih tak tahu letak salahnya di mana. Akhirnya, lelah memeras otak dia membuka halaman paling terakhir, berhadapan dengan tulisan tak nyambung Giselle.

"Apa sih, maksudmu?" Belum lama dia bergumam, tangannya tanpa sengaja menutup hurup lain, menyisakan huruf kapital di awal sekali.

"A ... K ... U?" Ejanya sejenak, sedikit bingung sebelum kembali memandang huruf yang paling besar dari yang lainnya. "M ... A ... U? C ... A ... R ... I? P ... E ... R ... H ... A ... T ... I ... A ... N?"

"Aku mau cari perhatian? Apa maksudnya ini?" Dahinya berkerut membaca kata tersebut. Posisi rebahan telah berubah menjadi duduk, satu demi satu, dirinya berusaha mengumpulkan pecahan hal yang dia dapatkan.

"Kalau misalkan kecurigaanku mengenai Natan benar, kenapa dia membiarkanku membawa diari ini?"

"Apa ... dia sengaja? Tapi, apa untungnya? Lalu yang kulihat di lapangan itu ... apa ulahnya?" gumamnya pelan, kemudian sebuah hal yang sangat ia ingin sangkal mampir di pikiran.

"Apa ... dia sedang bermain-main dengan kami?" Frida mengernyit. "Enggak, kayaknya terlalu dini untuk mencurigai Natan. Tapi, memang mencurigakan. Nah, tapi ... yang lebih penting sekarang itu, Giselle. Kamu ... siapa?"

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang