Case 05

39 17 5
                                    

Kehadiran sepucuk surat di dalam laci mejanya, mengalihkan fokus gadis itu pada kewajiban piket kelas. Matanya memandang lekat amplop merah, menerka siapakah gerangan yang dengan penuh niat—iseng menyelipkan surat tersebut.

Teguran dari rekan piket membuat dia tersadar, dimasukkannya surat ke dalam saku, kemudian melanjutkan hal yang sempat ditunda sebelumnya—menyapu seluruh kelas.

****

Sudah sejak sejam yang lalu Frida berdiri di depan gerbang sekolah. Sesekali matanya melirik ke dalam gerbang, mencari keberadaan manusia yang menghambatnya untuk segera pulang dan bermesra ria bersama kasur kesayangan. Tak cukup membuatnya menunggu lama, panggilan WA Frida pun tak gadis itu hiraukan. Seakan-akan dia telah hilang dari muka bumi, tanpa jejak sedikit pun. Seseorang tiba-tiba melintas di depannya, spontan membuat pandangan yang semula terarah pada ponsel beralih posisi.

"Zoe. Lihat Nadya nggak?" tanyanya tanpa basa-basi. Yang ditanya mengerutkan kening, sebelum membalas ucapannya.

"Lah? Bukannya Nadya udah pulang duluan? Dia tadi sesudah sapu kelas langsung izin pulang karena nggak enak membuatmu menunggu lama." Frida terdiam mendengar jawabannya. Bagaimana mungkin dia, yang jelas-jelas berdiri di depan pagar tanpa berpindah posisi seinci pun tak merasakan hawa keberadaan dari gadis yang sudah menjadi temannya selama tiga tahun?

"Mana mungkin dia pulang duluan. Mungkin kamu salah ingat, Zoe," tukas gadis itu yang disambut gelengan.

"Nggak, aku beneran yakin dia izin duluan tadi." Mendapatkan dua jawaban yang sama membuat Frida membatu. Gadis itu terhanyut dalam pikiran. Kemudian perasaan tak enak menyerangnya mendadak. "Maaf, ya. Aku pulang duluan, ada urusan mendesak." Ketika tak melihat respon apa pun lagi Zoe izin undur diri, meninggalkan Frida yang tetap di posisi yang sama, dengan sejuta skenario terburuk yang dapat ia bayangkan.

Meski demikian, dirinya tak bisa terkejut lama-lama. Mengikuti naluri dadakannya, gadis itu segera menekan nomor rumah Nadya. Nahas, ketika bertanya tak ada jawaban positif dari sang tuan rumah, ia malah mendapatkan pertanyaan yang sukar dijawab karena konteksnya berhubungan dengan Nadya.

Frida segera masuk ke dalam sekolah. Diabaikannya sang satpam yang berteriak jadwal murid yang diperbolehkan masuk ke dalam sekolah pada malam hari. Pikiran Frida hanya terfokus pada seseorang-Nadya dan kondisinya saat ini.

****

Gadis itu bersembunyi dalam lemari. Jantungnya berdetak kencang, dengan keringat yang mulai mengucur di seluruh tubuh. Kakinya lemas, kendati demikian masih ia paksa untuk berdiri. Matanya tak bisa melihat hal selain gelap, sedang napasnya terdengar pendek-pendek walau sudah dia tutupi dengan kedua tangan.

Adrenalinnya naik seribu persen, yang gadis itu tak sangka bisa memiliki adrenalin kala yang lain mengatakan dia bak tanpa ambisi. Dari luar, dapat ia dengar suara sepatu beradu lantai kayu, hal tersebut semakin membuatnya menutup mulut, berharap siapa pun yang ada di depannya tak menyadari keberadaannya.

Langkah kaki itu tak lama berhenti, bersamaan dengan napas lega dirinya merasa telah aman. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba pintu lemari terbuka, menampilkan seseorang dengan topi yang menutupi hampir seluruh bagian wajah dan sebuah senyum yang letaknya tak simetris.

Melihatnya, seketika membuat darah yang berada di pipi gadis itu seakan-akan terangkat bersih. Hanya ada mereka berdua, dan cahaya yang menyeruak masuk. Tangan seseorang itu berusaha menjangkaunya, sang gadis menolak tegas yang berujung pada terantuknya kepala sendiri di bagian belakang lemari. Gadis itu mengaduh kesakitan, dan dengan kesempatan tersebut dia menarik rambutnya, memaksa sang gadis itu mengikuti segera kehendaknya.

****

Satu jam berlalu dari waktu yang diberikan satpam, meski begitu Frida tak kenal lelah. Dirinya terus melangkah tergesa—tak ingin menyerah mencari keberadaan Nadya. Ketika berada di lorong kelas, suara bising dari balik salah satu kelas membuatnya semakin mempercepat langkah. Dadanya berdegup kencang, jemari sedikit gemetar meski hati penasaran luar biasa. Dengan harapan berlebih agar menemukan sahabatnya di balik sana, Frida mendobrak pintu, tak mendapati siapapun di sana, tetapi malah menemukan tulisan dengan tinta merah di papan tulis.

Aku luas, tapi juga sempit. Biasanya dijadikan tempat menyimpan barang, kadang barangnya setiap hari digunakan. Di manakah aku sekarang? Clue : Kotak Misteri.

"Apa-apaan ini?" Frida bergumam pelan. Matanya masih terfokus pada tulisan tinta merah di papan tulis, kendati otaknya sudah berkelana mencari tempat yang menjelaskan tempatnya.

"Gudang?" Memorinya kembali pada barang-barang yang sering digunakan dari bangunan besar yang berada cukup jauh dari lokasinya sekarang. Dengan cepat, tanpa banyak pikiran, Frida bertolak ke gudang, berharap tak ada hal aneh apa pun yang akan dia temukan nantinya.

****

"Dadang! Siapkan mobil, sekarang!" perintah mendadak dari seorang senior yang biasanya tak menegurnya membuat pemuda itu bertanya-tanya sembari tetap melaksanakan perintah.

Sesampainya di dalam mobil, pemuda itu tak dapat menahan diri untuk tak bertanya. "Kenapa saya diikutkan dengan senior? Bukankah senior paling ogah bersama saya?" Yang ditanya mendelik sejenak ke arahnya, sebelum memandang jalan raya.

"Kasusnya berada di sekolah yang kamu tangani kemarin. Kami butuh dirimu karena kamu yang paling kenal lokasinya."

"Memangnya ada kasus apa?"

"Kasus penculikan. Korban bernama Nadya Wijaya, usia 16 tahun, dikabarkan sudah menghilang sejak pukul 15.00 WIB," ujar senior singkat, menciptakan ruang hening antara mereka.

Sesampainya di sekolah, satpam harus kembali kelabakan melihat beberapa mobil polisi terparkir di depan pagar sekolah yang telah ditutup. Dengan jemari gemetar dan pikiran kalut dia membiarkan para polisi masuk setelah menunjukkan kartu pengenal mereka. Melihat wajah Dadang membuat satpam itu sedikit lega, tetapi tetap saja, hatinya bertanya ada masalah apalagi dengan sekolah yang sudah dia jaga lebih kurang tiga puluh tahun tersebut.

Para polisi segera berpencar, mereka mendapatkan kabar dari orang yang menghubungi bahwa korban tak keluar dari area sekolah. Lama mereka berpencar, hingga salah satu personel menghubungi sang senior. Setelah mendengar kabarnya dia segera bertolak ke arah belakang, membuat Dadang teringat pada gudang peralatan yang biasanya digunakan sebagai tempat menyesap bahan nikotin.

****

"Siapa di sana?!" Suara seseorang membuat Frida—yang tengah mengguncang tubuh Nadya—terlonjak kaget. Dengan lambat dia menoleh ke belakang, mendapati seseorang berdiri di pintu gerbang. Senter yang dibawa orang tersebut menyorotnya langsung, membuat pandangan gadis itu seketika buta.

Dengan suara serak karena berteriak selama berjam-jam, Frida menjawab. "Saya Frida, pak. Teman Nadya."

Tak lama derap kaki terdengar jelas, beberapa manusia ikut berdiri di depan pintu gudang yang tak terlalu besar. Mereka mendekatinya, masih menyorotkan senter yang rasanya ingin dia lempar jauh-jauh saja.

"Loh, Bapak?" Ketika mata Frida mulai terbiasa, sebuah wajah yang menanyainya ketika kasus kematian Giselle ada di depannya.

"Kamu, kenapa ada di sini?" Pertanyaan polisi itu seketika membuat Frida membeku.

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang