26. JUNA ATAU ARO?

7.7K 389 10
                                    

Setelah merasa cukup tenang. Poppy kembali masuk kedalam rumah sakit. Ia pergi karena ketika melihat Aro ia merasa sangat sesak dan tidak sanggup menahan kesedihannya, tapi ia tidak mau Aro berpikir ia membencinya. Sungguh Poppy tidak menyalahkan Aro atas kematian Ryaga.

Merapikan penampilannya yang sempat kacau saat menangis tadi baru Poppy hendak membuka pintu kamar rawat Aro. Tapi, gerakannya terhenti saat melihat Dinda yang menangis sambil mengelus lembut rambut Aro yang sedang tertidur. Dinda mencium kening Aro cukup lama lalu setelahnya ia hendak pergi, namun matanya dan mata Poppy tidak sengaja bertemu.

Dinda melotot kaget, ia langsung menghampiri Poppy yang mematung di depan pintu.

"Kak Poppy, aku bisa jelasin kok."

"Ayo."

"Hah?"

"Katanya mau jelasin."

Dinda mengangguk dan mengikuti Poppy yang berjalan didepannya. Mereka pergi ke cafe yang dekat dengan rumah sakit.

"Anu...yang kakak lihat tadi—"

"Kamu suka sama Aro?" tanya Poppy.

Dinda menelan salivanya susah payah saat Poppy menanyakan hal itu.

"Nggggg...ya gitu. Tapi, aku janji gak akan ganggu hubungan kalian! Setelah ini aku gak akan muncul didepan mas Aro—"

"Kenapa langsung nyerah?"

"Eh?"

"Saya pikir selama ini saya bersama dengan cinta pertama saya sewaktu kecil. Tapi, ternyata bukan. Bukan Aro yang saya sukai, kamu harus berjuang sebelum nanti dia diambil gadis lain. Tapi kayaknya gak ada deh yang mau sama pria galak dan arogan seperti Aro." ucap Poppy berusaha bergurau.

"Kak Poppy tidak punya perasaan sama mas Aro?" tanya Dinda.

"Tidak."

"Sedikit pun?"

"Hm. Berjuanglah!"

Dinda terharu hingga meneteskan air mata. Apakah ini saatnya ia membuat Aro peka kalau dirinya ini ingin dipandang sebagai 'wanita' dimata pria itu?

"Makasih, kak."

"Kalau begitu saya pulang ya, tolong jaga dia untuk saya." ujar Poppy lalu berjalan keluar cafe dengan perasaan yang sesak.

Dinda lebih pantas dibandingkan dirinya. Ya Poppy yakin Aro akan jauh lebih bahagia bersama Dinda.

"Aishhhhh... padahal gak mau nangis." Poppy mengelap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.

•••

Juna berdiri di depan rumah Poppy pagi-pagi dan tak lama kemudian sebuah mobil juga berhenti didepan rumah Poppy.

Aro, turun dari dalam mobil tersebut.

"Ngapain lo kesini?" tanya Aro.

"Harusnya saya yang tanya begitu, ngapain kamu kesini? Poppy itu istri saya!"

"Istri? lo lagi halu apa mabuk? perlu gue tunjukin surat cerai kalian berdua, hah?"

"Terserah. Bagi saya Poppy masih istri saya!"

"Menjijikan." sinis Aro lalu melangkah untuk mengetuk pintu rumah Poppy.

Pintu dibuka oleh seorang gadis yang sudah berpakaian rapi.

"Aro... Juna...kalian ngapain kesini?" tanya Poppy bingung.

"Ayo gue anter!"

"Sama saya aja sekalian ada yang ingin saya bicarakan."

"Udah mantan apa lagi sih yang mau diomongin? mending lo tanggung jawab sono sama si Saza!" ketus Aro.

"Tidak usah bicara kalau tidak tahu kebenarannya!" balas Juna tak kalah ketus.

"Aku berangkat sama Juna aja." ujar Poppy membuat Juna tersenyum senang.

Aro menahan tangan Poppy saat gadis itu hendak melewatinya begitu saja.

"Masih marah sama gue?"

"Gue gak benci sama lo atas kematian Ryaga, Aro. Gue cuma...cuma..."

"Cuma apa?"

"Cuma gak nyaman deket lo yang bukan siapa-siapa gue."

"Jadi, selama ini gue bukan siapa-siapa buat lo?" tanya Aro namun tak dibalas sepatah katapun oleh Poppy.

"Ayo, Poppy!" Juna menarik tangan Poppy dan membawa gadis itu untuk masuk kedalam mobilnya.

Aro mengepalkan tangan menahan emosi. Lalu selama ini Poppy menganggapnya apa sebenarnya?

Didalam mobil Juna mencari-cari kesempatan untuk menggenggam tangan Poppy, namun gadis itu langsung menjauhkan tangannya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Poppy dingin.

"Saya ingin minta maaf."

"Sudah aku maafkan dari dulu."

"Sebenarnya saya yang tidak bisa memiliki anak, saya yang mandul dan Saza berbohong soal dia yang mengandung anak saya. Dan ada hal yang harus kamu ketahui, Poppy. Saya waktu itu menceraikan kamu karena Saza mengancam akan melukai kamu. Saya takut—"

"Pengecut." Poppy memotong ucapan Juna membuat pria itu terdiam menunggu ucapan gadis itu selanjutnya.

"Bagaimana bisa aku hidup sama pria yang bahkan gak bisa ngelindungin istrinya sendiri dan lebih memilih untuk menceraikan istrinya? apa lagi sebutan yang pantas untuk pria seperti kamu selain pengecut." sarkas Poppy dengan tatapan datar lurus kedepan.

"Didepan stop!" pinta Poppy.

"Tapi, didepan lampu merah. Aku mau antar kamu sampai tempat kerja."

"Gak perlu. Aku bisa sendiri."

Juna mau tidak mau meminggirkan mobilnya dan membiarkan Poppy turun.

"Jangan ganggu aku lagi, Juna. Aku udah gak punya perasaan apa pun sama kamu. Cari kebahagiaan kita masing-masing aja. Aku udah maafin kamu dan kita bisa berteman tanpa melibatkan perasaan. Terimakasih sudah menjadi suami yang baik untuk aku selama lima tahun ini, aku seneng kok pernah hidup sama kamu. Tapi, mungkin kita emang gak ditakdirkan bersama. Jadi, tolong terima itu." ucap Poppy sebelum turun dari mobil Juna.

"Poppy tunggu!" Juan menahan tangan Poppy.

"Apa gak ada kesempatan kedua untuk saya?"

"Apa perkataan aku kurang jelas? aku udah gak ada perasaan apa pun ke kamu, Juna. Lalu kamu mengharapkan sebuah kesempatan? buat apa aku kasih kesempatan kalau aku aja udah gak mau sama kamu? udah ya, aku bisa telat." Poppy menghempaskan tangan Juna pelan lalu turun dari mobil pria itu dan menyetop sebuah taksi lalu pergi.

Juna termenung. Tidak percaya kalau dia akan kehilangan Poppy, padahal ia dulu sangat yakin aku menua bersama gadis itu.

"ARGHHHH!" Juna memukul stir mobil melampiaskan kekesalannya.



My Cutie Pie WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang