1. Kejadian Tragis

371 18 2
                                    

Reza menepikan motornya saat benda pipih disaku jaketnya bergetar.

“Ya, hal—“

Ucapannya langsung dipotong oleh si penelpon.

“Kak Eza lama banget! Kakak beneran mau nemenin aku nonton nggak sih? Filmnya bakal mulai tujuh belas menit lagi loh kak.”

“Iya-iya, Nara tunggu bentar lagi aja. Kakak udah mau sampe kok. Sabar yah.”

“Emang udah sampe mana?”

“Emm, jalan Pandawa.”

“Yaampun kak!!” Teriak si penelpon kesal. “Itu masih jauh banget kak, butuh setengah jam buat sampe sini. Kalau kak Eza nggak bisa, harusnya nggak usah bilang mau.”

“Tenang aja, kakak bakal ngebu—“

Sambungan telepon dimatikan oleh si penelpon. Laki-laki itu berdecak kesal, lalu segera memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.
  
“Sial,” umpatnya, saat lampu kuning berubah merah diperempatan.
  
Tanpa pikir panjang, laki-laki yang mengendarai motor besar dengan cepetan tinggi itu menerobos lampu merah.

Tinn!!
 
Brak!
  
Tanpa ia sadari, sebuah mobil truk menabraknya dari sisi kanan, membuat cowok dan motor besarnya itu terpental jauh ke aspal jalan.

–⏳–

Gadis bersurai hitam legam itu berlari di lobi rumah sakit yang ramai orang. Beberapa kali ia mendapat teriakan marah dari orang-orang yang tidak sengaja ditabraknya.

“Hah, hah...” Gadis itu mengatur nafasnya yang memburu.
  
“Mah! Tan!” Panggilnya pada dua perempuan yang berdiri di depan pintu UGD.
  
“Ka-kak Eza, gimana?” tanyanya khawatir.
  
Salah satu dari dua wanita itu berjalan mendekat lalu memeluknya dan perlahan menangis. “Nara—Eza akan baik-baik saja kan?” ucap wanita itu disela-sela tangisnya.
  
Gadis itu hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa.
  
Wanita yang satu lagi berjalan mendekat lalu mengelus pelan punggung teman baiknya.
  
“Muti tenanglah, kita harus tegar. Pasrahkan sama Allah semoga Reza baik-baik aja.”
  
“Iya kamu benar Dela. Terima kasih.”
  
Wanita bernama Muti itu kemudian melepaskan pelukannya pada gadis bernama Nara yang kini mematung di tempat.
  
“Nara,” panggil Dela pada anak semata wayangnya. “Mamah sama tante mau pulang ke rumah dulu. Mau ambil baju untuk rawat inap Reza nanti. Kamu tunggu Reza di sini yah, jangan kemana-mana.”
  
Gadis itu hanya mengangguk kecil, lalu mendudukkan dirinya di kursi panjang dekat pintu UGD saat mamahnya dan tante Muti  pergi.
  
Perlahan namun pasti setetes air mata luruh membasahi pipi gadis itu yang sedari tadi berusaha ia bendung.
  
“Hiks.” Gadis bersurai hitam legam itu menangis terisak di depan UGD rumah sakit.
  
Drap! Drap!
  
“Na-Nara!”
  
Laki-laki bertubuh atletis mengenakan kemeja hitam dengan lengan baju yang digulung sesiku, berdiri tidak jauh darinya.
  
“Kak Ian!"
  
Nara berjalan mendekati laki-laki itu kemudian memeluknya. “Gara-gara gue—Ini salah gue! Kak Eza—Salah gue—Kecelakaan!”
  
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya tidak mengerti apa maksud penuturan gadis itu. Tapi ia tetap berusaha memenangkan Nara yang sedang menangis kencang.
  
“Sutt—tenang. Semuanya akan baik-baik aja, Reza akan baik-baik aja.”

“Gak! Te-tetep aja! Kak Ez-za, kecelakaan, hiks, karena gue.”
  
“Permisi, apa kalian berdua keluarga pasien?” ucap seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.
  
"Dokter! Bagaimana keadaan kak Eza?!” tanya Nara khawatir.
  
Setelah beberapa saat kebeningan melanda, dokter itu akhirnya menjawab dan itu adalah kalimat yang paling tidak ingin Nara dengar.

“Maafkan kami, kami sudah berusaha sebaik mungkin—” Belum sempat dokter itu menyelesaikan ucapannya, Ian terlebih dahulu berteriak marah.
  
“Maksud dokter apa!!”
  
Dokter itu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya yang terpotong. “Pasien lima menit yang lalu telah dinyatakan meninggal.”
  
Tubuh Nara tiba-tiba lemas, nafasnya tercekat, detik itu juga ia merasa benar-benar bersalah atas kematian sahabat baiknya.
  
“Nar—NARA!”
  
Gadis itu pingsan di depan ruang UGD, yang menjadi saksi bisu kematian Reza.

—⏳—

Setelah dinyatakan meninggal, hari itu juga Reza dimakamkan. Ayah Reza mengatakan, hal ini dilakukan agar keluarganya tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan berusaha mengikhlaskan Reza yang telah berpulang ke Rahmatullah.
  
“Nara,” panggil Ian sambil menepuk bahu gadis bersurai hitam legam itu.
  
Pemakaman sudah sepi, orang-orang yang melayat sudah pulang dari satu jam yang lalu namun gadis itu tidak beranjak sedikit pun dari posisinya berdiri.
  
“Ra, ayo pulang.”
  
“Nara, matahari mulai terbenam. Ayo pulang!”
  
Gadis bersurai hitam legam itu tetap tidak berkutik sedikit pun.
  
Merasa ucapan tidak dihiraukan, Ian menarik paksa tangan gadis itu dan membawanya ke tempat parkir mobil. Ia tidak mau kalau sampai temannya betulan bermalam di kuburan.
  
“LEPAS!” teriak Nara marah saat Ian berhasil menyeretnya.
  
“Nggak akan!” Ian balas berteriak.

“Bentar lagi malam Nara! Mamah lo bisa khawatir karena lo belum pulang sejak ke pemakaman.”
  
“GUE BILANG LEPAS!”
  
Akhirnya genggaman kuat Ian berhasil terlepas. Gadis itu segera berlari ke makam sahabatnya lagi.
  
Namun dengan sigap Ian segera mengejar gadis itu lalu memeluknya dari belakang agar gadis itu tidak dapat berlari lagi.
  
Nara tak mau kalah, ia berusaha melepaskan pelukan Ian yang berusaha membawanya kembali ke mobil.
  
“Gue nggak mungkin ninggalin kak Eza sendirian disini, dia takut gelap. Gue harus nemenin dia—”
  
“LO GILA YAH! Gue juga nggak mungkin ninggalin lo disini dengan kondisi lo yang kacau kayak gini!” jawab Ian terdengar frustasi.
  
Merasa kalah tenaga, Nara akhirnya menurut untuk dibawa masuk ke dalam mobil.
  
Ian segera mengendarai mobilnya meninggalkan pemakaman, memacu mobilnya pergi ke rumah Nara, memulangkan gadis itu.
  
Di perjalanan atmosfer tidak nyaman mengisi di dalam mobil. Ian yang menyetir mobil dengan wajah serius dan sorot mata dingin, sedangkan Nara terisak pelan di kursi sebelah kemudi.

Gadis bersurai hitam legam itu berhenti terisak saat Ian menepikan mobilnya dibahu jalan dan menatapnya lekat dalam diam.
  
Selama sepuluh menit keduanya terus diam diposisi masing-masing, sebelum akhirnya Ian menghela nafas panjang dan memberikan tisu pada Nara.
  
Bukannya menerima tisu itu, tangis Nara justru pecah saat matanya bertemu dengan sepasang mata elang milik Ian.
  
Ian membiarkan gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil terus mengelap air mata yang bercucuran deras dipipi mulus gadis itu. Ian tahu gadis itu sudah menahan tangisnya sedari di pemakaman.
  
Disela-sela tangisnya, Nara mengucapkan kalimat yang berhasil membuat tanda tanya besar dikepala Ian dan memancing rasa kesal laki-laki itu.
  
“Kak Eza itu meninggal gara-gara gue.“
  
“Apaan sih Ra! Lo nggak boleh nyalahin dir—“
  
Nara berteriak lebih dulu sebelum Ian menyelesaikan ucapannya.
  
“KALAU AJA GUE NGGAK MAKSA DIA, DIA NGGAK BAKAL KECELAKAAN DAN NGGAK BAKAL MATI!”
  
“DAN GUE—Gue juga nggak bakal kehilangan dia buat selamanya.”

—⏳—

By_Zaenuna

Repeating TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang