"Loh, dompet Nara ketinggalan!"
Nara mungkin tidak bisa jajan dan pulang karena uang sakunya ada di dompet ini.
Dela memutuskan untuk putar balik ke sekolah putrinya. Lagi pula ini belum jauh, ia juga masih punya cukup waktu untuk sampai di kantor tempatnya bekerja.
Dela memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah. Saat hendak masuk ke dalam sekolah, ia bertemu dengan teman Nara yang tujuh hari belakangan ini sering main ke rumahnya.
Dela menepuk pelan pundak teman anaknya. "Ian kan? Bener Ian?"
"Tante Dela!"
–⏳–
Ian melirik jam tangannya. Sepuluh menit lagi gerbang sekolah akan ditutup tapi Nara, gadis itu sadari tadi belum terlihat batang hidungnya.
Selama tujuh hari belakangan ini Ian selalu berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu Nara.
Ian juga sedih dan terpukul atas kematian Reza, namun dia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.
Melihat kondisi Nara membuatnya khawatir. Apalagi tujuh hari yang lalu Nara selalu menolak bertemu dengannya. Ia sangat bersyukur gadis itu kemarin sore mau menemuinya.
"Beneran sekolah nggak sih!" Tutur Ian kesal.
Ia sudah menunggu sini sedari gerbang sekolah belum dibuka, bahkan ia datang lebih dulu dari pada satpam sekolahnya.
"Mobil tante Dela." Ian terseyum senang saat melihat seorang gadis bersurai hitam legam keluar dari mobil itu.
Gadis itu lalu menunggu lampu merah untuk menyebrang bersama segerombolan siswi sekolahnya yang lain.
Mata elang milik Ian tidak mau lepas sedikitpun melihat gadis cantik itu. Tapi—Nara sepertinya menjaga jarak dengan siswi-siswi di depannya.
Ada apa? Apa mungkin mereka menggosipi Nara didepan orangnya langsung, seperti yang sering terjadi satu tahun lalu.
"Astaga, mereka itu tidak ada kapok-kapoknya." Ujar Ian geram.
Lampu kuning berubah merah, Nara dan segerombolan orang di depannya berjalan perlahan menyebrangi jalan.
Plak!
Bahu kanan Ian ditepuk seseorang, refleks laki-laki itu menoleh.
"Ian kan? Bener Ian?"
"Eh tante Dela!"
Dela mengerutkan keningnya, "Ian kok nggak masuk ke sekolah? sebentar lagi kan gerbang ditutup."
Laki-laki itu tersenyum ramah, "ini mau masuk tan. Lagi nungguin anak tante nyebrang."
Ian menunjuk Nara yang semakin memberi jarak pada gerombolan orang di depannya.
"Yaampun, anak itu masih disitu aja. Aku pikir udah masuk kelas." Dela menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh iya, tante nggak ke kantor?"
Dela menepuk dahinya pelan. "Hampir saja tante lupa, untung kamu tanya."
Dela menyodorkan dompet putrinya pada Ian. "Tante titip ini kasihkan ke Nara ya."
Ian mengangguk sebagai jawaban.
"Makasih yah."
"Sama-sama tan."
Ckittt!
Bruk!!
"Ada kecelakaan!!"
"Eh cewek itu ditabrak motor!"
"Astaga! Anak sekolah kita!"
"Siapa?" Ian menghampiri kerumunan orang dipinggir jalan dengan Dela.
Tiba-tiba saja ia teringat Nara yang terus menjaga jarak dengan segerombolan orang yang tadi menyebrang bersamanya.
Bukankah harusnya Nara sudah menyebrang, sekarang dimana gadis itu?
Ian mengitari sekitar mencari keberadaan gadis bersurai hitam legam itu.
"NARAA!!!" teriak Dela histeris, lalu berjalan bersama segerombolan orang mendekati tubuh yang terkapar di aspal jalan.
Dada Ian sakit luar biasa, seperti ditusuk ribuan belati, saat tahu gadis korban tabrakan itu adalah Nara.
"BAJINGAN!" Teriaknya marah, melihat pemotor yang tadi menabrak Nara juga jatuh menghantam aspal jalan tak jauh dari posisinya berdiri.
Ian mendekati orang itu, dengan gerakan cepat dan membabi buta, laki-laki itu memukuli pemotor itu tanpa kenal ampun.
"BRENGSEK! NARA KETABRAK LO ANJING!! BISA BAWA MOTOR NGGAK SIH LO! KLO NGGAK BISA NGGAK USAH GAYA BAWA MOTOR NGEBUT ANJING!!"
Suasana di jalan Mataram depan SMA Pelita Bangsa ricuh dipagi itu.
–⏳–
"Ekhem!"
"Nara,"
"Nara!"
"Nara Athaya!!"
Gadis bersurai hitam legam itu membuka matanya, menatap binggung guru wanita yang ada di hadapannya.
"Kamu tidur dikelas saya?" tanya guru itu penuh penekanan.
Nara hanya diam saja, gadis itu belum bisa mencerna kejadian yang tengah dialaminya.
"Huh, saya sedang tidak ingin marah-marah. Kamu cuci muka sana dan segera keluar dari kelas saya."
"Kenapa bengong, masih mau tidur? Sudah sana lanjut tidur di luar."
Gadis itu akhirnya menurut untuk keluar kelas meski masih binggung.
Saat Nara berjalan keluar kelas, semua orang di dalam tertawa dan berbisik-bisik tentangnya. Hingga suara melengking guru wanita itu yang menghentikan kebisingan di dalam kelas.
"Heh! Apa yang kalian lakukan cepat kerjakan tugas yang sudah ibu berikan!"
Nara pergi ke toilet, membasuh wajahnya dengan air dari wastafel agar pikirannya jernih kembali.
"Apa yang terjadi?" Tanyanya sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
Ia—Tidak apa-apa? Bukankah tadi ia mengalami kecelakaan saat ditabrak pesepeda motor tadi.
Nara melihat kaki kanannya, tidak bengkok, bahkan ia bisa berdiri tegak dan berjalan.
Nara menggerakkan tangan dan seluruh badannya, tidak ada yang terasa sakit dan remuk seperti saat ia terbaring di aspal tadi.
"Gue—Gimana bisa baik-baik aja?" tanyanya binggung. "Tapi—Nggak mungkin kecelakaan tadi cuma mimpi."
Benar mana mungkin kecelakaan itu hanya mimpi. Pasalnya semua rasa sakit di sekujur tubuhnya terasa begitu nyata.
Nara menatap lama pantulan dirinya dicermin selama beberapa menit. Matanya melotot saat melihat bet logo kelas di lengan baju kirinya.
"Hah! Ke-kelas sepuluh?!"
Nara kan sudah kelas sebelas dan ia yakin betul sudah mengganti bet kelas sedari awal kenaikan kelas.
Ada yang aneh. Nara juga tadi ada di kelas saat ia duduk di bangku kelas sepuluh dan guru yang mengajar tadi adalah Bu Hani, guru bahasa Indonesia kelas sepuluh.
Sebenarnya apa yang terjadi padanya?
–⌛–
By Zaenuna
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeating Time
Teen FictionKematian orang yang ia cintai, membuat Nara terpuruk. Apalagi gadis itu menganggap bahwa sifat buruknya lah yang menyebabkan kematian orang yang cintainya. Setelah mengistirahatkan diri selama sepekan, Nara akhirnya masuk sekolah kembali. Itupun ber...