10. Dia orangnya?

118 8 0
                                    

Seminggu berlalu, kini Reza mulai terbiasa dengan sekolah barunya. Pendidikan di ibu kota lebih berkembang pesat dibandingkan kota kecil, sejujurnya Reza sedikit kewalahan mengejar materi.

Namun Ian, teman sebangkunya dengan tekun membantunya belajar, bahkan setiap hari Ian datang ke rumahnya.

Bundanya tampak senang kerap kali Ian datang ke rumah. Sebab Reza diterima baik oleh teman-teman barunya.

Muti setiap hari membuat cemilan seperti kue kering untuk diberikan kepada Iam, ia tak merasa kerepotan sedikitpun, justru Muti tidak enak hati pada teman putranya. Bahkan di hari Minggu Ian tetap membantu putranya belajar.

Tok, tok, tok!!

"Assalamualaikum Tante Muti, kak Reza!"

"Waalaikumsalam," Dela segera bergegas menuju pintu utama rumahnya.

Sosok gadis cantik, dengan kulit putih dan rambut hitam legam berdiri di depan pintu. "Siang Tante." Sapa Nara sambil tersenyum.

Dela balik tersenyum dan langsung mempersilahkan tamunya masuk. "Reza ada di ruang keluarga di lantai dua, langsung kesana aja."

"Iya tante," jawab Nara seraya mengangguk.

"Mandi aja lama banget lo, kita udah nungguin 3 jam!" Cercaan Ian menyambut kedatangan Nara.

Gadis itu memasang wajah sinis, "lebay, nggak selama itu juga. Paling cuma lima belas menit."

"Lima belas menit apanya—"

Ucapan Ian terpotong saat Reza menengahi pertengkaran kecil Nara dan Ian. Keduanya lalu duduk berhadapan tapi perang dingin masih terus berlanjut.

"Kalau kalian berantem terus kapan mulai belajarnya."

Ian akhirnya mengalah dan melirik sekilas wajah menjengkelkan gadis di depannya.

"Iya-iya ayo mulai."

Kelompok belajar ini terbentuk saat hari pertama Reza sekolah. Pada saat itu niatnya hanya Reza saja yang akan dibantu belajar oleh Ian, tapi gadis bod—Nara mendatangi mereka yang sedang belajar dan merengek minta dibantu mengerjakan soal fisika. Begitulah cerita singkat les privat tanpa bayaran itu dimulai.

"Nara itu salah, soal yang ini rumusnya bukan gitu."

Gadis bersurai hitam itu menghela nafas panjang, sudah tiga kali ia mengerjakan soal fisika dan selalu salah.

"Huh... Gue benci fisika!" Teriaknya sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.

Ian kesal melihat Nara yang malah malas-malasan. Laki-laki itu menarik kaki Nara hingga jatuh terduduk dilantai.

"Cepet selesaikan, gue jelasin sekali lagi rumusnya."

Nara mengangguk pasrah.

Setelah tiga jam akhirnya Nara menyelesaikan tugas fisikanya. "Akhirnya selesai!"

Pantas saja suasana sangat hening, Reza sudah menyelesaikan tugasnya sedari tadi dan sekarang laki-laki itu tengah tertidur di sofa. Sedangkan Ian—Entah pergi kemana.

Nara haus, air jus yang di suguhkan juga habis, gadis itu turun ke lantai bawah hendak ke dapur.

"Kak Ian?"

Laki-laki itu menoleh saat Nara memanggilnya. Ian memakai celemek, sepertinya laki-laki itu hendak memasak makanan.

Nara duduk didekat dispenser air, ia mengamati Ian yang cekatan memotong sayuran sambil meneguk minumannya.

"Nara." Panggil Ian.

Gadis itu menoleh namun tetap meneguk minumannya.

Ian pun menghentikan kegiatannya memotong sayur, menatap lekat manik mata gadis itu. "Dia Reza yang lo maksud waktu itu?"

"Uhuk, uhuk!" Nara tersedak. Ian yang panik segera menghampiri gadis itu dan menepuk pelan punggungnya.

"Maaf gue bikin lo kaget." Tutur Ian saat Nara berhenti batuk.

Nara menatap mata elang laki-laki itu. Andai ia bisa membaca pikiran, ingin sekali Nara membaca pikiran Ian yang susah sekali ditebak.

Kepala Nara tiba-tiba berdenyut kencang. Ia teringat kejadian ini juga pernah terjadi, tapi Ian tidak menanyakan hal demikian. Mungkin akibat ulahnya, masa depan berubah.

Ian semakin panik karena gadis bersurai hitam itu tak menanggapi ucapannya dan terus memegangi kepala.

"Nara, lo kenapa? Apa yang sakit?"

Pertanyaan Ian mengembalikan kesadaran gadis itu, ia pun meminta Ian mengambilkan air minum.

"Sudah lebih tenang?" Tanya Ian sesaat setelah Nara menghabiskan satu gelas penuh air putih.

Nara hanya mengangguk, kemudian kembali menatap mata elang laki-laki dihadapannya. "Kalau gue jawab jujur, apa kakak bakal ngira gue gila?"

Ian menggeleng, "kalau lo gila, mungkin sekarang lo dirumah sakit jiwa, bukan disini."

Nara menjitak kepala laki-laki itu cukup keras. "Duh gue serius."

"Gue juga." Jawab Ian.

Nara memalingkan wajahnya berusaha mengendalikan emosinya. Melihat itu Ian tertawa kecil.

Beberapa menit mereka terdiam, akhirnya Ian kembali bertanya. "Apa lo bisa ngeliat masa depan?" tanya Ian dengan suara lirih.

"Maaf-maaf, pertanyaan tadi anggap saja lo nggak pernah denger." Tutur Ian kemudian melanjutkan kegiatannya memotong sayur yang sempat tertunda.

Sebelum pergi Nara bergumam pelan, namun Ian dapat mendengarnya. "Kak kalau sudah waktunya gue bakal cerita."

Ian hanya memandangi punggung gadis bersurai hitam itu.

—⌛—

By_Zaenuna

Repeating TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang