Nara merapikan diri di depan cermin meja rias. Menyisir rambutnya, kemudian memoles wajahnya dengan bedak tabur.
Matanya bengkak dan menghitam, itu tampak mengerikan. Jadilah Nara menutupinya dengan poni.
Tapi rasanya tidak nyaman, ia tidak terbiasa seperti ini. "Huft!" Nara meniup rambut poninya agar tidak lagi menutupi mata.
Masa bodoh dengan pandangan orang-orang perihal matanya yang mengerikan.
Nara melirik jam di dinding kamar. Pukul 6.14, ia segera beranjak untuk sarapan karena sebentar lagi Reza akan datang menjemputnya untuk berangkat kesekolah bersama.
Senyum Nara mengembang sempurna, namun sedetik kemudian hilang. Ia tersadar Reza telah tiada, ia lupa dan belum terbiasa. Nara melupakan kenyataan pahit itu.
Nara jadi teringat obrolannya kemarin dengan Ian dan ibunya. Dari dua orang yang paling ia percaya selain Reza, tidak ada satu pun yang membelanya ketika ia menjelaskan alasan mengapa ia selalu merasa bersalah atas kematian Reza.
Setetes air mata berhasil lolos dan membahasi pipinya, Nara buru-buru menghapusnya.
"Udah cukup, Nara! Udah cukup!" teriaknya sendiri dalam hati.
Ia lelah untuk menangis, ia lelah menjadi pecundang. Untuk apa seorang penjahat menangis atas kesalahannya sendiri, mungkin ia menyesal. Tapi menyesal bukanlah hal yang benar.
Jika memang Nara menyesal harusnya ia berusaha memperbaiki kesalahannya. Bukan berdiam diri dan hanya menangis seperti seorang pengecut.
Bahkan untuk menceritakan yang sebenarnya pada mamah dan tante Muti saja ia tidak sanggup. Nara terlalu takut dibenci.
Ceklek!
"Nara!"
Suara ibunya berhasil membuyarkan lamunan Nara.
"Kamu kenapa sayang?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Nara dengan cepat menggeleng. "Aku nggak papa, cuma—keinget kak Eza."
Dela menghampiri putrinya, lalu mengelus puncak kepalanya pelan.
"Pelan-pelan kamu akan terbiasa nak. Mengikhlaskan memang bukanlah hal yang mudah, mamah tahu itu." Ucapannya seraya terseyum menenangkan.
"Mamah juga begitu saat kehilangan papah mu. Tapi kita harus tetap menjalankan hidup dan mamah punya kamu, buah hati yang sangat mamah dan papah sayangi. Jadi mamah berusaha kuat demi kamu dan demi diri mamah sendiri."
Nara menunduk.
"Tidak apa. Itu semua wajar Nara, jangan berkecil hati."
Dela kemudian mengajak putrinya keluar kamar.
"Sekarang ayo kita sarapan, mamah udah bikinin nasi goreng sosis kesukaan kamu loh!"
Nara tersenyum sambil memeluk ibunya dari samping, "makasih mamah."
"Udah ayo sarapan, nanti telat berangkat lagi. Hari ini mamah yang antar Nara, jadi harus tepat waktu, karena mamah nggak mau Nara dihukum di sekolah."
"Iya deh."
Lalu keduanya tertawa dimeja makan. Saat-saat ini begitu membahagiakan, seolah tidak akan ada hal buruk yang akan menimpa mereka dimasa depan.
Nasib buruk, tidak ada yang tahu. Kita juga tidak tahu scenario apa yang Tuhan buat untuk kita beberapa jam ke depan.
–⏳–
"Sudah sampai..."Dela mengantar hanya sampai seberang jalan sekolah putrinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/294504626-288-k195019.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeating Time
Teen FictionKematian orang yang ia cintai, membuat Nara terpuruk. Apalagi gadis itu menganggap bahwa sifat buruknya lah yang menyebabkan kematian orang yang cintainya. Setelah mengistirahatkan diri selama sepekan, Nara akhirnya masuk sekolah kembali. Itupun ber...