11. Rasa yang tetap sama

203 9 0
                                    

"Kamu pembunuh! Kamu membunuh anak saya!" Muti berteriak tepat di wajah Nara. Sedangkan gadis itu menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan telapak tangan.

"Pembunuh!!"

⌛—


"Hah, hah!"

Nara terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Ia melirik jam dinding, rupanya masih pukul satu dini hari.

Semenjak mengulang waktu, mimpi buruk kematian Reza terus menghantuinya. Bahkan tiap hari bertambah parah seperti mengingatkan, Nara tidak boleh melupakan kejadian itu.

Nara telah mencari penyebab ia bisa kembali ke masa lalu dari berbagai sumber. Mulai dari media buku, artikel, koran, hingga jurnal, ia tetap tidak mendapatkan jawaban. Meskipun Nara cukup frustasi, ia tetap menjalani hidup bagaimanapun keadaannya.

Garis bersuarai hitam itu meminum air putih yang ada di meja samping tempat tidurnya, kemudian mulai mengatur nafas agar lebih tenang. Setelah dirasa cukup membaik, ia melanjutkan tidurnya.

⌛—


Cahaya matahari yang menyilaukan menembus kaca jendela kamar, hingga membuat sang empunya terbangun. "Huh, silau!"

Nara beranjak dari tempat tidur hendak menutup horden dan tertidur lagi, tapi saat tidak sengaja melihat jam, ia berteriak heboh.

"Gawat! Gue kan janjian joging jam enam, ini udah jam delapan!"

Gadis itu segera berlari ke kamar mandi hanya untuk sekedar menggosok gigi dan mencuci muka lalu berganti pakaian.

"Nara kamu mau kemana? Sarapan dulu!" Tutur Dela saat putrinya tampak terburu-buru mengenakan sepatu.

"Mau joging sama kak Eza mah!"

"Inikan sudah jam delapan, kok joging jam segini?"

"Makanya Nara telat. Bye mah, assalamualaikum!"

Setelah mengucapkan salam gadis itu segera berlari ke taman kompleks yang tidak jauh dari rumahnya. Dulu Nara dan Reza sering joging pagi berdua, ini pertama kalinya Nara terlambat hingga dua jam lamanya. Ini karena insomnia yang dideritanya.

"Kak Eza dimana yah?" Ucapnya saat telah sampai di taman.

Nara mengacak-acak rambutnya frustrasi. Mana mungkin Reza menunggunya hingga selama itu, pasti laki-laki itu sudah pulang.

"Gobl*k, kenapa tadi gue nggak ke rumahnya dulu!" Karena panik Nara sampai tidak menyadari keberadaan seseorang dibelakangnya.

Tiba-tiba Nara merasa sebuah benda dingin menempel di pipinya, lantas gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati laki-laki yang tengah dicarinya.

"Kamu telat dua jam loh!"

Betapa terkejutnya gadis itu ternyata Reza masih menunggunya. "Maaf gue lupa pasang alarm, maaf banget!"

"Iya udah nggak apa-apa, asal nggak diulang." Ucap Reza seraya tersenyum.

"Kamu kenapa? Kantung matamu menghitam. Begadang ya semalem?"

Nara membeku, tidak mungkin ia berkata jujur kalau ia insomnia karena sering memimpikan kematian Reza. Alhasil gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Begadang itu nggak baik buat kesehatan Nara."

"Iya iya maaf."

"Pasti belum sarapan ya? Makan soto yuk!"

"Ayo! Tapi kakak tau dari mana gue belum sarapan?"

"Kelihatan banget tuh!"

"Apa masih ada ilernya kah?" Nara segera membuka kamera di ponselnya untuk mengecek.

"Ahahaha! Nggak ada Nara, aku cuma nebak kok."

Nara jadi malu sendiri karena terburu-buru sampai tidak sempat merapihkan diri.

"Nggak usah mikir aneh-aneh, kamu nggak dandan juga cantik."

Kata-kata manis Reza selalu berhasil membuat hatinya menghangat. Tapi–kali ini Nara juga merasakan perasaan lain yang bercampur dan seketika membuat dadanya sesak.

Ucapan Reza memang selalu berhasil membuatnya salah paham. Seakan-akan laki-laki itu juga menyukainya ataukah Nara yang terlalu berlebihan menanggapi. Reza mengatakan itu hanya untuk sekedar menghibur dirinya.

"Nara ada apa? Kenapa berhenti jalan?"

"Anu kak–gue baru inget mamah masak nasi goreng tadi. Nggak sempet makan karena buru-buru."

"Oh gitu, jadi gimana?"

"Maaf ya kak gue pulang duluan. Kakak makan sendiri aja. Ngerhargain mamah udah masak hehe."

Reza tersenyum lalu mengusap puncak kepala Nara. "Kalau gitu makan di rumah kamu saja, tante Dela juga pasti seneng. Gapapa kan?"

Nara membeku, hatinya luluh kembali. Baik dulu maupun sekarang, Reza adalah orang yang selalu bisa melumpuhkan hatinya.

Entah Reza menganggap dirinya sebagai apa, dan meskipun Reza menyukai orang lain perasaan Nara tidak berubah. Bukankah setiap orang berhak mencintai orang lain sekalipun tidak terbalas?

Ternyata benar peribahasa bahwa cinta itu buta.

—⏳—

By_Zaenuna

Repeating TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang