Part 11

259 18 8
                                    

Ketika bumi terus berotasi, telah banyak hal yang berubah. Ketika es mulai mencair dan udara mulai menghangat, begitu juga bunga yang bermekaran mulai layu dan meninggalkan tempat peraduannya. Begitu pula senyum yang selalu menghias di wajah cantik Ji ah mulai luntur.

Benar, tak butuh waktu lama untuk merubah segalanya. Dalam sekejap mata bunga matahari yang selalu ceria kini meredup saat sang Mentari berbalik arah meninggalkannya sendiri didalam keremangan tanpa cahaya.

Kini Ji ah bukan lagi Ji ah yang ceria, ceroboh dan bersemangat, bukan pula Ji ah yang selalu bergantung pada Ki Joon. Ji ah kini hanya sekedar Ji ah. Gadis yang hanya menatap matanya kedepan bak mengenakan kacamata kuda. Senyumnya kini bagaikan sebuah benda antik langka yang patut dijaga disebuah museum berlemari kaca. Kini hanya ekspresi datar yang selalu terpatri jelas diwajahnya.

"Ji ah-ya apa kau sudah mau berangkat?"

Ji ah menolehkan kepalanya kepada Uhm Ahjumma yang sedang menjemur pakaian dibawah sinar matahari pagi.

"Nde Ahjumma"

"Apa kau sudah sarapan?" Tanya Uhm Ahjumma dengan nada sedikit khawatir.

"Sudah Ahjumma"

"Benarkah? Kalau begitu pergilah, kau akan terlambat jika berlama-lama disini. Jika Ki Joon tidak berangkat dengan pacarnya kau bisa berangkat bersama Ji ah-ya"

"Aniyo gwaechana Ahjumma. Kalau begitu aku berangkat" ucap Ji ah ramah sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Eum Josimhae"

"Nde.."

Wanita setengah baya itu menatap punggung Ji ah yang semakin jauh, menatap malang pada gadis yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Waktu 2 tahun cukup membuat perubahan besar pada gadis itu. Ia mengingat jelas gadis kecil periang yang sangat menyukai kukis itu selalu berlarian bersama Ki Joon, suara tangis dan tawa nyaringnya masih terdengar di setiap sudut rumahnya.

Namun kini semuanya telah berubah. Gadis kecil itu telah berubah menjadi seorang remaja yang kuat, dan Tangguh, namun rapuh dari dalam.

Dunia terlalu kejam untuknya. Gadis itu ditinggalkan oleh ibunya disaat dirinya tak siap kehilangan, tak siap mengahadapi dunia sendiri. Memikul keluh kesahnya sendirian bukanlah hal mudah. Mengeraskan hati dan menjalani hidup biasa saja sudah cukup untuknya, tapi takdir tak selalu bekerja sesuai dengan rencana, yang mengharuskan dirinya masuk dalam hal yang tak pernah ia duga.

"YAAAKKK HENTIKAN" teriakan Ji ah terdengar nyaring dijalanan pagi yang masih sedikit sepi. Tubuh kurusnya berlari kencang membelah jalan yang masih minim kendaraan. Dengan mengkerahkan semua tenaga yang ia punya, Ji ah menarik tubuh laki-laki yang hampir terjun bebas di jembatan.

"Apa yang kau lakukan?"

"Wae?"

"Kau tidak harus melakukan ini"

"Aku tidak tahu seberapa sulit masalahmu, tapi setidaknya jangan mengakhirinya dengan cara seperti ini"

"Dengarkan aku! Jika kau punya masalah atau banyak kekhawatiran, kau bisa berbagi kepada orang lain. Jangan menyimpannya sendirian"

Cerocos Ji ah sambil memeluk laki-laki yang lebih tinggi darinya. Ji ah merasakan sesak pada dadanya, seperti merasakan gelombang perasaan yang dirasakan oleh laki-laki yang ada dalam pelukannya. Tanpa sadar airmata mengalir deras.

Ji ah tahu hidup ini berat. Tapi saat melihat laki-laki yang sampai berpikir untuk mengakhiri hidupnya, ia seakan disadarkan bahwa hidup terlalu berharga untuk diakhiri dengan sia-sia. Ji ah pikir, ia adalah orang paling kesakitan di dunia ini. Tapi ternyata banyak orang lain diluaran sana yang berusaha mati-matian untuk tetap bertahan.

"Mianhe"

Setelah tenang Ha Seok Jin -laki-laki yang nyawanya hampir melayang tadi akhirnya membuka suara.

"Wae? Kenapa kau minta maaf padaku?" tanya Ji ah heran.

"Ani, aku memang harus meminta maaf karena merepotkanmu"

"Tidak masalah, justru yang lebih merepotkan jika aku terlambat menyelamatkanmu. Aku tidak mau berurusan dengan polisi karena menjadi saksi kasus bunuh diri" tukas Ji ah, membuat Seok Jin tersenyum masam.

"Seok Jin-ssi, jika kau memiliki masalah jangan sungkan untuk datang berkeluh padaku. Oh, dan aku akan tanyakan pada bos pemilik kafe tempatku bekerja soal dirimu"

Suasana hening seketika, hanya terdengar suara dari plastik es krim yang dipegang oleh keduanya. Ji ah tak habis pikir pada kedua orangtua Seok Jin yang bercerai meninggalkan Seok Jin sendiri bersama adik perempuannya yang terbaring di rumah sakit.

Bahkan Seok Jin sudah hampir 1 bulan tak sekolah karena tak mampu membayar biaya sekolah dan sibuk mencari pekerjaan untuk pengobatan adiknya.

Rasanya Ji ah ingin memaki kedua orangtua Seok Jin yang tidak bertanggungjawab, tapi siapa dirinya. Hanya orang asing yang kebetulan lewat di jembatan itu.

"Bertahanlah Seok Jin-ssi, kau adalah rumah untuk adikmu. Yumi juga pasti sedang berjuang untukmu" ucap Ji ah sambil menepuk bahu Seok Jin.

"Hubungi aku jika kau butuh bantuan. Aku pergi!"

Seok Jin menatap kepergian Ji ah dengan hati yang tenang setelah mengeluarkan semua masalah yang menumpuk di dadanya. Ternyata benar yang dikatakan banyak orang. Masalah menjadi lebih ringan jika kita membaginya kepada orang yang tepat.

TBC~

Sunflower (해바라기)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang