Happy Reading
Sebelum lanjut baca, Tampol dulu dong bintangnya!
."Kita mau ngapain?" tanyaku dengan alis yang bertaut. Aku menunggu Mama, Bunda dan Ari menjawab. Mereka sempat berpandangan dan dengan serempak menjawab. "Kita bikin kue!"
"What?! Aduh. Mama sama Bunda kan tahu kalo Riri itu gak bisa masak, ish!" aku memanyunkan bibirku.
"Kita belajar, sayang," ucap Mamah. Menengok ke arah Bunda. Bunda mengangguk. "Ini akan menyenangkan, kita belajar bikin kue aja dulu," ucap Bunda dengan senyum yang mengembang.
Aku menghela napas. "Oke, tapi Riri ganti baju dulu." Aku langsung masuk kedalam rumah.
Aku gak suka masak, aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan menonton drama Korea. Aku mengganti baju di kamar, sepertinya dengan kaos lengan pendek dan celana selutut cocok digunakan sekarang, biar gak ribet.
Aku keluar dari kamar dengan tangan yang sibuk mengikat kuda rambut panjangku."Cie yang mau belajar masak," goda Ari. Aku melihatnya tengah menaik turunkan alisnya, menggodaku. Aku menjitak kepala Ari cukup keras sehingga Ari mengaduh kesakitan. Aku tertawa puas.
"Sakit tau, Riri." tangan Ari tampak terulur untuk membalas jitakanku. Aku dengan gesit menghindar dan berlari kearah dapur, kutengokkan kepala ke belakang. Ternyata Ari mengejarku, aku semakin mengencangkan lariku. Hingga— Bruuuk!!!
Aku menabrak sesorang, dan asat aku melihat kearah bawah ternyata itu Bunda. Astaga Bunda sampai jatuh gara-gara aku menabraknya."Aduh maaf, Bunda." Aku membantu bunda bangkit berdiri. Kudengar suara tawa Ari.
"Kenapa lari-lari? sampe-sampe bunda ditabrak," ucap Bunda membuatku tak enak dan menggaruk tengkukku.
"Ari mau jitak Riri, Bun. Makanya Riri lari."
Bunda tampak menggeleng-gelengkan kepalanya."Yuk kita mulai bikin kuenya." Suara Mama terdengar dari arah dapur.
"Yuk! Riri, Ari." Bunda menggandengku menuju dapur, dan kurasa Ari mengikuti kita dari belakang.
"Nah coba Riri pecahin telur-telur ini dan masukin ke sini, pisahin putih telur sama kuning telurnya, ya," perintah Mama.
Bunda menghampiriku. "Nih pake dulu celemeknya." Bunda menyodorkan dua celemek padaku.
"Terima kasih, Bunda." Aku memberikan satu celemeknya lagi pada Ari.
"Nih pake!" ucapku agak sewot.
"Pakein dong," ucap Ari dengan mata yang seperti kelilipan, aku memasang wajah jijik. "Pake aja sendiri." Aku menjulurkan lidah.
Tanpa banyak bicara lagi, aku lihat Ari memasang celemeknya. Pandanganku teralih pada beberapa telur. Aku menggeser wadah telur itu dan dua wadah untuk memisahkan isi telur.
Aku mengambil satu telur, sebelumnya aku tidak pernah memecahkan telur dan mari sekarang kita mencobanya. Apakah aku bisa?
Tanganku yang satu lagi menggapai sendok yang tak jauh dari posisiku sekarang.Aku pecahkan cangkang telurnya.
Prak!
Malah semua cangkangnya pecah, isi telurnyapun jatuh ke meja dan tanganku penuh dengan telur. "Iwh! Jijik!" seruku. Aku berlari ke arah wastafel dan mencuci tangan di sana.
"Riri, Riri. Kalo mau pecahin telur itu gak gitu, tapi gini!" ucap Ari. Mengambil satu butir telur mengangkatnya dan melayangkannya menuju keningku.
Krak!
"Aw! Sakit tau ih!" gerutuku. Memonyongkan bibir kesal. Tanganku menggosok-gosok keningku yang terasa sakit.
Kudengar Ari tertawa terbahak-bahak. "Liat, udah pecah." Ari memperlihatkan telur tadi yang sudah retak. Tangan Ari dengan pelan membuka telur itu sedikit demi sedikit, Ari tampak memisahkan putih telur dan kuning telurnya kedalam wadah yang berbeda.
"Wow, Ari hebat!" seruku riang.
Ari tampak tersenyum miring."Iyalah, Ari gitu lho!"
"Yah, Riri masa kalah sama Ari sih," ledek Bunda membuatku berenggut kesal kembali, sedangkan Mama yang berada di sisi lain terkikik dan matanya mengarah kepadaku.
"Tahu tuh, Riri. Malu dong, Riri kan cewek. Masa gak bisa masak!" Ari meledekku sambil kembali memecahkan satu butir telur kembali, untung Ari mememakai sendok yang kupegang tadi saat memecahkan telurnya, kalau tidak kepalaku akan jadi sasarannya lagi.
"Riri gak suka masak! Masak itu bukan bidangnya Riri," ucapku sambil menunjuk-nunjuk alat dan bahan masakan di dapur ini.
"Terus apa bidangnya Riri?" tanya Mama membuatku menengokkan kepala ke arah Mama.
"Tiduran di kamar, hehe." Aku terkekeh. Bidangku adalah rebahan.
"Gak ada untungnya, Ri," ucap Ari.
Aku mendelikan pandangan pada Ari."Ada kok, tiduran itu buat istirahatin badan yang cape! Kalo gak tiduran bisa remuk badan!" seruku.
"Udah-udah, kok malah debat sih." Bunda menengahi.
"Udah Ah, Riri gak mau masak lagi." Aku melepaskan celemek yang menempel di tubuhku.
"Riri payah," ejek Ari dengan senyuman menyebalkannya.
Berhubung aku cape berdebat dengan Ari, aku langsung pergi meninggalkan dapur dan berjalan menuju kamar.
Aku merebahkan tubuhku, nyaman sekali. Aku hirup dalam-dalam aroma kamarku.Tiba-tiba pikiranku melayang pada kejadian tadi di sekolah, apakah Dito selingkuh? Sepertinya tidak, Dito tidak mungkin selingkuh. Namun, otakku kembali berputar saat melihat Dito yang membonceng perempuan lain. Tak terasa air mataku keluar, aku pun terisak di atas kasur. Aku mengganti posisiku menjadi duduk dengan tangan yang memeluk kaki. Kutundukkan kepalaku dan memejamkan mata.
Banyak sekali kenangan aku dengan Dito, mulai dari awal pacaran hingga sekarang.Tiba-tiba kurasakan ada seseorang yang naik ke kasur, tak lama dari itu kumerasa ada yang memelukku.
"Riri, kenapa nangis?" Itu suara Ari, aku pun langsung mendongkan kepala, benar saja Ari sekarang sedang memelukku.
"Dito—"
"Jadi, Riri nangis cuma gara-gara si Dito itu?"
Aku mengangguk sebagai jawaban, "banyak kenangannya, hiks ...." ucapku di sela tangisan.
Ari melepaskan pelukannya, beralih dengan menghapus jejak air mataku di pipi.
"Kalo misalkan Riri sama si Dito putus aja, gimana?"
"Riri gak mau!"
"Kenapa?"
"Riri sayang sama Dito, Ari."
Kudengan Ari menghelaan napas. "Jangan nangis lagi kalo gitu." Ari kembali memelukku, bukannya tangisanku mereda, aku malah semakin kencang menangis.
Aku membalas pelukannya Ari, aku terlalu hanyut dalam tangisan hingga aku tak sadar bahwa aku telah tertidur pulas di pelukan hangat Ari.***
Aku membuka mataku perlahan, aku terbangun dari tidur nyenyakku dan aku merasakan sebuah tangan yang melingkar di perutku. Aku memandang ke arah pemilik tangan yang memelukku, ternyata Ari masih tidur.
Aku dengan pelan melepaskan pelukan Ari, aku bangkit duduk di atas kasur. Namun, bukannya aku beranjak untuk kekamar mandi setelah beberapa detik aku duduk aku kembali malah merebahkan tubuh kembali dan memeluk Ari.
Aku hirup dalam-dalam aroma Ari yang sangat aku sukai. Kehangatan tubuh Ari sangat membuatku nyaman, tiba-tiba darahku berdesir dan wajahku memanas. Aku sangat nyaman berada di dekat Ari.
"Suka banget ya nempel-nempel sama Ari?" Tiba-tiba Ari bersuara. Aku terlonjak kaget dan dengan sepontan aku mendorong keras Ari, hingga Ari terjatuh ke lantai.
"Enggak! Riri tadi peluk Ari biar Riri bisa tidur lagi, Riri tadi masih ngantuk." Aku membela diri.
"Bilang aja mau ari peluk lagi, 'kan?" tanya ari sembari bangkit berdiri. Alis Ari naik turun menggodaku.
Aku memutar bola mata. "Nggak ko—" ucapanku terhenti, jam berapa sekarang? Berapa lama aku tertidur? Mama sama Bunda gimana?
Aku memelototkan mata kearah Ari, Ari tampak heran."Ari! Kenapa Ari tidur sama Riri?!" aku bangkit berdiri dan berlari keluar kamar.
"Mama! Bunda!" teriakku, tapi tak ada sahutan dari keduanya.
Mama sama Bunda kemana?***
KAMU SEDANG MEMBACA
Him or Him?
Teen FictionDisetiap pelukannya memberikan ketenangan, menyalurkan rasa hangat. Terbiasa dengan kehadirannya membuatku tak bisa untuk kehilangannya. "Gak bisa kaya gini, Riri. Ingat, kita sahabatan! Riri gak boleh punya obsesi buat bisa pacaran sama Ari, apala...