Hallo, kembali lagi sama Mei
Selamat mikmati alur cerita.Baca ya guys! Siapa tahu kalian jatuh cinta sama salah satu tokoh dalam karya Mei ini.
Happy reading
Jangan lupa tampar dulu bintangnya!.
Angin bertiup kencang, menerbangkan rambutku yang tak ikut terikat. Air mengalir menambahkan kesejukan di tempat ini, tempat kesukaanku dan tempat kita membagi cerita. Daun kering di atas tanah kulewati, hingga langkahku terhenti di sebuah jembatan kokoh diatas sungai ini. Jembatan yang menjadi saksi bisu setiap ceritaku.
"Ri!"
Nah, dia Ari. Lelaki yang sedang berlari kearahku dengan melambaikan tangan itu adalah lelaki paling penyabar yang aku kenal. Lelaki dengan seribu sifat genitnya kepada perempuan di sekolah. Kadang aku kesal dengan sifat yang satunya itu, tetapi aku bersyukur telah mengenalnya.
Sekali melihat matanya, siapa pun itu akan langsung merasakan suatu hentakan luar biasa dalam hatinya. Begitu juga aku, setiap aku memandang matanya selalu saja tenggelam dalam kehangatannya, tapi jujur saja kadang aku kesal dengan tatapan matanya yang terkadang berubah menjadi sorot jahil.
"Udah lama nunggunya?" tanya Ari. Nafasnya tak teratur.
"Lama banget!" aku mengerucutkan bibirku kesal dan melipat tanganku di depan dada.
"Liat, Riri tungguin Ari itu dari jam delapan pagi lho!" aku mengetuk-ketuk jam tanganku kesal.
"Sekarang jam berapah hah?!" sewotku. Ari memegang tanganku dan melihat jam tanganku.
"Ari cuma telat setengah jam aja , Ri," jawabnya santai.
"Cuma kamu bilang? Setengah jam itu bisa Riri manfaatin buat-"
"Buat apa hm?" potong Ari. Aku melihat kearah atas, kebiasaanku ketika memikirkan sesuatu.
"Apa?" desak Ari.
"Pacaran sama Dito contohnya," jawabku. Aku nyengir melihat wajah Ari yang terlihat sebal setelah mendengar jawabanku.
"Dito aja terus, sakit hati baru tahu rasa!" gumam Ari.
"Apa Ari bilang? Jadi, Ari mau Riri sakit hati?" Tanyaku yang dijawab gelengan oleh Ari.
Ari merangkul pundakku, "Sekarang itu hari libur kita, kamu mau lakuin apa aja? Yuk kita senang-senang hari ini!" ajak Ari sambil menarikku untuk berjalan, aku sedikit keberatan dengan tangan Ari yang berada di pundakku.
"Ish, Ari. Ini tangan Ari berat banget sih!" protesku menggerak-gerakan pundak suapaya tangan Ari turun dan ya akhirnya tangan Ari turun, berganti dengan menggenggam jemariku.
***
"Kalian dari mana?" tanya Mama. Nah, wanita hebat yang sedang duduk di kursi depan rumah itu adalah Mamaku. Beliau adalah wanita paling kuat yang aku kenal, bukan hanya sekedar menjadi ibu rumah tangga, tapi Mama juga banting tulang untuk menafkahi aku, Mama mempunyai butik. Dirumah aku hanya tinggal berdua dengan Mama, sedangkan Papa sudah meninggal saat aku berusia 14 tahun yang saat itu aku masih kelas 8 SMP. Saat Papa meninggal sangat berat bagiku, begitu juga Mama. Sedikit tak rela di hatiku untuk melepas Papa pergi, tapi ucapan Mama menyadarkanku.
"Mama aja ikhlas melepas Papa, masa Riri enggak sih? Udah ya sedihnya. Papa kan gak suka anak cengeng."
Mama bangkit dari duduknya. "Tadi Riri bilang mau joging." ucap Mama sambil menerima uluran tanganku untuk mencium tangannya. Ari ikut mencium tangan Mama.
"Oh, kamu mau joging, Ri? Pantes pake baju olahraga gitu," ujar Ari.
"Jogingnya gak jadi, karna dipake nungguin orang sampe jamuran," sindiriku.
"Hehe, maaf."
Mama menggeleng-gelengkan kepalanya, itu kebiasaan Mama saat melihat aku yang selalu saja kesal kepada Ari. "Hari kalian itu penuh sama berantem ... sampe-sampe Mama udah bosen liat kalian berantem."
"Tau tuh Ririnya Ma," adu Ari. Sialan aku malah kesal dengan candaannya.
"Tuh bibir manyun terus, dicium lebah baru tau rasa," ejek Ari. Aku memelototinya. "Ari jahat Ma." sekarang giliranku yang mengadu kepada Mama. Mama memutarkan matanya, membuatku berenggu tesal.
"Udah-udah, Mama mau masak dulu aja buat nanti siang." ucap Mama, aku melihat Mama hendak masuk ke dalam rumah, tapi Mama membalikan badannya kembali menghadap aku dan Ari.
"Riri gak mau bantuin Mama?" tanya Mama, aku membelalakan mata. Aku tidak bisa masak, jangankan bisa, masuk kedapur saja aku jarang.
"Ehehe, Riri cape," jawabku diakhiri dengan kekehan.
"Cape apanya? Alasan doang itu mah," ledek Ari. Lagi-lagi dia membuat onar.
Mama kembali membalikan badannya, masuk kedalam rumah. Setelah Mama hilang dari pandanganku aku langsung menjambak rambut Ari, Ari mengaduh kesakitan.
"Riri tungguin Ari lama, ya pasti cape lah!!" jeritku. Tangan Ari menggapai tanganku. "Ri, lepasin. Sakit." Dengan kesal aku melepaskan jambakanku pada Ari.
***
Sampai ketemu lagi di part 1 ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Him or Him?
Teen FictionDisetiap pelukannya memberikan ketenangan, menyalurkan rasa hangat. Terbiasa dengan kehadirannya membuatku tak bisa untuk kehilangannya. "Gak bisa kaya gini, Riri. Ingat, kita sahabatan! Riri gak boleh punya obsesi buat bisa pacaran sama Ari, apala...