15. Sleep Call

11 5 0
                                    

Melangkah terus, satu tempat yang kutuju, tempat biasa aku kunjungi setip hari minggu. Jembatan di sungai itu.

"Ari dimana? Riri udah mau sampe ke jembatannya, loh!" seruku berbicara pada Ari lewat telpon.

"Sebentar, Ari masih pake sepatu."

Seperti biasa, ia selalu saja telat membuatku memutar bola mata malas.

Aku memegang pagar pembatas jembatan tinggi ini, udara yang begitu segar masuk kedalam kulit.

Kupejamkan mata, terlintas bayangan Ari lagi. Sontak aku membuka mataku dn menggelenkan kepalaku. "Kok Ari Sih?"

Pipiku memanas, membayangkan tingkahnya yang selalu menggangguku, saat-saat aku bercanda riang dengannya. Bibirku melengkung ke atas.

"Dor!"

"Aaaaa!!!" Aku langsung memblikan badan.

"Ari!" seruku, mengerucutkan bibir kesal.

"Maaf ya Ari lama," ucap Ari, memelas.

"Ari tau gak? Ari telat satu jam setengah, satu jam setengah itu sangat berharga buat Riri, dengan satu jam setengah itu Riri bisa Pac--" ucapanku terhenti. Ari memendangiku dengan mata yang menyipit.

"Ih, Ari suka banget telat!" gerutuku kesal.

Duh, salahku juga kenapa nyerocos terus sampe mau bilang 'pacaran sama Dito'.

"Cie, gamon ya?" goda Ari.

"Gak! Lagian Riri dah suka sama orang lain!"

"Oh ya? Siapa tuh?" tanya Ari, alisnya naik turun membuatku mendelik sebal.

"Emang gitu ya cewek mah, gampang beralih ke lain hati." Aku mendengar nada yang tidak enak.

Aku balas mendelik kearah Ari, ternya ia ingin bermain-main denganku. "Oh, kaya Ari."

"Kok kaya Ari?" tanyanya dengan mimik wajah tak terima.

Aku sedikit terkekeh. "Ya, bener, Ari kan suka ganti-ganti cewek ... cepet banget."

"Beda cerita kalo itu, Ri," protes Ari tak terima.

"Ah, sama saja."

Ari tampak menghela napas, menahan emosi. Kalo sudah seperti ini, aku tak akan membuat masalah lagi dengannya. Aku langsung menarik tangan Ari. Terus menariknya hingga Ari melepaskan genggamanku, berganti Ari yang merangkulku.

"Maafin," ucap Ari lirih, selalu saja begini. Ari yang meminta maaf jika terjadi adu argumen denganku.

Aku mendongak kerah Ari, memberikan senyuman lebar. "Maafin Riri juga, ya?"

Ari mengangguk. "Ari mau kasih tantangan ke Riri," ucap Ari.

Aku menganggakat satu alis, "apa tuh?" tanyaku penasaran.

"Balap lari, yang sampe duluan ke lampu taman itu juaranya, juara boleh meminta apapun kepada yang kalah, gimana?"

"Boleh, ayo!"

Aku memposisikan diri di samping Ari, kita berdua sedang siap sedia untuk berlari. "Satu ... dua ... ti-"

Aku langsung berlari dengan cepat, tertawa keras mendengar teriakan Ari sambil berlari menyusulku. "Belum selesai ngitungnya, hei!"

Aku tertawa puas, terus berlari. Aku menengok kebelakang melihat Ari yang semakin mendekat menyusulku.

Dan akhirnya ....

"Karna Ari pemenangnya, Ari ada satu permintaan." Ari tersenyum jahil, membuatku memutar bola. Bisakah senyuman yang sungguh menyebalkan itu hilang saja?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Him or Him? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang