14. Ada Rasa?

15 8 3
                                    

"Windha!" panggilku saat ekor mataku melihat Windha yang melangkah masuk kedalam perpustakaan. Sekarang jam istirahat, aku hendak menyusul Ari yang sedang berjalan beriringan dengan Sindi tapi aku malah membelokan langkah dan malah ikut masuk kedalam perpustakaan.

"Eh, Riri, ngapain di sini?" tanya Windha mengerutkan kening.

"Winda emang sering ke perpus, ya?" Aku malah balik bertanya.

"Iya, gue emang suka ke perpus, Ri," jawabnya.

Windha duduk di salah satu bangku yang ada di perpus itu, aku ikut duduk di sebelah Windha.

Windha membuka novel yang sempat ia ambil tadi, aku hanya menonton Windha yang sedang membaca novel.

"Wind, mending kita kekantin, yuk!" ajakku penuh semangat, Windha mendongak dan mengangguk mengiyakan ajakanku.

Windha menyimpan kembali novel yang ia baca tadi di rak, aku dan Windha pun berjalan keluar perpustakaan, sebelumnya aku dan Windha sempat berpamitak kepada ibu penjaga perpustakaan.

Aku berjalan beriringan dengan Windha, hingga saat aku masuk kedalam kantin, ada dua suara yang memanggilku. Aku mendongakan kepala, di pojok kantin ada Farhan yang sedang melambaikan tangan dan di sisi lain juga Ada Ari yang melambaikan tangannya dan tak lupa ada Sindi yang duduk di sampingnya.

Aku harus menghampiri siapa dulu? Ari atau Farhan? Aku menjadi bingung, tapi langkah kakiku membawaku menghampiri Ari, sudut mataku melihat Farhan yang sepertinya menurunkan lambaian tangannya. Membuat hati kecilku bergumam kata maaf, entah kenapa aku merasa bersalah padanya.

Windha hanya mengikutiku saja, aku duduk di hadapan Ari dan Windha yang tepat duduk di hadapan Sindi.

"Riri, pesen dulu makanan gih, tadi Ari udah pesen sama Sindi," ucap Ari sambil mengelus kepalaku lembut.

Windha itu emang pada dasarnya pendiam sama pemalu atau gimana, ya? Sendari tadi aku melihat Windha hanya menunduk dalam. Apa mungkin Windha suka sama Ari?

"Wind, mau sekalian gak?" Aku yakin Windha mendengar ucapan Ari tadi.

Windha mendongak, matanya mengarah padaku. "Gue yang pesenin, deh, lo mau apa?" tanyanya membuatku mengembangkan senyum karena aku tak usah repot-repot berjalan untuk memesan makanan.

"Mie goreng sama minumannya teh manis dingin, ya," ucapku sambil tersenyum pada Windha yang sudah berdiri. Windha mengaggukan kepala dan pergi memesan makanan.

Sindi yang duduk di sebelah Ari yang diam, aku mengedikan bahu tak peduli. "Ari pinjem tangannya." Aku mengulurkan tangan meminta tangan Ari. Ari tanpa protes mengulurkan tangnnya dan meletakan di tangan kecilku.

Saat aku hendak melakukan sesuatu di jemari Ari sesuatu yang basah dan dingin menimpa kepalaku diriku.

"Aduh-aduh, maaf, gue sengaja," ucap orang yang menumpahkan jus mangga ke kepalaku. Seragam atasku sekarang basah, karena di siriam oleh Karin. Ya, Karin yang menyiram aku dengan jus mangga.

Aku memejamkan mata menahan kesal. "Maksud Karin apa?!" tanyaku, menggeretakan gigi geram.

"Dari hari-hari sebelumnya gue udah bilang, 'kan?"

Aku membuka mata, memandang Karin yang sedang tersenyum miring dengan mata berkilat marah.

"Lo siapa?" tanya Ari.

Aku menahan diri agar tidak mengeluarkan ucapanku yang akan meledak-ledak saat Ari bersuara. Ari berdiri menghadap kearah Karin.

"Eh, lo. Lo kan punya pacar, harusnya lo tuh mesra-mesraannya sma pacar lo bukan malah sama cewek murah ini." Karin menunjuk-nunjuk Ari.

"Hei, udah Riri bilang! Jangan urus urusan orang, lagian Sindi yang pacaran sama Arinya fine-fine aja tuh," tungkasku dengan rasa sebal.

"Sebenernya-" tiba-tiba suara lembut Sindi keluar. Sindi yang tadinya menunduk, sekarang mengkat kepalanya.

"Aku gak fine-fine aja, Ri," lanjut Sindi. Aku dan Ari masih menunggu ucapan Sindi selanjutnya.

Windha hanya diam menyimak, kebingungan. Aku melirik sinis Sindi yang sekarang menatapku nyalang. Dia tak selembut yang aku pikirkan.

"Aku cenburu, sangat, aku gak suka kamu deket-deket sama Riri, Ari," ucap Sindi. Kembali menunduk.

"Karin ini sebenernya suruhan aku untuk peringatin Riri supaya gak deket-deket Ari,"

"Parah! Gue kira lo beda dari cewek lainnya, ternyata sama aja!" maki Ari.

Aku membelalak tak percaya, ini semua dia yang buat. Segitunya ya dia takut Ari aku rebut? Padahal kan kita cuma sahabatan aja, gak lebih.

"Mulai sekarang lo, bukan lagi pacar gue, Sind," putus Ari bulat.

Saat aku hendak berbicara juga, tiba-tiba ada sesuatu yang menerpa tubuhku.

Aku mendongak ke belakang, ternyata Farhan. Ia memasangkan jaket di tubuhku, aku memutar bola mataku, sok perhatian banget.

Aku memakai jaket yang ia pasang kan di tubuhku dengan tidak benar.

"Sok perhatian," ucapku sambil mendorong sedikit dada Farhan.

"Kalo gue gak kasih lo jeket, ada sesuatu yang ganggu gue di balik baju basah lo," bisi Farhan tepat ditelingaku membuatku memanas.

Tentu saja aku tahu apa yang dia maksud, wajahku semakin memanas ketika mendengar kekehan kecil Farhan.

"Ri, ayo!" Ari memandangku tajam. Ari langsung melangkah keluar dari kantin tanpa menungguku.

"Riri duluan, ya." Aku langsung berlari menyusul Ari.

"Ri!" itu suara Windha, aku menengok kebelakang. Windha ikut menyusulku.

Entah lariku yang terlalu lambat atau lari Windha yang sangat cepat, sekarang Windha sudah berada di sampingku.

"Ari!" teriakku.

Aku menarik tangan Ari supaya berhenti. "Ari-"

"Lo bisa pergi dulu gak? Gue butuh waktu sama Riri." Ari berucap, memandang Windha dengan mata tajamnya.

Windha hanya mengangguk, ia pun berlalu pergi meninggalkan kami berdua.

"Ayo!" Sekarang Ari menarik tanganku, ia membawaku ketaman belakang sekolah.

Ari duduk di salah satu kursi taman itu, aku pun ikut duduk. Matanya terlihat sayu, tapi tersisihkan sedikit sorot mata yang tajam. Kugenggam rangan Ari.

"Ari, gak papa?" tanyaku khawatir karena pandangannya trus menatap kedepan tanpa berbicara padaku.

Ari menengok kearahku, lalu tersenyum lebar matanya membulat melihatku. Aku balas senyumannya.

"Semuanya akan baik-baik saja kan, Riri?" tanya Ari, kini Ari yang berganti menggenggam kedua jemariku. Dadaku berdesir, perasaan apa ini?

Ari mendekatkan diri padaku dan jatuh di pelukanku. Aku balas memeluknya.

"Khikhikhikhi, Riri lucu!" Ari bersuara di dalam pelukanku, sontak aku mendorongnya jauh-jauh dari diriku.

"Riri deg-degan," ujar Ari, matanya berkelit jahil.

"Ih, Ari!" Wajahku memanas, melihat mata Ari yang seperti itu.

"Iya lah deg-degan, kalo enggak Riri mati!" Aku memukul kepala Ari.

"Cie, deg-degan ni?" Ari menaik turunkan alisnnya, aku semakin gelisah, pipi semakin memanas.

Aku mengipas-kipaskan tangan ke wajah. "Panas banget ya di sini," ujarku melihat sekeliling taman, tak ada siapa-siapa di sini.

"Masa sih?" Ari mengangkat alisnya, sorot matanya masih berkilat jahil, bahkan.

"Aiihh!" Aku bangkit berdiri, dan langsung berlari menjauh dari Ari sambil memegangi pipiku yang panas. Sebelum benar-benar jauh dari Ari, aku sempat mendengar suara tawanya yang terbahak-bahak. Astaga, ada apa ini? Menyebalkan.

Aku tersenyum lebar saat masuk kedalam kelas, tapi napasku tidak berbohong, aku meraup oksigen banyak-banyak karena berlari dari taman ke dalam kelas, melelahkan.

Ada apa ini? Bahkan senyumanku tak kunjung hilang, membayangkan adegan tadi di taman.

Him or Him? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang