9. Tugas atau teleponan?

12 7 2
                                    

"Riri pulang pake angkot aja, ya?"
Aku, Ari dan pacar baru Ari,— Sindi, sedang berada di parkiran sekolah. Bel pulang telah berdering dari 10 menit yang lalu.

"Gak mau, Ari," ucapku merengek.
Diantara aku dan Sindi harus mengalah untuk pulang bareng Ari.
"Tapi gimana Sindi?" Ari kembali bersuara.

"Ya biarin aja, Sindi pulang pake angkot aja."

"Gak boleh!" ucap Ari tegas.

"Pokoknya Ari pulangnya bareng Riri, titik!"

Aku mengarahkan pandanganku kearah Sindi. "Emang Sindi biasanya berangkat sama pergi sekolah pake apa?" tanyaku pada Sindi.

"Sama sopir," jawabnya lembut, suaranya amat lembut. Namun, entah kenapa suara lembutnya menyengat telingaku.

"Nah, ya udah kalo gitu Sindi telepon sopir Sindi buat jemput kesini. Sindi pulang sama sopir aja!" Aku tersenyum riang.

"Gak bisa kaya gitu. Sindi tetap pulang sama Ari. Riri pulang sendiri aja ya, kali ini aja." Senyumku luntur.

"Ok." Aku melangkah menjauh dari parkiran. Aku berjalan menuju jalan, diam di halte sekolah, menunggu angkutan umum.

Ari tega sekali! Meninggalkanku sendiri, membiarkanku pulang sendirian. Ari jahat!

Ku lihat Ari yang mengendarai motor dengan Sindi yang berada di boncengan. Ari tidak melirikku sekejappun.

Aku melengkungkan bibirku kebawah, entah mengapa mataku terasa panas sekarang. Aku mengerjapkan mata, dan menggosoknya pelan supaya tak menangis.

Aku melambaikan tangan ketika ada sebuah angkutan yang melewat. Aku masuk dengan cepat kedalam.

Di dalam angkutan umum itu terdapat seorang wanita patuh baya yang menggendong seorang bayi.

"Baru pulang sekolah, Neng?" tanyanya.

Aku menganggukan kepala. "Iya, Bu."

***

Mataku terpejam lembut, sekarang aku sedang belajar di meja belajar yang berada di kamarku. Tanganku melayang menjitak kepalaku sendiri.

"Kenapa gak bisa-bisa sih?!" pekikku.

Aku membuka kembali mataku, menatap beberapa soal matematika. Satu soal pun belum selsai aku kerjakan, aku sudah mengerjakannya selama satu jam. Yang benar saja! Ayolah otak, berkerja sama lah dengan diriku yang malang ini!

Cklek!

Kudengar pintu kamarku di buka oleh seseorang. Aku menengokkan kepala kearah pintu, di sana ada Ari dengan beberapa buku di tangannya.

"Ri, ngerjain tugas bareng, yuk! Ari tahu Riri pasti gak bisa ngerjainnya."

Ari terkekeh dan duduk di bangku sebelahku. Ya, meja belajar di kamarku mempunyai dua kursi dan meja panjang ini khusus untuk Aku dan Ari belajar.

"Jauh-jauh! Riri masih ngambek sama Ari." Aku mendorong kursi Ari supaya menjauh, tpi malah kursiku yang menggeser.

"Ngambek kenapa sih, hm?" tanyanya tersenyum dan mencubit pipiku ringan. Ari menyimpan buku yang ia bawa di atas meja.

"Ari ninggalin Riri sendirian, tega banget! Ari jahat!" seruku sambil memukul-mukul lengan Ari.

Ari menangkap tanganku agar aku menghentikan pukulan. Aku memutar bola mata malas.

"Lepasin, Ah!" aku menarik tanganku kasar.

"Maafin Ari ya, Riri." Ari kembali menggenggam tanganku. Wajahnya berubah sendu.

Aku berdecak. "Oke Riri maafin, tapi besok-besok jangan gitu lagi!"

Ari tersenyum dan mengagguk semangat. "Makasih, Riri."

Aku mengangguk sebagai jawaban. "Riri gak bisa selesaiin soal yang ini, Ari." Aku menunjuk nomor satu.

Ari menggeser bukuku lebih mendekat dengannya.

"Rumusnya bukan yang itu, Ri, tapi—" Ari membuka buku catatannya dan mencari-cari sesuatu di dalamnya.

"Nah, pake rumus ini, Ri."

"Oh, pantes dari tadi Riri gak bisa nemu-nemu jawabnnya. Hehe...."

Ari menggelengkan kepalanya dan sedikit berdecak, bibirnya melengkung sedikit keatas. Membuatku terkekeh dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Coba Riri kerjain, pasti bisa." Ari menggeser kembali bukuku mendekat padaku, Ari juga meletakan bukunya di dekatku suapa aku dapat melihat rumusnya.

Aku mengagguk dan mulai mengerjakan satu soal yang tadi membuatku pusing.

Dua puluh detik aku berkutat dengan rumus hingga aku kebingungan di satu titik penyelesaian soal. "Ari, kalo udah gini gimana lagi, ya?" tanyaku.

"Nah, kalo udah git—"

Tiba-tiba ponsel Ari berdering yang berada di atas meja.

Kulihat, ada telepon masuk. Nama Sindi terpampang jelas disana. Aku mutarkan bola mata.

Tangan Ari meraih ponselnya. "Bentar, ya, Ri." Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Ari mengangkat teleponnya dan menempelkan ponselnya ketelinga. "Hallo, sayang." Ari menyapa duluan.

"Kenapa telepon? ... kangen? Sama aku juga kangen sama kamu, pake banget ... Hehehe ...." Aku berdecak kesal. Aku menghadap kembali kearah buku.

Aku ingin menyelesaikan satu soal yang belum selesai itu, tapi aku tidak tahu cara penyelesaian selanjutnya. Ingin bertanya pada Ari, ia sedang sibuk sama pacaranya. Harusnya aku rebut saja ponselnya supaya Ari cuma fokus ke aku dan tugas-tugas ini, tapi sepertinya Ari tak bisa diganggu karena ku lihat Ari begitu asyik telpinan dengan Sindi, bahkan sekarang Ari sedang tiduran di kasurku sambil tertawa yang entah apa yang sedang ia tertawakan.
Aku tidak bisa lagi pamer pacar ke Ari karena Aku sudahpustus dengan Dito.

Membicarakan Dito, aku sepertinya hatus benar-benar menghapus Dito dari kehidupanku. Ku lirik sebuah boneka pemberian Dito waktu itu, aku mendengkus sebal.

Aku melipat tanganku di atas meja, dan meletakan kepalaku di atasnya.
Aku tidak seperti perempuan kebanyakan yang seringkali menulis diary. Aku lebih suka menceritakannya langsung pada Ari. Selain nyaman dan aman, hatiku pun puas ketika menceritakan semuanya pada Ari. Ari bukan hanya pendengar yang baik, tapi ia pun pemberi saran yang sangat baik menurutku.

Aku menengaakan kembali badanku, ku lihat jam yang berada di atas nakas dekat kasur telah menunjukan pukul sembilan malam.

Tugasku belum selsai, bagaimana ini? Aku lihat Ari masih asik bertelepon. Aku berjalan menghampiri Ari dan dengan gerakan kilat aku menyambar ponsel Ari dan memutuskan sambungan teleponnya.

"Ari ke sini mau ngerjain tugas atau telponan, sih?!" tanyaku dengan sebuah pelototan.

Ari mendudukan dirinya di atas kasur dnn tersenyum kecil. "Mau tidur bareng Riri," jawabnya menaik-turunkan alis. Aku menyimpan ponsel Ari di atas nakas.

"Kita bukan anak kecil lagi, Ari!"

"Terus? Emangnya tidak boleh tidur bareng?" tanya Ari dengan wajah sok polosnya.

"Gak boleh!" tegasku.

"Ko—"

"Dari pada ngomkong yang gak jelas, mending kita sekarang kita kerjain tugas!" potongku. Aku menarik tangan Ari untuk berdiri dan kembali mengerjakan tugas.

Ari menurut. "Nih, dari tadi Riri nunggu jawaban Ari. Jadi, gimana langkah selanjutnya Ari?"

Ari menghela napas pelan. "Kaya gini penyelesaiannya itu, Ri."

Ari mengambil pensil dan mulai menuliskan sesuatu di atas bukuku, aku memperhatikan dengan seksama, sesekali Ari menjelaskannya agar aku lebih paham.

Aku mengangguk-anggukan kepala. "Sekarang Riri ngerti gimana caranya, Riri mau coba ngerjain nomer duanya."

"Coba, nanti hasilnya kasih tahu Ari." Aku mengangguk semangat.

***

*Riri emang kekanak-kanakan

Him or Him?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang