Happy Reading
Mei punya tantangan nih buat kakak-kakak sekalian, coba kakak-kakak tekan bintang yang ada di pojok bawah itu, tapi pake hidung;)
Kasih tahu Mei hasilnya ya, hehe..
Aku membuka pintu rumahku, angin pagi menerpa wajah dengan lembut. Menutup mata sejenak, menikmati sejuknya pagi.
Sinar matahari yang hangat menyilaukan mata, membuatku menyipit.
Pagi yang biasanya aku menunggu Dito, sekarang telah berbeda. Sekarang aku tengah menunggu Ari. Ari bilang, ia akan pergi dan pulang sekolah bersamaku, mulai saat ini.
Ari biasanya berangkat sekolah menggunakan motor, tapi entah kenapa sekarang ia lebih sering menggunakan mobil.
Aku memukul kepala Ari pelan saat Ari telah berdiri tegap di hadapanku. Kulihat Ari hendak protes, tapi aku lebih dulu bersuara. "Biasanya pake motor." Aku memicingkan mata.
"Ari sekarang lebih suka pake mobil, soalnya kalo pake mobil Ari keliatan lebih keren," ucapnya dengan percaya diri."PD banget sih!" Aku kembali memukul kepala Ari.
"Suka banget geplak kepala Ari," gerutunya, mengusap kepala.
Aku terkekeh. "Biar Kepala Ari sakit!"
"Dih, bilang aja Riri pengen elus kepala Ari."
"PD banget sih!"
"Ari bener, kan? Jangan malu-malu kek kesiapa aja." ucapnya tersenyum jahil dan mencubit kedua pipiku.
"Ih, Ari. Sakit tahu!" protesku melepas paksa tangan Ari yang mencubitku.
"Dahlah, yuk berangkat."
Aku dan Ari masuk kedalam mobil. Ari melajukan mobilnya."Ari, Riri gak mau traktir cowok yang namanya Farhan itu lagi!"
"Nanti Riri malah rugi lagi! Mana kemarin juga si Farhan itu makannya banyak banget, uang jajan Riri Abis jadinya yang kemarin," aduku.
Ari tertawa. Membuatku mencabikan bibir."Lagian Riri sih, cari masalah terus." ucap Ari mencolek pinggangku membuatku menggeliat geli. Aku menepis tangan Ari. "Mana ada kek gitu? Riri gak cari masalah, si Farhannya aja yang baperan. Masa cuma di tunjuk muka aja dia marah-marah!"
"Ya udah sih, itu nasib Riri. Ari gak akan ikut campur kalo soal itu," ucapnya diakhiri dengan tawa menyebalkan.
"Ari traktir Riri ya selama seminggu ini," pintaku memohon.
"Ogah!" Ari melirikku sebentar kemudian kembali tertawa lagi.
"Ih! Kalo Ari gak traktir Riri, Riri bakalan ngadu ke Bunda," ancamku. Mengangkat dagu.
"Riri bakalan bilang kalo waktu itu pas Ari pulang telat, Ari bukan ketiduran di rumah temen, tapi Ari pergi jalan-jalan sama cewek!" lanjutku dengan senyuman miring.
"Eh, kok Riri gtu sih?"
"Makanya, traktir Riri."
Ari tanpak menghela nafas. "Oke, tapi jangan bilang soal itu ke bunda!"
"Siap!" Aku memamerkan deretan gigi-gigiku saat Ari melirik sebentar kearahku.
***
"Ari!" seruku saat Ari dengan sengaja menahan kakiku dengan kakinya, hingga aku hampir saja terjatuh.
"Hehehe." Ari menjulurkan lidahnya. Membuatku kesal, tanganku terangkat untuk memukulnya, tapi Ari lebih dulu berlari.
"Awas ya, Ari!" Aku mengejarnya dengan cepat.
Banyak sekali sepasang mata yang memperhatikan aku dan Ari, aku sudah tak risih dengan pandangan itu. Aku sudah terbiasa dengan mereka yang mengkritikku. Ari lari kedalam kelas, aku ikut masuk dan duduk di sebelah Ari seperti biasa.
"Eh, eh. Itu apa, Ari?" tanyaku saat melihat selembar kertas di atas bangku Ari.
"Gak tau, Ri." Ari mengambil kertas itu dan membukanya.
"Surat ya?" tanyaku penasaran.
"Iya kayanya, Ri."
"Coba baca." Ari mendekatkan kertas itu padaku, aku mulai membaca didalam hati. Mungkin Ari pun melakukan hal yang sama.
Di kerta itu tertulis. 'Hallo, Ari! Salam kenal, aku cewek yang selama ini suka sama kamu. Dari kelas 10, aku sudah suka pada kamu, Ari. Namun, aku baru bisa mengungkapkannya sekarang, itupun dengan surat ini, tidak secara langsung. Aku masih malu, hehehe. Aku lihat waktu itu kamu sering banget ganti-ganti cewek, tapi yakanya sekarang enggak lagi ya, Ari? Cuma aku lebih sering liat kamu pergi dan pulang bareng sama Riri, gak aneh lagi sih, soalnya kalian kan emang deket. Aku suka sama kamu, Ari, tapi aku masih malu untuk tunjukin diri aku ke kamu. Panggil aja aku F.'
"Wuih! Ari punya pengagum rahasia!" teriakku heboh.
"Berisik, Riri!" tegur Ari. Aku menggaruk tengkuk dan sedikit terkekeh.
"Siapa F?" tanya Ari mengerutkan kening.
Aku mengedikan bahu. "Riri gak tahu, Ari."
"Gak penting." Ari menggulung kertas itu. Aku memelototkan mata. "Ari! Hargai perasaan cewek yang udah nulis itu, kayanya cewek itu suka banget sama Ari. Keliatan banget dari tulisannya yang rapih."
Aku menggapai tangan Ari dan merebut kertas itu, aku merapihkannya kembali dan melipatnya menjadi kecil, kemudian aku memasukannya kedalam saku seragam Ari.
"Simpan baik-baik!" perintahku.
"Kenapa gak Riri aja yang simpan?" Ari mengangkat satu alisnya, ia mengeluarkan kembali kertas itu dari saku seragamnya dan menyerahkannya padaku. Aku merebutnya dengan kasar.
"Biar Riri yang simpan, dasar Ari nyebelin!" seruku. Aku menjulurkan lidah.
"Biarin, yang penting Riri sayang 'kan?" Ari ikut menjulurkan lidah.
Membuatku berdecak kesal.
"Sayang, sayang banget, saking sayangnya Riri pengen banget gigitin jari-jari tangan Ari!""Dih!" Ari mencubit pipiku.
Pipiku menjadi terasa panas, pasti merah. Dasar Ari!"Ari sakit tahu!"
***
Hari kamis adalah hari paling yang aku benci, kenapa? Karena hari kamis adalah jadwal pelajaran bu Syahri, guru matematika. Aku gak suka matematika, yang aku suka rebahan!
Aku menghela napas saat pelajaran Bu Syahri selesai, kulihat Ari tersenyum miring melihatku yang sangat pusing dengan matematika.
"Cape ya? Uh, kasian banget," ejek Ari dengan bibir yang sengaja ia lengkungkan kebawah.
"Dulu Ari tawarin Riri buat Ari ajarin, tapi Ririnya males-malesan," lanjut Ari.
"Kan udah Riri bilang, Riri benci matematika."
"Matematika itu ilmu yang menyenangkan, Riri." Ari tertawa terbahak-bahak.
"Matematika itu ilmu yang memusingkan!" Aku memasukan buku-buku milikku kedalam tas.
"Mending kantin, yok!" ajak Ari semangat.
Pikiranku berpusat pada Farhan kali ini, astaga, cowok itu pasti nungguin teraktiranku. Mengingat itu aku menjadi malas untuk pergi ke kantin.
"Ari yang teraktir," ucap Ari seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku membulatkan mata. "Serius, Ari?" tanyaku memastikan.Ari mengangguk, ia merangkul pundakku. Kami pun berjalan beriringan menuju kantin.
Aku mendengar suara dehaman seseorang yang berada di belakangku dan Ari. Aku dan Ari menengok kebelakang, rangkulan Ari terlepas.
Farhan."Lo gak lupa kan buat teraktir gue?" tanyanya sambil mencolek daguku.
"Ihk—" Aku menghapus jejak colekan Farhan dengan mengusap-usap dagu, seakan disana ada debu. "Iya iya, gak lupa kok!" ucapku ngegas.
"Bagus, yuk cus ke kantin!" Kami bertiga pun berjalan berasamaan menuju kantin. Menyebalkan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Him or Him?
Ficção AdolescenteDisetiap pelukannya memberikan ketenangan, menyalurkan rasa hangat. Terbiasa dengan kehadirannya membuatku tak bisa untuk kehilangannya. "Gak bisa kaya gini, Riri. Ingat, kita sahabatan! Riri gak boleh punya obsesi buat bisa pacaran sama Ari, apala...