Lukisan fajar yang nyata. Menyala. Seperti ap dalam perapian. Aku membiarkan tubuhku kedinginan. Menikmati desiran angin yang berhembus leluasa. Angin menjadi makanan tiap saat di pondokku. Berdiri di tengah-tengah sawah dan jauh dari rumah penduduk. Hanya satu akses jalan. Jalan depan pondok.
Aku segera melangkah menuju hamam-kamar mandi. Menyelesaikan ritual sebangun tidur. Meraih tholhah-mukenah. Di susul menuju musholadan melaksanakan sholat tahajud. Sebelum waktu fajar semakin meninggi dan shubuh yang hendak berkumandang.
"Zahra" panggil Bintang. Sahabatku. Atas nama lukisan fajar yang nyata. Zahra adalah sosok manusia yang luar biasa di mataku, atau mungkin juga orang lain.
"Kenapa Bin?" Aku mendekati Bintang yang hendak sholat di mushola. Aku sempat menyapanya saat ia bersiap bersamaku tadi. Karena itu tau ada aku di mushola.
" dimana arah kiblat?" Tanya Bintang dengan senyuman lucunya. Aku terkekeh. Lalu menuntunnya. Menggeserkan tubuhnya agar menghadap kiblat. "Jazakumullah khoiron, Zah." Senyum Bintang sembari bersiap memulai sholat tahajudnya.
Bintang Erriezzqiemma Laitsa Fajrina. Sahabatku yang begitu kokoh. Seperti masjid raya Aceh yang berdiri sendirian saat badai Aceh melantakkan kota. Dilahirkan tanpa mengenal cahaya membuat hati Bintang mudah mensyukuri indahnya dunia. Bintang adalah tempatlu belajar mengenai syukur, sabar dan ikhlas.
Usai delapan rakaat sholat tahajud dan tiga rakaat witir terlaksana, aku mrmutupnya dengan munajat panjang. Bersimpuh di atas sajadah mushola. Memuja dengan nama-Nya yang agung. Meratapi hati yang tak sempat bersyukur. Hingga bahagia belum sempat berkunjung.
" ya Rahman, ya Rahiim, kuatkan hati hamba. Tangguhkan iman hamba. Perbaiki akhlaq hamba. Ya kariim, karuniakan hamba kesabaran, kesyukuran dan keikhlasan yang dalam. Ya malik, anugerahi hamba keistiqomahan dan kekuatan dalam menjalankan sunnahMu. Ya Allah, lembutkanlah hati mereka yang membenciku. Berikanlah mereka kemudahan dalam segala urusan. Ya Allah, rizkikan hamba keberkahan ilmu dan amal. Ya Rabbi. Hanya kepada Engkau hamba memohon. Tempat hamba mengharap dan mengantungkan asa." Kututup do'aku dengan mendo'akan kedua orang tuaku dan do'a sapu jagat.
"Zahraa..." suara Bintang menyadarkanku. Ia setengah berteriak dari luar mushola.
Aku segera beranjak keluar mushola. Adzan telah lantang berkumandang. Saatnya jarost-bel, tapi sepertinya Bintang kesulitan mencari jarost.
"Ada apa Bin?" Tanyaku.
Bintang berkacak pinggang.
"Aku nyari jarost gak ketemu" keluhnya.
Aku tersenyum. Lalu mengarahkan tangannya menuju jarost.
"Sudahkan."
"Jazakumullah khoiron Zahra, ayo daur-berkeliling. Ini jadwal kamar kita loh." Ajak Bintang. Lalu menarik tanganku agar mengikutinya.
Kami berjalan melewati teras mushola, lalu menuruni tangga menuju lantai satu. Melewati teras kelas dan berbelok membangunkan santri di setiap daar-kamar.
Kebanyak santri memilih tidur lagi setelah melaksanakan sholat tahajud. Padahal waktu-waktu tersebut adalah waktu yang luar biasa bagusnya.
---
Atas nama lukisan fajar yang nyata. Ust. Aksa. Aksara Ashim Al Ghifarie. Sosok lelaki yang telah banyak mengubah caraku memandang dunia. Rasa percaya diri, optimis dan berhusnudzon terhadap masa depan. Jangan berpikir lebih tentangku dan ust. Aksa. Beliau hanyalah musyrif dan ustadz pengajar aqidah yang aku hormati.
"Ustadz." Panggilku. Saat aku duduk di gazebo dan ust. Aksa baru keluar dai daar-kamar ustadz.
Daar-kamar ustadz berada di samping kanan daarku. Di sekat tembok yang berdiri kokoh di teras. Membuat ustadz tidak bisa dengan mudah melihat daar kami.
"Ada apa Ra?" Tanya ust. Aksa.
"Mau pergi ya?" Tanyaku.
"Iya sih, agak nantian. Ada apa?" Jawab ust. Aksa. Seakan tau apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya diam. Meremas ujung gamisku. Aku menutup al qur'anku yang tadi sedang ku gunakan untuk muroja'ah. "Kalau ada apa-apa cerita saja Ra, ndak usah malu. Kalau malu bisa cerita sama ustadzah yang lain. Asalkan Zahra terbuka, supaya orang lain bisa membantu Zahra. " jelas ustadz Aksa.
Aku mengangguk. Lalu tersenyum.
"Do'akan Zahra saja ustadz." Ucapku.
Setelahnya, ust. Aksa pergi, karena tidak ada lagi yang perlu di sampaikan. Lagi pula, banyak santri yang melihat aku dan ust. Aksa dari teras kelas.
Sore terasa hangat. Mungkin sebagianbsantriwati memilih untuk duduk-duduk di ters kelas membari bertafakur memandangi tanaman di sepanjang teras lantai satu. Atau memilih untuk saling menyimak muroja'ah bersama partner tahfidznya. Sebagian lagi merangkum pelajaran, sebulan lagi ujian akhir semester akan di laksanakan. Sebagian lagi memilih berbincang ria. Membuat halaqoh tho'amiyah-halaqoh makan-makan. Dan suudzonku, obrolan tentangku dan ust. Aksa menjadi santapan meriah sore ini.
"Astaghfirullah, cantik si cantik, tapi gatel."
Sumbang, hingga membuatku ingin tumbang.
Suudzonku ternyata benar.
"Harus diikat pakai tambang nih, biar ga tumbang."
Seseorang merangkulku tiba-tiba. Aura menyenagkan memutari tubuhku. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di atas kepalaku. Risha, sahabatku.
"Risha udah sehat?" Tanyaku.
Kemarin dia sempat demam. Dan sekarang malah begitu bersemangat. Aku masih ingat betapa mengerikannya Risha saat sakit. Suasana pondok menjadi dingin. Biasanya suara Risha menggelegar di seantero pondok. Di tegur ustadzahpun tak mempan. Memang dasar kelebihan Risha di situ.
"Si Aminah makin rusuh aja. Kurang kerjaan." Aku hanya tersenyum mendenga kalimat yang keluar dari mulut Risha.
"Mungkin akunya yang somb..." kalimatku terputus saat tiba-tiba Risha berhenti dan melepaskan tangannya.
"Gak, mereka aja yang iri. Kan, kalau ada orang yang gak suka sama kita itu indikasinya ada dua. Kalau bukan kita yang sombong. Berarti merek yang iri." Jelas Risha. Aku terkekeh dan menariknya menjauh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Mihrab Taat (⚠TELAH TERBIT⚠)
RomanceSatu kata cinta Bilal : "Ahad!" Dua kata cinta Sang Nabi : "Selimuti aku...!" Tiga kata cinta Ummu Sulaim : "Islammu, itulah maharku!" Empat kata cinta Abu Bakar : "Ya Rosulullah, saya percaya...!" Lima kata Cinta 'Umar : "Ya Rosulullah, ijijnkan...