Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah dua pekan Risha sakit dirumah, tanpa ada satupun dari kami yang tau apa penyebabnya. Ustadah selalu menutupi keadaan Risha. Risha sudah membaik seakan menjadi slogan ustadah tiap diberi pertanyaan oleh santri.Hari mulai sore. Aku dan Bintang duduk teras ruang arsip. Menghadap kesawah yang mulai semakin tinggi. Warna hijau mendominasi penglihatan kami. Sepoi angin terus menerpa. Membuat tenggorokan kami terasa kering. Pondok kami di tepi sawah. Kanan kiri terdapat tanah kosong bangunan yang diatasnya tumbuh banyak pohon.
Lama kami terdiam. Menikmati pikiran kita sendiri-sendiri. Sampai Bintang membuka suara. "Tau enggak, Zah, Risha itu, sayaaang sekali dengan anti." Mulai Bintang.
Aku menatap Bintang yang pandangannya lurus kedepan.
"Tapi Risha..." Bintang memotong kalimatku.
"Tidak seperti yang anti pikirkan." Bintang menghentikan kalimatnya. Aku penasaran dengan kelanjutannya. "Risha takut, anti jatuh cinta lagi dengan laki-laki yang salah. Risha takut, ketika anti memilih untuk mengisi kekosongan hati anti dengan ustad Aksa, tapi ternyata ustad Aksa bukanlah pilihan Allah, Risha takut kehilangan senyum anti lagi. Apa anti tidak sadar? Sekarang anti pemurung. Sedikit-sedikit sedih. Dulukan anti ceria, banyak tersenyum, semenjak ditinggal Attar, kan. Dan Tisha takut kehilangan senyum anti lagi. Anti harus ngerti Zah, seberapa besarnya sayang kita ke anti. Seberapa pedulinya kita anti. Jadi tolong, berhati-hatilah dengan hati."
Aku tersenyum kecut. Bintang hanya akan banyak bicara tentang hal-hal penting. Aku kembali menatap pesawahan yang mulai disinari warna merah dari ufuk barat. Rasanya menyenangkan, memiliki sahabat yang baik dan selalu mengingatkan pada kebaikan.
"Bin, beberapa minggu yang lalu, saat aku bertanya pada anti tentang ustad Aksa, aku belum menjawabnya, kan?" Tanyaku. Bintang mengangguk. "Aku memang menyukai ustad Aksa. Namun bukan sebagai ustad dan santrinya. Tidak lebih." Aku membenarkan posisi dudukku. "Aku sadar, dimasa muda kita, jatuh cinta bukanlah hal yang mudah. Cinta adalah pengorbanan atau melepaskan. Dan, aku belum siap untuk itu semua, jadi lebih baik aku mengejar mimpi sebelum melukiskan cinta. " aku mengakhiri kalimatku.
"Risha pasti senang sekali jika tau anti mengatakan inti. Dia pasti sudah teriak-teriak sekarang" Bintang terkekeh.
Aku hanya tersenyum. Adzan maghrib berkumandang. Kami bersiap untuk turun kelantai satu dan bersiap untuk melaksanakan sholat maghrib.
_o0o_
"Hana, lupakan Rayhan ya.." sosok laki-laki bertubuh sedang duduk dimeja yang sama dengan seorabg perempuan.
"Tapi kenapa Ray?" Tanya perempuan tersebut lesu.
"Kamu harus fokus dengan belajarmu. Aku juga harus fokus dengan hafalanku. Kau tau kan aku punya banyak tanggungan selama ini?" Jelah Rayhan. Laki-laki tadi.
"Oke, baiklah jika alasanmu ingin Hana lebih fokus pada pelajaran dan hafalan. Hana enggak papa, kok" jawab Hana dengan menunduk. Menyembunyikan wajah sedihnya.
Laki-laki tadi mengalihkan wajahnya. Ada sakit yang tertahan. Namun ia harus bisa menanggulanginya sendiri. "Bukan hanya itu Hana," balas Rayhan lagi. Hana mengangkat wajahnya, seperti menunggu jawaban." Aku sudah punya penggantimu."
Mata Hana meredup. Sudah ia duga. Rayhan memang sudah tidak butuh dia. Rayhan butuh perempuan yang lebih sempurna. Bukan dirinya yang pasti.
Hana tersenyum pasrah"Hana enggak papa kok, asalkan Rayhan harus jaga dia baik-baik. Enggak boleh Rayhan menyentuh dia sebelum pernikahan. Oke?!" Suara Hana bergetar menyiptakan getaran lembut dihati Rayhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Mihrab Taat (⚠TELAH TERBIT⚠)
RomanceSatu kata cinta Bilal : "Ahad!" Dua kata cinta Sang Nabi : "Selimuti aku...!" Tiga kata cinta Ummu Sulaim : "Islammu, itulah maharku!" Empat kata cinta Abu Bakar : "Ya Rosulullah, saya percaya...!" Lima kata Cinta 'Umar : "Ya Rosulullah, ijijnkan...