23 | Ya untuk Louis.

36 7 85
                                    

Seminggu sudah dihabiskan hanya untuk terbaring di atas ranjang berukuran raksasa, selama itu juga ia dipaksa memakan bubur hambar dan minum pil pahit. Dia dikurung dua ksatrianya, Harry dan Christ, juga ibunya.

Untuk latihan, ia menyempatkan waktu untuk video call dengan teman-temannya dan latihan vocal. Untuk gerakan, Harry bersikeras menyuruh untuk tidak beranjak satu senti dari kasur.

Kini teman-teman itu muncul dengan lelucon garing dan perdebatan manis, wujudnya ada. Tidak lagi sekadar gambar di layar. Chloe memijitkan lengan dan kaki, Ela ikutan rebahan dengan memeluk erat, Luke mengayunkan kipas raksasa pelan bagai pelayan ratu mesir, Ashton sibuk mengupasi buah-buahan yang ia bawa dari rumah, Zayn dan Aldrich menari ala robotik di hadapan Hollie membuatnya tertawa terbahak.

"Hollie, kamar mandi di mana? Gue mendadak mulas! Kayaknya mencret akibat makanan Ash yang nggak steril," celetuk Luke.

"Dih kok salah gue?" protes Ashton, Luke berlari keluar ruangan tanpa menunggu jawaban. Matanya mencari keberadaan toilet dengan berlari cepat membuatnya tanpa sengaja menubruk tubuh yang tingginya sekitar dua senti dibawahnya. "Eh, maaf! Louis?"

"Luke?" balas Louis juga kaget, Luke goyang-goyang menahan diri untuk tidak kontraksi.

"Tunggu sini! Jangan kemana-mana!" ujar Luke dengan nada cepat. Ia kembali berlari menuju pojokan yang ia kira toilet, ia buru-buru masuk dan menemukan ruang sama persis kamar Hollie. Bedanya ruang ini dominan biru tua. Ia tidak mempedulikan hiasan macam- macam, ia masuk ke pintu di ujung lalu duduk di closet duduk dan mengeluarkan semua yang ditahan.

"Itu tadi Louis, kan? Kenapa tadi dia kayak kaget dan mau kabur? Apa dia kira gue bakalan laporin keberadaan ke Hollie?" gumamnya, ia menggeleng sambil tersenyum jahil.

Merasa sudah lega, ia buru-buru membersihkan diri dan kembali ke tempat ia menubruk Louis. Pria itu masih berdiri di tempat sesuai permintaannya.

"Maaf tadi aku harus ke toilet. Kau Louis, kan? Kenapa kau tidak mencoba masuk ke kamar Hollie?," ujar Luke, Louis menggeleng. "Ayolah! Jangan biarkan gengsi memakanmu!"

"Aku tidak gengsi! Aku hanya -- Dia mengusirku. Ia pasti akan menolak jika aku masuk ke dalam sana."

"Kau salah paham. Maksudku wanita itu merindukanmu, ia ingin sekali kau ada di sisinya."

Louis mengusap wajah frustasi, ia menatap buket bunga dan keranjang buah di kedua tangan. Hatinya gundah, ia ingin menemui sekaligus kabur dari tempatnya berdiri saat ini.

"Louis. Kau sangat paham kodenya! Jika ia bilang pergi, maknanya kau harus lebih banyak mendekatinya. Jika ia bilang benci, artinya ia mencintaimu." ujar Luke.

"Benarkah?" tanya Louis ragu, tangannya menggenggam buket lebih erat.

"Benar! Hollie tidak pandai berbicara apalagi jika berurusan dengan orang yang ia sukai. Ia pernah mengatakan perasaannya padamu?"

Louis mengangguk yakin.

"Ia mengatakan kalau ia membenciku lebih dari sekadar kata benci, ia membencinya melebihi ia membenci tiga kata itu -- aku benci kamu -- Dia benar-benar benci aku."

"Selamat! Kau sungguh beruntung!"

Wajah suram kini menegang, ia memandangi Luke yang tersenyum jahil. Alisnya naik-turun seakan menggoda.

"Maksudmu apa?"

"Say it then!"

Luke menyeret Louis yang masih kebingungan ke dalam kamar, seisi kamar terkejut. Hollie menunduk lesu, ia tidak berani memandanginya. Chloe menepi, posisinya digantikan Louis. Pria itu menaruh keranjang buah di atas ranjang lalu mengulurkan buket pada Hollie.

Daddy's Sugar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang