33 | Maag.

38 4 43
                                    

Jam menunjukkan pukul 10, berarti tersisa dua jam untuk menempuh perjalanan menuju bandara. Keceriaan selalu dipertahankan seketika sirna, hanya ada kesedihan meski ada yang tetap ceria. Hollie memandangi anggota keluarga inti dengan wajah pucat, ada Christ dan Harry. Quality time dengan Christ sangat singkat, ia memilih menghabiskan sisa waktu bersama ayah tercinta.

Mereka duduk di dekat perapian, dengan gelas cokelat panas dan satu toples kastengels terbiarkan terbuka.

"Mom dimana? Aku tidak melihatnya akhir-akhir ini," ujar Hollie.

"Oh, ibumu ke Inggris. Ia harus mengurus perkembangan kafe dan mengecek persediaan barang," balas Harry. "Manchester, dia di sana jika kau ingin menemui sejenak."

"Benarkah? Kenapa aku tidak tahu? Dad sengaja merahasiakan dariku, ya?" tanya Hollie penuh curiga.

"Aku tidak mau persiapanmu terganggu, apalagi aku baru tahu kau mengemban masalah sangat berat. Aku tidak ingin kau bersedih!" balas Harry.

Hollie mengeratkan pelukan, perlahan ia menarik napas dan tercium aroma vanila begitu pekat. Aroma yang kelak akan ia rindukan sepanjang waktu. Ia membayangkan hari-hari tanpa senyum manis, makanan vegan yang berusaha ia hindari, melilitkan jari di rambut ikal yang dicatok jadi lurus, dan kebiasaan kecil yang tidak pernah ia sadari.

Sangat lebay untuk tamasya selama sepekan.

"Dad, aku akan merindukan celetukan segar dan nasehatmu!" lirih Hollie di sela tangis.

"Kau bisa menemuiku kapan saja, Darling! Louis akan selalu menemanimu," balas Harry.

"Aku tahu, Dad." Wajah Hollie semakin sendu sedangkan tangis semakin deras.

"Tersenyumlah! Hari ini kalian akan melaksanakan hari bahagia!" hibur Harry, Hollie mendengus pelan.

"Sedih saja! Aku akan meninggalkanmu. Selama ini aku abaikan saja seakan selalu dapat, tapi malam tadi -- Aku merasa hampa. Aku ingin selalu berada di sisimu!"

"Tidak bisa, Darling! Kau harus pergi bersama kekasihmu cepat atau lambat."

"Dad mengusirku dari rumah? Kau kan kekasih pertamaku!"

"Dan kau lebih banyak menghabiskan waktu dengan Louis dibanding aku?"

"Dad! Aku -- Maaf jika aku mengabaikanmu selama ini, aku terlalu sibuk memikirkan Boo daripada menyempatkan diri untuk melakukan kegiatan bersamamu. Aku teramat sangat menyesal!"

"Kita bisa melakukannya kelak! Memasak avocado toast, bernyanyi bersama, menonton film horor semalaman, bercanda seharian. Semua akan menyenangkan!"

Harry mengelus punggung Hollie yang bergerak naik turun, napasnya sangat cepat dan terbatuk beberapa kali. Ia menahan diri untuk tidak tertawa mendengar isak tangis.

"Semoga perjalanan kalian berdua menyenangkan, Darling!"

Hollie memperkencang raungan tangis di pelukan Harry, tangisnya terus mengalir begitu menyadari banyak waktu yang terbuang dan kini sudah habis. Berkebalikan dengan anaknya, pria itu justru tertawa riang. Mata hijau cerah mengarah pada Louis yang berdiri tak jauh dengan dua buah koper.

"Kami akan kembali minggu depan," ujar Hollie pelan. Ia menoleh dan mengarahkan mata pada tangan kekar yang menyentuh bahu terbuka, dress putih hadiah Harry berkerah lebar membuat bahu terlihat. Louis duduk di samping, memaksanya untuk melepas pelukan yang sangat hangat.

Dari arah pintu, Christ masuk tanpa mengetuk pintu dan melenggang lebih dalam. Ia terbahak melihat wajah Hollie yang sangat merah dengan dua mata bengkak.

"Astaga! Monster!" teriak Christ pura-pura kaget bercampur ketakutan. Tangis berhenti dan terganti tatapan sebal.

"Pergi saja lo! Ganggu aja!" celetuk Hollie ketus, ia kembali memeluk ayahnya posesif.

Daddy's Sugar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang