Chapter 3: Lonceng Kematian Sang Raja

126 21 0
                                    

Rasanya ingin sekali memohon kepada lelaki gagah di hadapanku, tetapi tidak bisa karena jika aku berbicara, mata pedangnya akan menyentuh tenggorokanku. Iya, sedekat itu!

Pedangnya tak kunjung diturunkan, meskipun aku sudah memohon menggunakan kedua tanganku yang tak bisa bergerak dengan leluasa. Rasanya sangat tidak nyaman. Ini di ambang kematian.

Aku masihlah orang normal yang tidak mau dibunuh, meski yang membunuhku adalah seorang lelaki tampan bertubuh jangkung. Baju zirah perak, rambut hitam legam, hidung mancung, tubuh proporsional dan pembuluh darah yang berada di bawah kulit lehernya terlihat sangat jelas, pertanda bahwa dia adalah seorang lelaki berdarah biru. Orang ini nyaris sempurna. Tidak salah lagi, dia pasti adalah salah satu dari bagian keluarga kerajaan.

Dia menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan tajam bak pedang kesatria. Dari pradugaku, dia pastilah sedang mempertanyakan dari mana aku berasal dalam benaknya. Tentu saja, rambutku pastilah jauh berbeda dari wanita-wanita yang selama ini dia temui di dalam kisah. Belum lagi pakaian sekolahku yang masih melekat, sangat mencolok.

"Dari mana kau berasal?" Suara berat lelaki itu terdengar. Sama-sama bariton, mengingatkanku pada suara Ricky, yang kini ingin sekali kurengkuh, lalu meraung di pelukannya.

Setelah mata pedang itu dimundurkan beberapa sentimeter, akhirnya aku dapat bersuara. "Aku—saya dari.."

Benar. Dari mana aku berasal? Mau kukatakan bahwa aku berasal dari luar buku pun, dia tidak mungkin percaya. Di latar waktu di mana masih ada kerajaan yang berperang, manusia berdarah bangsawan seperti dia tidak dapat dibilang bodoh.

Gagasan itu juga belum tentu seratus persen benar. Aku hanya menangkap apa yang bisa kutangkap dalam nalar, walau yang terjadi tidak mungkin ditangkap dengan nalar. Kejadian magis seperti seseorang yang terseret masuk ke dalam buku sering kali terjadi di dalam layar kaca. Dan mungkin, aku sedang mengalaminya saat ini. Jika di dalam sebuah cerita fiksi, seseorang itu akan dijadikan pelayan pribadi oleh seorang raja ataupun pangeran, apakah aku akan melakukan tugas yang sama di kerajaan?

Prang! Sebuah anak panah memecahkan salah satu kaca jendela lagi. Hanya saja, ia tidak menerobos bersama dengan sulutan api, tetapi mampu membuatku terkejut setengah mati.

Lelaki itu tak menoleh sama sekali ke arah belakangnya. Mungkin, diriku saat ini jauh lebih penting, dalam artian jauh lebih berbahaya dalam pikirannya.

Sampai dia mendekatkan pedangnya lagi, dia berkata, "Kutanya sekali lagi. Dari mana kau berasal?" Suaranya menjadi lebih berat dan membuatku merasa semakin ditekan. Aku hampir saja terintimidasi oleh tatapan mautnya itu, jika aku tidak segara mengalihkan pandangan.

Dengan pikiran yang tidak bisa berpikir jernih, aku menjawab asal, yang sebenarnya cukup masuk akal. "Saya hilang ingatan."

"Saya gak tau kenapa saya bisa ada di sini. Kepala saya pusing waktu pertama kali saya buka mata." Melihat dia yang tetap tak berkutik sama sekali, aku menambahkan.

Pedangnya digerakkan. Bukannya semakin menjauh, justru semakin mendekat. Bilah pedangnya diarahkan ke pipi kananku yang terluka akibat pecahan kaca sebelum dia datang. Napasku tertahan di dalam diri ketika pedang lelaki itu menempel di atas lukaku, lalu menekannya sedikit kuat, sampai darah kembali mengalir dari sana. Beruntung, dia tidak berniat melukaiku dengan mata pedangnya.

Ditariknya kembali pedang itu, lantas menyentuh darahku yang melekat di atas besi dinginnya. Kembali dia menatapku tajam. "Apa yang melukaimu?"

Aku langsung menunjukkan letak pecahan-pecahan kaca yang membuatku terluka di belakang punggungnya, kendati aku masih bertanya-tanya mengapa dia menyempatkan waktunya untuk menanyakan hal yang dirasa tidak penting, setelah dia membuatku amat ketakutan sambil menodongkan pedangnya beberapa saat lalu.

The Story of King Sahya - Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang