"Aduh! Iya, sebentar!" balasku para seorang juru masak istana di dapur yang penuh sesak.
Hari ini adalah hari penobatan. Entah bagaimana caranya mereka mampu mendapatkanku untuk membantu di balik acara penting ini. Padahal, kukira aku hanya akan membantu Calon Raja dari pakaiannya saja, atau mungkin mempersiapkan mentalnya semalam sebelum hari H.
Kemarin malam, aku bertemu dengan kepala pelayan yang dimaksud oleh lelaki tampan berahang tegas. Wanita tua itu menyuruhku untuk mempersiapkan segala kebutuhan Calon Raja, termasuk sarapan paginya yang sedang disiapkan sekarang.
Wanita itu juga bilang, bahwa aku tidak boleh masuk ke kamarnya sebelum hari ini tiba. Dia berkata dengan tegas bahwa seorang calon pemimpin harus bisa menangani kegugupannya sendiri.
Dan, di sinilah aku. Berlarian di tengah para pelayan dan juru masak istana sambil membawa berbagai racikan. Mengopernya ke sana ke mari, lalu setelah selesai dipanggil lagi untuk segara membantu. Di antara banyaknya orang, hampir selalu aku yang dipanggil oleh si juru masak utama. Entah mengapa, padahal aku masihlah pemula di sini. Rasanya seperti dijadikan babu.
"Kezanna! Cepat kemari!" panggilnya, si juru masak utama yang baru saja kucerca.
Aku mendatanginya dengan terburu-buru, sempat menubruk beberapa pelayan yang juga sibuk menyiapkan banyak hidangan untuk jamuan acara. Sampai di hadapannya, aku bernapas terengah-engah.
"Bawa hidangan ini ke dalam kamar Pangeran Sahya sebelum dingin. Cepat, cepat, cepat!"
"B-baik!" Aku berucap gagap, takut terhadap wajah wanita itu yang sangat garang.
Segera aku mengambil nampan berisi hidangan mewah yang tidak kuketahui namanya. Aku meletakkan nampan itu di atas troli makanan, tak lupa dengan satu gelas air putih di sebelahnya. Lantas, aku menutup itu semua dengan tudung saji.
Aku lekas pergi dari ruang lingkup dapur di timur laut istana, paling ujung. Tujuanku adalah ke arah barat, di mana kamar seorang Sahya berada. Mungkin terdengar dekat, tetapi setelah aku mendengarkan apa kata kepala pelayan kemarin malam yang memberitahu jalan-jalan menuju kamar Sahya, aku sampai tercengang.
Kurang lebih enam belas menit berjalan dengan terburu-buru, mengesampingkan rasa sakit di paha kiriku untuk melintasi satu per lima bagian dari bangunan utama. Aku akhirnya sampai di depan kamar Pangeran Sahya dengan perasaan khawatir, takut makanannya sudah terlanjur dingin.
Di depan dua ruangan yang saling berseberangan, aku berbelok ke sebuah pintu di sebelah kiri. Terletak dua sisi pintu besar yang terbuat dari kayu berukiran rumit. Gagang pintunya berbentuk kelopak bunga teratai seperti biasanya. Aku selalu berpikir, mungkin bunga teratai adalah lambang dari kerajaan ini, tetapi aku tidak tahu apa alasan mereka menjadikan konfigurasi lili air sebagai lambang utama.
Aku membuka pintu dan mendorong troli makanan memasuki kamar yang dimaksud. Kamar itu sangat luas, menampung segala jenis perabotan mewah yang hanya bisa dibeli oleh kaum bangsawan, atau mungkin hanya bisa dimiliki oleh anggota keluarga kerajaan.
Benda-benda yang berada di sini didominasi warna coklat tua, terbuat dari kayu yang diukir. Sama halnya dengan pintu besar yang hendak kututup kembali kala melihat sesuatu yang tak seharusnya kulihat sebagai seorang pelayan biasa.
Dia, Sahya, si pemilik kamar sedang berdiri tegap di hadapan cermin luas. Bersiap untuk memulai hari besar sambil mengancingkan kemeja putih yang terlihat pas di tubuh proporsionalnya. Dia tak berbalik, tetapi tatapan tajamnya yang memandangku dari pantulan cermin sangatlah mampu untuk membuat tubuhku menegang bergidik.
"MAAF!" Segera aku membalikkan badan dan mendorong troli ke luar ruangan.
Di balik pintu, aku bernapas terengah-engah, seakan-akan baru selesai berlari mengelilingi seluruh bagian kompleks istana. Pagi ini, tiga kali aku berolahraga; di dapur, di jalan menuju kemari, lalu di dalam ruangan yang kutuju. Yang terakhir adalah yang terkejam, jantungku berolahraga sangat keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of King Sahya - Park Sunghoon
FanfictionHiatus! "Ketika dua insan saling menyatu dan melengkapi, waktu seolah-olah berhenti. Terkadang, kita ingin waktu berjalan mundur, sehingga kejadian yang indah itu terulang kembali." Namanya Plue Kezanna, perempuan introvert yang duduk di bangku kela...