Chapter 13: Anak Penjual Roti

54 17 1
                                    

Perjalanan terus berlanjut. Kegiatan sapa-menyapa antar pemimpin dan penduduk masihlah berlangsung, meskipun sudah banyak sekali yang Sahya dan Seanu temui.

Menuju ke arah selatan, jalanan tidak seramai tadi. Kami berpisah di persimpangan. Seanu berjalan bersama satu prajurit dan Reyvan, sedangkan Sahya melangkah bersamaku beserta Penasihat Raja, dengan satu orang pengawal dan satu orang prajurit.

Meski penjagaan terhadap keluarga kerajaan yang pergi ke luar kompleks istana sengaja dilonggarkan atas perintah Sahya hari ini, Catra Kaivan atau paman dari dua bersaudara tetaplah bersikeras untuk mengirimkan mereka masing-masing satu prajurit. Juga, atas kehendak Penasihat Raja yang keras kepala, akhirnya dia mengikuti kami.

Seanu beserta Reyvan berbelok ke arah barat, di mana mereka akan pergi ke kastil. Jelas sekali, tujuannya adalah untuk menyapa para prajurit, kesatria, dan juga penduduk terdekat kastil yang ada di Samahita, ibu kota Sadhana.

Sementara itu, kami berjalan menyamping menuju sebuah tempat yang penduduknya relatif lebih sedikit, tetapi aku tidak tahu kami akan menuju ke mana, dan untuk apa.

Senyuman kecil teduh sudah biasa Sahya tunjukkan ketika kami melewati beberapa rakyat yang kesannya jauh lebih tenang. Mereka menjaga batas berdiri tanpa perlu diatur oleh pengawal.

Di belakang Sahya, di samping Penasihat Raja yang sebenarnya aku enggani, rasa lega memenuhi isi hatiku. Aku tak henti-hentinya melepaskan pandangan dari lelaki di depan sana itu, yang tanpa melambai atau tanpa membuka mulutnya dan berseru, sudah dapat membuat rakyat-rakyatnya mengambil tindak balik, membalas senyuman tak kalah tulus.

Senang rasanya mengetahui mereka yang ternyata masih menaruh harapan besar kepada pemimpinnya. Bersyukur pula ketika mereka sedikit demi sedikit mengubah pandangan terhadap Sahya.

Kabar tentang komunikasi antara Sahya dan Badiran sudah menyebar luas dan cepat, entah bagaimana caranya. Namun, aku pastikan caranya tidaklah jauh berbeda dengan omong kosong yang pernah mereka sampaikan tentang Yang Mulia.

"Tersenyum terus, dasar wanita muda asing," celetuk si kakek, Penasihat Raja yang selalu menyebalkan setiap saat.

Tidak pernah terpikirkan olehku, mengapa seseorang seperti dia diutus untuk menjadi orang penting di samping Raja, apalagi secara turun-temurun.

Aku menolehkan kepala padanya, tanpa rasa takut ataupun segan akan kedudukan yang bagaikan langit dan bumi. "Terserah, ini mulut aku," kataku ketus.

Responnya tidak jauh berbeda, hampir sama seperti dua bulan yang lalu. Hanya menggeleng, berdecak, atau memutar kedua matanya karena geruh.

Memang monoton. Kami begitu-begitu saja sejak pertama kali bertemu. Sayang sekali, aku tidak bisa serta tidak memiliki niatan sama sekali untuk berdamai dengannya.

Kupikir, saat itu dia sengaja meninggalkanku di hutan sendirian agar dia tidak terkena bahaya dari seorang prajurit Goga. Dia membiarkanku terluka, padahal dia terlihat seperti seorang sakti yang dapat mengeluarkan sihir.

"Kau, majulah ke depan!" seru Sahya tiba-tiba, entah kepada siapa.

Pasalnya, di depan kami kebetulan tidak ada seorang pun yang sedang lewat. Ada pun yang jaraknya jauh di depan sana dan kemungkinannya kecil untuk mendengar suara Sahya. Kami sudah berjalan jauh dari kompleks istana, dan wilayah ini cukup sepi.

"Yang Mulia ngomong sama siapa?" Aku bertanya sontak, menolehkan kepalaku ke kiri dengan mata yang masih terpaku pada Sahya.

Si kakek pun menjawab malas. "Percayalah, saat ini kau lebih disayang daripada aku. Dia memanggilmu, wahai penduduk asing," katanya, realistis.

The Story of King Sahya - Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang