Dari deretan kesalahan yang pernah dilakukan, Riki tahu pusat dari semuanya adalah lahir ke dunia. Karena jika ia tak menapak bumi, maka takdir yang getir tak perlu dijalani. Namun semua telah terjadi, ia tak dapat merubah apa yang telah digarisi.
Riki dilahirkan tanpa persetujuan, lalu diminta menjalankan kehidupan yang amat memuakkan. Rasanya menyebalkan namun ia tak dapat melawan, pemikiran yang timbul dari rasa lelah akan kehidupan itu dapat membuatnya dianggap tak bersyukur atas apa yang diberikan. Padahal dari hidupnya yang buruk ini, rasanya memang tak ada yang bisa disyukuri.
Untuk napas yang diberi tiap hari, Riki bahkan sudah tak ingin lagi. Ia ingin perjalanannya segera diakhiri.
"Apa tugas utama seorang ayah?"
"Mencari nafkah!" jawab para siswa di dalam kelas secara serempak, membuat sang guru tersenyum karena anak didiknya memahami apa yang diajari.
Riki yang saat itu merupakan salah satu dari puluhan siswa kelas dua di dalam sana, adalah satu-satunya yang tak menjawab. Karena apa yang diajarkan, tak berjalan sesuai kenyataan.
Ayah, seorang kepala keluarga yang katanya bertugas mencari nafkah telah pergi entah ke mana. Ia melepas tanggung jawab yang dipikul, meninggalkan istri dan anak dalam keadaan terpukul.
Riki terlalu muda untuk memahami. Namun seiring berjalannya waktu, ia jadi tahu pada saat berusia lima tahun, ayahnya melarikan diri usai ketahuan melakukan penipuan. Ia pergi sendiri, meninggalkan istri dan anak yang harus menanggung rugi.
Riki dan ibunya kehilangan rumah dan banyak barang berharga, keduanya hancur karena sang kepala keluarga berbuat salah. Dunia Riki dibalik dalam satu hari, diubah jadi penuh sedih dan tak lagi berarti.
"Mama mau nikah lagi."
Berat, tapi Riki harus kuat dan menerima ayah baru dengan hangat. Ia tak mau egois, ibunya berhak menikah lagi usai bertahun-tahun ditinggal tanpa kejelasan. Riki pikir, dengan menikah lagi, ibunya akan kembali bahagia dan ia dapat kembali merasakan kasih sayang seorang ayah, namun ternyata salah.
Ayah tirinya tak sesuai yang diharap, ia ringan tangan dan sering menjadikan Riki sebagai samsak pelampiasan atas emosi yang tak terkendali. Dan ibunya juga berubah semenjak sang ayah pergi, ia benci Riki karena merupakan anak dari seseorang yang amat menyakiti. Sejak kecil, Riki tumbuh dengan banyak pukulan di tubuh dan luka yang tak dapat sembuh. Kasih sayang tak lagi ada, Riki lupa bagaimana rasanya dicinta.
"Itu cuma merah dikit, entar juga hilang sendiri. Nggak usah nangis."
Riki menatap sang ibu dengan nanar, sakit di pipi terasa pudar, sikap ibu yang tak peduli terasa lebih menampar.
Ia hanya anak berusia sepuluh tahun, pulang sedikit sore karena bermain bola dengan teman sebaya namun disambut dengan amarah sang ayah kala tiba di rumah. Sebuah tamparan melayang di pipi Riki, namun rasanya kalah sakit dengan sikap ibu yang tak peduli.
"Anak kamu itu nggak berguna, cuma nambah pengeluaran, mending buang atau taruh di panti aja," ujar ayah tirinya dari dalam kamar, dan Riki bisa mendengarnya dari luar.
"Nggak segampang itu, Riki udah gede. Dan aku nggak mau dipandang jelek karena ngebuang anak." Sang ibu tak setuju. "Lagian kita cuma perlu ngegedein dia beberapa tahun lagi, setelah lulus sekolah, dia bisa nyari duit buat kita."
Riki bersyukur karena tak dibuang, namun menyedihkan karena alasannya dipertahankan adalah untuk menjaga nama baik di depan semua orang. Belum lagi, ada ekspektasi yang diberi, Riki takut tak dapat menjadi seperti yang diharapkan selama ini.
"Kamu denger semalem papa ngomong apa, kan?" tanya ibunya kala Riki sedang memakai sepatu, bersiap untuk pergi sekolah dengan berjalan kaki karena lokasinya tak terlalu jauh.
Riki terdiam sejenak, lalu mengangguk.
"Kamu harus bersyukur karena mama masih ngebelain kamu, jadi jangan ngecewain. Kamu harus berhasil dan balas jasa kami, Riki."
Pada usia itu, harusnya Riki hanya perlu memikirkan akan bermain apa setelah pulang sekolah, bukan bagaimana cara untuk membalas jasa orangtua. Riki masih terlalu muda tapi dunia sudah terlalu tega, dan ia tak bisa apa-apa.
••••
"Menurut lo, Jake tau nggak kalo Jay pernah curangin dia?" tanya Heeseung usai memijak pedal gas, membuat mobil kembali melintas di sepanjang jalan usai rambu berubah hijau.
Sunghoon yang duduk di samping mengendikkan bahu. "Nggak tau, gue nggak pernah bilang ke dia."
Heeseung tak membalas, memilih fokus menatap jalanan hingga hanya ada suara lagu dari radio yang mengisi kekosongan.
"Omongan Jake, menurut lo masuk akal?" Heeseung memecah keheningan.
"Enggak, soalnya selama ini Jungwon sama Sunoo baik-baik aja," balas Sunghoon tanpa pikir panjang. "Jake mikir terlalu jauh."
"Gimana kalo lo yang nggak tau terlalu jauh?"
Sunghoon menoleh, menatap Heeseung bingung. "Maksudnya?"
Heeseung terdiam sejenak, sadar jika dirinya telah salah bicara. Sunghoon kembali memanggil, namun Heeseung tak kunjung menjawab. Kepalanya beradu tentang harus berbagi atau tetap menyembunyikan seorang diri.
Namun karena Sunghoon terus menuntut jawaban, Heeseung berakhir menceritakan.
"Sunoo sebenernya nggak suka sama Jungwon." Heeseung tahu jika Sunghoon terkejut, namun ia tetap memilih untuk lanjut. "Dia iri, karena Jungwon lebih unggul di bidang nyanyi dan selalu dipilih buat ngewakilin sekolah tiap lomba. Padahal, Sunoo ngerasa bakat cuma nyanyi, tapi dia bahkan nggak bisa unggul di satu-satunya bakal yang dia punya."
Dalam hati, Heeseung ucapkan maaf pada Sunoo karena membocorkan ceritanya yang satu ini. Tapi mau bagaimana lagi? Heeseung merasa perlu berbagi agar tak pusing sendiri.
"Karena itu doang?" Sunghoon nampak tak percaya. "Masa iya dia nggak suka Jungwon cuma karena masalah sepele?"
"Hati orang beda-beda, Hoon. Urusan benci tuh di luar kendali, kalo bisa milih, siapa sih yang mau terjebak di perasaan jahat begitu?"
Sunghoon diam, berhasil dibungkam. Jawaban Heeseung dibenarkan dalam hati, perihal benci memang di luar kendali dan sulit untuk diatur sendiri. Perasaan yang satu itu, racun yang sulit sembuh dan kambuhnya tak tahu waktu.
"Kalo Jungwon tau Sunoo nggak suka sama dia, ada kemungkinan dia bales dendam." Heeseung melanjutkan pembicaraan. "Dan ini sesuai sama perkiraan Jake."
"Emang persoalan iri bisa bikin Jungwon tega ngebunuh temen sendiri?" tanya Sunghoon, terdengar menyanggah. "Apa nggak terlalu sepele?"
"Balik lagi ke poin awal, hati orang beda-beda. Perasaan mempengaruhi pikiran, nggak menutup kemungkinan, hati yang jahat bikin orang jadi bejat. Dan kita nggak tau, separah apa sesuatu yang bisa dilakuin seseorang kalo udah benci."
Sunghoon mengangguk pelan, paham dengan maksud Heeseung. Seseorang tentu bisa lepas kendali jika terlalu benci dan sakit hati. Dua perpaduan itu berbahaya jika sudah mempengaruhi akal sehat, karena bisa merubah seseorang jadi jahat.
Alasan kematian Sunoo, mungkin berkaitan dengan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hypocrite | Enhypen
Fanfiction"Lo pernah denger istilah hipokrit, nggak?" •••• Katanya, tak semua hubungan persahabatan akan bersih dari pengkhianatan. Sekelompok pemuda dengan jumlah tujuh tak terlalu menghiraukan itu, karna persahabatan mereka berjalan dengan baik selama ini...