Mempunyai orangtua yang manis dan keluarga harmonis menjadikan Jungwon sebagai manusia yang jarang menangis. Jungwon bahagia, hidupnya penuh akan euforia hingga ia terus bersyukur karena telah lahir di dunia.
Dahulu, Jungwon pernah membaca suatu kutipan di akun sosial media ibunya yang ia buka diam-diam; jangan berambisi untuk terus bahagia, nanti kamu dilanda derita. Setiap manusia punya jatah untuk bahagia, jadi pakai sewajarnya. Jangan menyerah jika sedang banyak menangis, kamu hanya sedang menghabiskan jatah sedih.
Jungwon pikir itu hanya sebatas kata tak bermakna, pelipur lara untuk mereka yang sering menjatuhkan air mata, karena nyatanya ia selalu bahagia dan hanya menangis jika tak dapat mengerjakan tugas matematika atau jatuh dari sepeda. Jungwon pikir, jatah bahagianya tak diberi batas oleh takdir. Namun pemikiran itu terbantah kala Jungwon berusia tiga belas tahun, tepatnya saat ia menemukan mayat sang ibu terbujur kaku di ruang tamu saat baru bangun tidur.
Jungwon kira ia bermimpi, namun nyatanya semua yang ia lihat pagi itu memang realita yang terjadi. Sang ibu benar-benar pergi.
"Mama dibunuh perampok yang masuk tengah malam ke rumah, dia ditusuk pake cutter yang ada di atas rak, Nak."
Itulah penjelasan sang ayah mengenai apa yang terjadi pada ibunya. Dan Jungwon jadi ingat, jika pagi itu, ia melihat tubuh kaku sang ibu dipenuhi darah dengan cutter yang menancap pada leher, serta mulut yang disumpal kain.
Kematian sang ibu, menimbulkan trauma mendalam bagi Jungwon. Bayangan tentang jasad wanita itu terus muncul di kepala, membuatnya nyaris gila. Jungwon jadi sering mengalami kesulitan tidur, gelisah berlebihan, ketakutan hingga gemetaran, dan jantung berdetak cepat hingga berkeringat. Semua dalam dirinya terasa berantakan, tak dapat dijelaskan. Lalu tak lama kemudian, Jungwon didiagnosa menderita gangguan kecemasan dan harus menjalani terapi serta mengonsumsi kumpulan pil anti-depresan.
Kejadian mengerikan itu mengubah hidup Jungwon yang selalu dipandang tanpa kurang. Ia jadi berpikir, jika air mata yang kini jatuh setiap hari, adalah bayaran atas bahagianya selama ini. Jungwon merasa jatah bahagianya sudah habis, maka dari itu ia terus menangis dan jalan hidupnya berubah tragis.
"Jadi lo punya anxiety?" tanya Riki untuk memastikan, dan Jungwon hanya mengangguk sebagai balasan.
Saat itu keduanya baru berteman selama dua bulan, dan Jungwon tiba-tiba kambuh tanpa alasan. Riki yang kebetulan masuk ke toilet langsung panik melihat Jungwon yang nampak tak baik. Ia membantu Jungwon untuk menenangkan diri, kemudian menagih penjelasan tentang apa yang terjadi.
Awalnya Jungwon tak mau berbagi, tapi karena Riki mengancam akan mengadu pada yang lain, ia terpaksa bercerita karena sepertinya Riki bukan seseorang yang akan membocorkan rahasia. Jadi, Jungwon cukup percaya padanya.
"Kenapa lo nggak mau jujur sama yang lain?" Riki kembali bertanya usai mendengar pengakuan Jungwon.
"Kenapa harus kasih tau yang lain?" Jungwon balik bertanya. "Sakit mental bukan suatu hal yang perlu dibanggain dan diumbar sana-sini."
"Jangan ngomong gitu." Riki nampak tak suka. "They care about you, jadi apa salahnya kasih tau?"
"Gue malu."
"Punya anxiety bukan tindak kriminal."
"Malu aja, karena gue nggak sekuat itu." Jungwon terkekeh, namun terdengar sumbang. "Padahal banyak yang hidupnya lebih menderita, tapi kenapa gue langsung hancur cuma karena masalah sepele?"
"Jangan bandingin mental lo sama orang lain, semuanya beda, Kak."
"Tapi nggak ngerubah fakta kalo gue lemah, Ki."
"Kalo lo lemah, lo nggak bakal bertahan selama empat tahun dan tetap hidup sampe saat ini."
Jungwon terdiam, tak lagi membalas dan memilih melangkah pergi dari toilet, meninggalkan Riki seorang diri.
Riki berniat baik, ingin memberitahu Jungwon jika dirinya adalah jiwa yang kuat sehingga harus tetap semangat. Tapi dibalik semua perjuangannya selama ini, ada hal yang tak Riki ketahui; Jungwon telah berulang kali berniat bunuh diri, ia ingin segera pergi dari bumi dan bertemu sang ibu lagi.
Seandainya Riki tahu jika Jungwon telah lama ingin mati, ia mungkin akan menarik kalimatnya kembali.
Yang Jungwon bukan sosok kuat, ia hanya berhasil menipu setiap mata yang melihat. Raganya mungkin nampak sehat, tapi jiwanya sudah amat penat, semua terasa berat. Alasannya tetap hidup mungkin hanya sang ayah, Jungwon tak sanggup jika harus meninggalkan ayahnya sendirian di tengah dunia yang tak lagi memberi kebahagiaan.
Sejak dua tahun lalu, ayahnya mulai kembali ceria karena mengira kondisi mental sang anak telah membaik—padahal tidak, Jungwon hanya berhasil menipu dengan baik agar ayahnya tak terus panik.
Mengakhiri hidup sendiri akan membuat sang ayah merasa gagal menjaga sang buah hati, dan Jungwon tak mau itu terjadi. Ayahnya telah menjadi orangtua terbaik, jadi Jungwon tak mau pria itu tahu jika anaknya tak hidup dengan baik. Jungwon belum dapat memberi balas atas semua yang diberi, jadi setidaknya, ia tak boleh pergi dan meninggalkan ayahnya seorang diri.
Untuk ayahnya, Jungwon harus tetap hidup sebagaimana ia sanggup.
••••
Riki baru tiba di rumah pukul tujuh malam, membuatnya mendapat teguran dari sang ibu yang saat itu sedang menonton televisi di ruang tamu. Beruntung sang ayah tak ada, sedang berkumpul dengan teman-temannya seperti biasa. Jika tidak, Riki mungkin akan dibentak.
"Ma," panggil Riki kala baru selesai mandi. "Aku—"
"Makan malam udah diabisin papamu, kalo laper masak mie aja," sela sang ibu tanpa mengalihkan atensi dari layar televisi.
"Nggak, bukan itu. Aku tadi udah makan kok, ditraktir temen."
"Terus kenapa?"
"Uang SPP aku, udah ada, Ma?" Suara Riki memelan, sedikit takut untuk menanyakan itu. "Wali kelas nagih, soalnya udah nunggak tiga bulan."
"Nggak ada, biaya SPP adekmu naik. Terus gaji papamu sering dipotong karena dia suka nggak masuk. Kalo dipake buat bayar SPP kamu, kita bisa nggak makan."
"Kalo nggak dibayar terus, nanti bisa dapet surat panggil—"
"Udahlah, jangan bahas uang terus sama mama. Bikin pusing aja," protes sang ibu kesal, membuat Riki terdiam. "Kalo kamu mau bayar SPP, sana cari uang sendiri. Kamu udah gede, harusnya udah ngasih uang buat papa sama mama, ngangkat derajat keluarga, dan bikin orangtua bahagia di masa tua. Bukan malah bikin tambah susah."
Riki baru berusia belasan tahun, tapi ekspektasi orangtua atas dirinya yang tak berguna, terasa menyiksa dan menikam dari dalam. Riki merasa tertekan, takut tak jadi sesuai harapan dan berakhir mengecewakan. Pemikiran itu bagai racun mematikan yang membunuh jiwanya perlahan.
Riki bukan orang hebat dengan segudang bakat. Ia hanya manusia yang hadir untuk memenuhi dunia, mengisi panggung sandiwara yang entah siapa pemeran utamanya.
Nishimura Riki, takut tak dapat memenuhi ekspektasi yang diberi. Bagaimana ia bisa memenuhi ekspektasi manusia lain, jika memenuhi ekspektasi diri sendiri saja terasa tak mungkin? Riki hanya pemimpi yang selamanya akan tetap bermimpi, semua terlalu jauh untuk direalisasi karna ia tak punya tumpuan untuk membantunya meraih sesuatu yang amat tinggi.
Riki dibesarkan tanpa dukungan, tak diberi arahan dan dibiarkan berjalan sendirian tanpa tahu tujuan. Ibarat dilepas di tengah lautan tanpa diajarkan berenang dan menyelam; Riki akan tenggelam, jatuh ke dasar paling dalam dan kelam.
![](https://img.wattpad.com/cover/280817254-288-k242786.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypocrite | Enhypen
Fanfic"Lo pernah denger istilah hipokrit, nggak?" •••• Katanya, tak semua hubungan persahabatan akan bersih dari pengkhianatan. Sekelompok pemuda dengan jumlah tujuh tak terlalu menghiraukan itu, karna persahabatan mereka berjalan dengan baik selama ini...