BAB 9

168 5 0
                                    

(Sintia)

Suasana rumah sakit yang hampa, membuat rasa sakit di dalam dadaku menganga semakin lebar. Semua rasa penyesalan, rasa takut, rasa resah, bercampur aduk didalam pikiranku saat ini. Andai saja waktu dapat diputar kembali ke masa lalu, aku tidak akan mengiyakan ajakan Vina, tidak akan mengizinkan Andro ikut ke kafe, dan yang terakhir, tidak akan aku biarkan rasa takut menguasaiku, sehingga aku tidak akan melepaskan pandanganku dari orang serba hitam tadi. Aku egois, aku terlalu memikirkan diriku sendiri.

Saat ini, rasanya aku ingin berteriak, ingin menjerit, ingin melakukan apapun, agar rasa di hatiku lega. Alih-alih berteriak, aku hanya mampu menyalahkan diriku secara terus-menerus dan memamerkannya kepada Vina. Namun Vina membalas semua keluhanku hanya dengan kebisuan, yang semakin membuat hatiku hampa. Seakan tidak ada yang dapat berbagi kepedihan denganku.

"Vin, semua salahku." Ulangku sekali lagi, setelah ribuan kalimat rancu yang senada kulontarkan dari bibir mungilku. Vina tetap tidak bergeming, rasanya kebisuan Vina membuat keadaanku semakin kacau balau! Lebih baik aku melihatnya memaki-maki dan menyalahkanku, dari pada melihatnya menatap lantai dengan kosong dan menanggap ucapanku seperti bisikan-bisikan makhluk halus.

Saat tangisku yang tidak henti-hentinya mengalir meski tidak ada suara yang mengiringinya, isakan kecil dan lembut mengejutkanku. Kucari suber suara itu, dan baru kusadari, isakan-isakan itu muncul dari bibir pipih Vina, sesaat aku membisu di tempat. Aku egois, aku tidak memperkirakan perasaan Vina, dan beranggapan bahwa dirikulah yang paling menderita. Sehingga berkali-kali aku berseru, berkali-kali aku terisak dan melolong, padahal mati-matian Vina menahan tangis. Perlahan, tubuhku bergerak ke sisi Vina, kemudian kupeluk tubuhnya yang berguncang.

"Vin, maafin aku." Bisikku pelan setelah berhasil meraih dan memeluknya. Bisa kurasakan gelengan lebut dari kepalanya yang berada diatas pundak kananku.

"Engga Sin, kamu engga salah." Bisiknya pelan, kuusap lembut punggungnya yang dingin. "Aku salah besar Sin!" Bisik Vina selanjutnya. Aku mengelum senyum lembut dan menggeleng.

"Kamu engga salah Vin." Bisikku tepat di telinganya, tetapi setelahnya, ucapan-ucapan Vina mengalir dengan deras. Ceritanya mengenai malam kemarin saat ia menerima telepon dari Andro yang berisi berangkaian rencana untuk menyelamatkan nyawaku sampai pristiwa tadi siang membungkam mulut dan pikiranku. Semuanya terjadi tidak sesuai yanga kuduga.

Kali ini aku merasa begitu lemah, Andro bahkan berani menantang rasa takutnya menghadapi sang maut. Sedangkan aku? membayangkannya saja membuatku ketakutan dan mundur. Namun semakin aku mempikirkan apa yang Vina katakana tadi, semakin aku menyadari, dan membuka mataku, bahwa alasan Andro melakukan ini adalah cinta. Cintanya padaku begitu tulus, membuatku merasa rendah dan hina.

Dia baik, dia cakep, dia tajir, dia berani, cintanya tulus, kenapa aku tak kunjung menjawab pernyataannya beberapa hari yang lalu? Tanpa sadar, kugigit bibirku perlahan. Alasan kuatku untuk tak kunjung menjawab perasaannya hanya satu, dan masih sama sedari dulu. Orang yang tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi, orang yang sampai saat ini tidak ada kabarnya. Nino.

Hatiku berbisik untuk membalas perasaan Andro saat ia siuman, otakku sibuk berdoa sambil memberikan alasan mengapa aku harus membalas perasaan Andro. Namun sesaat aku sadar, cinta yang dipaksakan tidak akan berakhir bahagia. Saat menyadari hal itu, liurku terasa menjadi pahit.

Perlahan pintu UGD terbuka, seorang dokter muncul dari pintu UGD "Saudara dari Andro?" tanya dokter itu. Aku dan Vina tersentak dan membeku sesaat. Aku yakin, Vina saat ini sedang menenangkan dirinya sendiri untuk hal terburuk. Begitu pula diriku.

Perlahan aku maju, menjelaskan kondisi kedua orang tua Andro yang sedang bekerja di Eropa, sehingga kedatangan mereka digantikan dengan biaya pengobatan rumah sakit. Bisa kulihat wajah murung dari Dokter. "Lebih baik adik pulang dulu, informasi akan saya berikan selanjutnya setelah data direkap ulang" Jelas dokter itu dengan wajah mendungnya. Kulirik Vina yang ternyata juga melirikku. Sepertinya firasat kami menjeritkan hal yang sama. Ada yang tidak beres.

Menanti Cinta SejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang