Bab 2

232 14 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ya?

______________________________________________

Aku menatap hujan dengan jengkel. Enak banget turun tanpa permisi, aku jadinya sial begini deh. Udah jam lima, tapi masih terjebak di kelas yang sepi. Kesel asli! cepat-cepat aku mengetik HP-ku mengirimkan pesan ke Vina yang rumahnya tidak jauh dari sekolah. Setidaknya dia mau anter payung kali ya? Harusnya tadi aku payungan berdua sama Vina, tapi mau gimana lagi, ekskul PMR mendadak berubah jadwal.

"Kratak!" sebuah suara mengejutkanku. Aku lirik kursi di belakangku dengan horor, tidak ada. Sampingnya? Tidak ada. Vina please yang cepet bawa payungnya.

"Heh! Kok bisa sih kamu ga bawa payung? Kalau aku sih mending ujan-ujanan dari pada nunguin di kelas sendirian gini." Sebuah suara yang sangat Familier melegakanku. Saat mau berbalik, aku melihat uang ku jatuh, yaelah masa uang sepuluh ribu gitu jatuh aku tinggalin? Waktu mau ambil uang aku merasa ada yang janggal. Kok lantai kosong? Engga ada kakinya.

"Vin?" tanya aku takut-takut.

"Iya apaan?" jawab suara itu lagi. Bibirku mengerut ketakutan. Bingung aku mencari ide untuk menyelamatkan diri. Aku segera berdiri dan hendak keluar melalui pintu belakang.

"Mau kemana kamu!" Jerit suara itu luar biasa keras membuat tubuhku bergetar hebat. Aku segera berlari, terus berlari membiarkan tubuhku diguyur hujan. Tanpa memalingkan wajah sedikitpun. Brak! Tubuhku menghantam benda keras dihadapanku dengan kuat. Aku meringis kesakitan, melirik kanan kiri berusaha melihat situasi. Yang kudapati malah Nino yang menatapku dengan heran. Dia yang kutabrak! Bisa kulihat dari bajunya yang basah akibat bertubrukan denganku.

"No! Mau kemana?" Tanyaku buru-buru keingetan pristiwa horor dikelas tadi.

"Kelas." Jawab Nino sambil mengrenyitkan dahi. "Ngapain lari-lari gitu?" Tanya Nino heran.

Cepat-cepat aku menggeleng. "Lebih baik kamu kekelasnya besok aja deh No. Ternyata gosipnya bener! Kelas kita emang ada penunggungnya!" Jawabku dengan cepat.

"Serius ah!" Kata Nino dengan heran. Aku juga baru menyadari kalau aku sudah dipayungi Nino sedari tadi.

"Serius! Barusan, aku diajak omong, waktu liat lantai, ga ada kaki yang napak!" Jawabku sambil menggigil. Nino menatapku penuh selidik, tapi saat melihat mataku yang sungguh-sungguh ketakutan, wajahku yang pucat, dan keadaanku yang sangat payah. Nino akhirnya mengangguk dan memberikan jaketnya untukku.

"Pake aja ga usah banyak protes" suruh Nino saat melihat bibirku terbuka hendak protes. Akhirnya aku mengangguk juga, dan menggunakan jaket itu. Bau khas Nino menyerbak, aku meringis menahan senyum senang yang tiba-tiba muncul. Rasanya hangat sekali.

"Sintia!" Panggil sebuah suara dari pintu gerbang. Aku bahkan masih ketakutan menatapnya, aku perlu memastikan kakinya ada atau tidak. Setelah melihat kakinya menempel di pafing sekolah aku tersenyum lega.

"VINA!!! Lama amat!" Panggilku sambil melambai-lambai. Vina meringis mendengar komentarku.

"Sori, sori." Jawabnya sambil meringis. Kemudian tangannya mengapitku dengan sok mesra.

"Makasih udah jagain eyangku ya No." Ucap Vina pada Nino membuat laki-laki tampan di hadapanku tertawa terbahak-bahak. Mendengarnya aku langsung mencubiti badan Vina, membuat gadis itu langsung memohon ampun.

"Pulang dulu ya No." Pamitku sambil meninggalkan Nino di pintu gerbang sekolah. Dia melambai pelan dan tersenyum. Bibirnya komat-kamit membentuk kalimat "dasar eyang-eyang" membuatku melotot galak, yang k pelototi malah tertawa terbahak-bahak.

***

Sampai rumah, jaket Nino langsung kujemur. Sambil mandi aku berusaha melupakan isiden Vina jadi-jadian tadi. Sengaja Vina enggak kukasih tau. Kalau tahu tu anak ga bakal masuk sekolah besok.

Setelah mandi aku menyesap Jus Apel hangat buatan Bunda yang sudah di campur madu sebanyak-banyaknya. Minuman favoritku semenjak kecil, bahkan saat mendiang Ayah masih ada. Bohong deng, Ayah meninggal kan saat aku masih bayi. Ngaco. Haha

Kutatap langit biru dari jendela kamarku yang besar. Aku paling suka tidur di dekat jendela, nyaman, hangat dan membuat tenang kalau mau tidur. Dadaku sedikit berdesir mengingat pristiwaku dan Nino sepulang sekolah tadi. Rasanya sangat romantis, apa lagi kalau sampai lupa ada manusia yang namanya Dita. Seperti tinggal selangkah mendapatkan Nino. Yah mimpi memang cuma mimpi, enggak bisa diubah menjadi yang lainnya.

Setelah minumku habis, aku meletakkannya di meja dekat tempat tidur, menghela nafas perlahan. Dan memejamkan mata untuk beristirahat.

***

Aku menatap jam beker di sampingku. Mataku melotot, yaelah ni jam lupa tugasnya apa gimana sih? Masa udah jam enam belum bunyi-bunyi? Aku langsung melompat di tempat tidur, berlarian menyusuri kamar mandi, sikat gigi, mandi dan banyak aktifitas kamar mandi yang harus kupotong. Mengingat waktu yang mepet.

Aku segera berlari ke meja makan setelah menggunakan seragam lengkap. Kuhabiskan jus apelku dalam sekali teguk. Bunda cuma geleng-geleng melihat tingkahku. Apalagi saat melihat roti saus saladnya langsung kugigit, dan aku langsung memeluk Bunda. Bibirku yang penuh bergumam tidak jelas, tapi salutnya Bunda bilang "Iya hati-hati". Sebagai jawaban gumaman tidak jelasku.

Saat hendak memasuki kelas dari naik angkutan, aku lupa kalau bibirku masih menggigit roti tadi dengan heboh. Semua orang kontan melotot dan berdecak melihat tingkahku.

"Gila pagi-pagi dah kaya sapi aja!" Komentar Ando teman Nino. Aku melirik kesal, kemudian memilih jalan kembali tidak memedulikan ucapan Ando yang tidak jelas itu. Saat melihat Nino aku merasa ada yang kelupaan. Apa ya?

Seperti ada geledek aku langsung menepuk kepalaku, merasa pikun sepikun-pikunnya. Mungkin aku emang eyang-eyang! "No! Sori, ketinggalan!" Jeritu tertahan, yang punya jaket langsung paham dan mengangguk.

"Santai aja." Jawab Nino sambil tersenyum lucu. Jangan bilang! "Jangan-jangan kamu emang Eyang-eyang ya?" Nah kan! Apa kuduga. Pasrah deh!

"Haha, emang! Sebenarnya umurku udah satu abad loh!" mendengar jawabanku Nino geleng-geleng.

"Dasar eyang-eyang sarap!" Setelahnya Nino tertawa terbahak-bahak, begitu pula aku. Kami sama-sama tertawa, sampai ga sadar kalau keadaan kelas sudah hening.

"NINOOO" pekik suara seorang gadis membuat tawa kami berhenti diudara. Siapa lagi kalau bukan Dita? Aku meringis nggak enak sama Nino. Nino wajahnya langsung keruh dan melewatiku begitu saja.

Menanti Cinta SejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang