BAB 17

271 6 0
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya ya

Suasana rumah begitu sepi, membuatku menjadi bosan. Hah, mungkin karena kebodohanku sendiri yang tidak mau mengikuti Bunda dan mbak Tanti yang pergi berbelanja. Tanpa sadar, tanganku meraba sebuah liontin kupu-kupu di antara tulang selangkaku, begitu menyadarinya aku menghelakan nafasku dengan berat, dan menghentikan gerakan tanganku.

"Tingtong" Bel rumah berdenting, dengan lunglai aku berjalan ke arah kafe untuk membukakan pintu. Saat melihat Nino berdiri di depan, aku segera membukakan pintu dan berhambur kedalam pelukkannya, sekali lagi aku menangis di dalam pelukan hangat dan nyaman dari Nino.

Perlahan Nino mengusap-usap punggungku dan membiarkan mulutku mengisak dengan rancu. Mulai dari bagaimana aku menyayangi Andro, kebohongan Bunda selama ini dan kenyataan pahit antara aku dan Andro, serta bagaimana terakhirkalinya wajah Andro di ingatanku. Wajahnya yang pedih dan tersiksa.

"Sin, Andro udah pergi ke Amerika sekarang." Bisik Nino, sambil mengelus pelan rambutku, mendengar ucapannya tangisanku berhenti sesaat, kemudian kutatap matanya yang teduh dengan penuh rasa ingin tahu.

"Pergi ke Amerka?" tanyaku dengan kebingungan, entah kenapa saat ini otakku terlalu lemah untuk menyerap dan memahami informasi dari Nino. Nino mengangguk perlahan, kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop biru sedang dari saku jaketnya. Aku menatap Nino dan amplop di tangannya penuh tanda tanya. Tapi akhirnya aku melepaskan pelukanku dari Nino, dan menerima amplop biru itu, kemudian aku membukanya perlahan.

Sintia,

Indahnya senyum, tawa, dan pelukanmu, membuatku mendapatkan alasan untuk tetap hidup, meski aku telah kehilangan Mommy. Aku bahkan sampai berfikir bahwa aku tidak membutuhkan apapun dalam hidupku, selain kamu. Karena keberadaanmu yang terus tersenyum, tertawa, dan memelukku dengan hangat, sangat cukup buatku.

Sintia, ah, mengingat namamu, membuat aku mengenang kembali masa SMA kita yang penuh warna. Satu-satunya cewek pembuat keramaian, penuh senyum, penuh keusilan, dan pelontar lelucon yang tiada pernah usai. Aku masih ingat penampilanmu saat kita sama-sama duduk di bangku kelas satu SMA. Rambut indah dan panjangmu dikucir kuda dengan tinggi-tinggi, bola matamu yang coklat membuatku menyukai setiap lekuk dan guratan bahagia disekeliling matamu. Saat aku melihatmu, hatiku yang berdebar, mulai berbisik dengan lembut 'Ah, Dia adalah gadis luar biasa yang patut ku perjuangkan.' Namun saat aku tahu kamu mencintai Nino, aku gentar untuk maju, dan hanya mengawasi gerak-gerikmu dalam diam.

Pernahkah kamu menebak pikiranku saat kamu menarik bunga mawar merah dari genggamanku, di kafe dekat kampusmu? Saat itu aku sangat bersyukur pada Tuhan, bahkan dengan kejam aku bersyukur Nino pergi ke Amerika, dan punggungku tertusuk untukmu. Ya, aku bersyukur bahwa hatiku yang haus akan cintamu telah mendapatkan pelepas dahaga dan rindunya, yaitu perasaanmu yang murni, perasaanmu yang tanpa beban dan penuh kebahagiaan, dan matamu yang hanya melihatku. Aku bahkan sempat percaya takdir telah mempersatukan kita saat itu.

Sampai saat Nino kembali dari Amerika dan menemuimu, atau bahkan saat Nino mengecup lembut bibir mungilmu, dan dapat kulihat kamu membalas kecupannya. Aku merasa kalah pada Nino, bahkan sebelum melakukan perlawanan yang berarti. Sesaat aku meragukan takdir kita. Seperti apa takdir sesungguhnya untukku dan untukmu? Aku masih ingat dadaku yang berdebar dengan kencang, karena takut kehilanganmu. Takut karena pada akhirnya, usahaku, upayaku, dan satu-satunya pencipta bahagia bagiku, akan diambil Nino dengan mudahnya.

Sintia, kamu bahkan tidak tahu betapa leganya aku melihatmu kembali padaku meski hatimu lebih bahagia bersama Nino. Aku bahkan sempat bahagia melihat kilatan rasa bersalah dari mata hitammu, seakan Tuhan menyadarkanku bahwa aku tidak perlu takut jika kamu akan kembali pada Nino. Kamu tidak akan melakukannya, kemu terlalu baik untuk hal itu. Dalam hati aku tertawa lepas, dan bersyukur atas garis takdir yang telah Tuhan berikan. Aku tidak peduli betapa susah dan beratnya hari-hari yang kulalui, yang penting bagiku, adalah hasil yang Indah, yaitu dengan menatapmu menggunakan gaun putih indah, dan berjalan kearahku dihadapan semua orang, kemudian kita akan melontarkan sumpah setia dan janji suci. 'Ya, itu pasti terjadi.' Begitu bisikan yang selalu keluar dari hatiku saat membayangkan gambaran pernikahan kita. Indah bukan?

Namun, kemudian takdir memporak porandakan hati, batin, dan ikatan kita. Aku ditakdirkan untuk menjagamu, melindungimu, menyayangimu, tapi bukan sebagai pasangan hidupmu, hanya sebatas adik kandungmu. Maaf Sintia, aku belum siap menerimanya, belum siap berdiri menghadapi takdri kita. Ya, aku memang seorang pecundang, tapi menurutku, lebih baik bagini. Lebih baik kita saling berpisah daripada saling menyakiti satu sama lain, meski hanya saling bertatap muka.

Kamu cinta pertama dan kekasih pertamaku Sintia, dan aku yakin, akulah pacar pertamamu. Biarkan pengalaman pertama kita sepanjang hidup ini berakhir dengan begini. Meski aku menua tanpa ada seorang wanita disisiku, tapi kisah pahit kita akan membuatku tersenyum meski dengan pahit. Kembalilah pada Nino, kamu tidak menyadarinya? Dialah takdirmu, jangan pernah lepaskan dia, jangan pernah tinggalkan dia. Cintanya tulus padamu, dan aku yakin kamu akan bahagia bersamanya. Dengarkan nasehat adikmu ini! Mengerti?!

The most handsome brother you have

Andro Santosa

Kubaca suart Andro dengan perlahan, berusaha membayangkan bagaimana keadaannya saat ini, bagaimana bentuk wajahnya yang tegas penuh dengan garis kesedihan. Kucengkram kertas di tanganku dengan erat, entah kenapa dadaku menjadi begitu sesak, membuatku susah menarik nafas secara normal. Nino mengeluarkan tisu dari sakunya dan memberikannya padaku. Kutatap Nino dengan sepasang mataku yang pedih.

"No," Bisikku pelan. Kulihat mata indahnya menatapku penuh tanda tanya dan hangat. "Makasih atas suratnya." Ucapku kemudian. Nino tersenyum lebar dan mengangguk menghangatkan. "Kubuatin jus mangga dulu ya?" Tawarku kemudian sambil berjalan ke dapur. Kubiarkan Nino duduk sendirian di Kafe yang sudah lama tutup. Setelah selesai membuat, aku segera kembali sambil membawa satu cangkir berisi jus mangga, melihat senyum Nino yang besar, menyiratkan kebahagiaannya melihatku membawa jus kesukaannya, membuatku tertulari oleh senyumanya.

"Tau ga? Selama di Amerika aku muter-muter cari jus mangga. Ga ada yang bisa bikin sehebat kamu." Certa Nino sambil menerima uluran jus dari tanganku, matanya menatapku hangat, dan bibirnya tertarik dengan lebar. "Pake tumbal ya biar enak?" Tuduh Nino membuat bibirku sedikit tertarik keatas. Entah mengapa saat bersamanya, aku selalu merasa bahagia dan dapat tertawa meski sedang tidak ingin.

"Iya, bentar lagi kamu yang jadi tumbalnya." Gurauku, Nino membalas gurauanku dengan wajah yang terkejut dan jijik.

"Apa? Kamu mau jadiin aku tumbal?" Tanya Nino dengan tidak percaya, aku terkikik perlahan. Tetapi kemudian, wajahnya berubah menjadi serius, bibirnya tertarik dengan lebar. "Ga keberatan sih, kalau tetep bareng kamu." Goda Nino membuatku mendengus geli. Gombalannya jayus banget! Kemudian Nino bercerita pengalaman konyolnya selama di Amerika, ceritanya yang lucu dan wajahnya yang ekspresif membuatku melupakan rasa sakit hatiku. Aku terus tertawa sampai suara kamera HP menyadarkanku. Kutatap Nino yang memegang HPnya yang kusangka sebagai alat pemoto wajahku, dengan tidak suka. Namun Nino membalasnya dengan senyuman hangat.

"Nah, gini dong Sin, Liat kamu gini kan Andro pasti ikut lega." Terang Nino sambil menekan-tekan layar HPnya. Penasaran, aku berjalan mendekati Nino, dan mencondongkan tubuh untuk melihat isi HPnya. Saat, mataku sibuk menyerap Informasi, tiba-tiba bibir Nino yang lembap menyentuh pipiku. Aku segera menatapnya dengan terkejut, tapi Nino hanya membalas tatapanku dengan senyum. "Aku lega Sin, lega liat kamu bisa senyum gini lagi." Bisik Nino. Aku menghelakan nafasku pelan dan membalas senyumnya dengan hangat. "Aku cinta kamu Sin," Bisik Nino sambil mendekatkan wajahnya kearahku. Perlahan bibirnya melumat bibirku dengan lembut, membuatku terbawa kembali ke peristiwa saat pertama kali aku mendapatkan ciuman pertamaku, gemercik air terjun, dan hembusan lembut udara membuatku semakin larut dalam ciumannya.

Kemudian, Nino menarik bibirnya kemballi, aku menatap wajahnya yang menyunggingkan senyum menawan dengan bahagia. Apa benar Ninolah yang Tuhan pilihkan untuk ditakdirkan padaku? Aku perlahan meraih lehernya dan memeluk Nino dengan erat. Pelukannya membuatku melupakan Andro sesaat. "Kuharap kamu takdirku No," Bisikku perlahan, tepat di telinganya.

"Aku juga berharap Sin." Balas Nino dengan suara beratnya yang hangat. Entah kenapa aku begitu merindukan kehangatan tubuhnya, sampai aku lupa, sudah berapa lama aku dan Nino saling berpelukan, sampai Bunda dan Mbak Tanti datang dari acara belanja mereka.

Menanti Cinta SejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang