BAB 12

150 8 0
                                    

(POV Andro)

Aku mengikuti ayah dengan tidak nyaman, saat ini semua pikiranku hanya terpancang pada Sintia. Insiden vas bunga beberapa hari yang lalu. Mengingatkanku akan kemungkinan-kemungkinana terburuk yang bisa saja terjadi padanya saat ini.

"Ada apa yah?" Tanyaku tanpa basa-basi begitu ayah menghentikan langkahnya di depan pintu raksasa berkayu tebal. Aku ingat saat kecil aku dilarang untuk menginjakan kaki diruangan itu. Lantas mengapa Auah mengajakku kesini? Ayah tidak menjawab pertanyaanku dan mulai membuka pintu yang berderit dengan kasar.

"Ada satu anak lagi yang ayah harap kamu dapat menemukannya." Jelas Ayah membuatku mendengus kesal entah sudah keberapa kalinya ayah menintaku menemukan putra-putrinya di penjuru dunia.

"Apa dia anak selingkuhan Ayah yang baru? Berapa umur Ayah sekarang." Sindirku dengan suara yang dingin. Ayah terlihat lelah dan menggeleng perlahan.

"Bukan Ndro, dia anak pertama Ayah. Putri dari seorang wanita yang sampai sekarang tidak dapat Ayah lupakan." Bisik ayah dengan suaranya yang rindu.

"Apa yang kudapatkan kali ini jika aku berhasil menemukannya?" Tantangku dengan berani. Berharap dengan demikian Ayah mengurungakn niatnya untuk menyryhku mencari putri pertamanya itu.

"50% harta kekayaan Ayah, akan Ayah berikan padamu." Putus Ayah tanpa berfikir terlebih dahulu. Membuatku membisu. Seberapa pentingnya putri Ayah yang satu ini?

"Kenapa tidak sewa detektif saja?" Tanyaku dengan dingin. Ayah mendesah penuh sesal.

"Ayah hanya ingin kamu akrab dengan putra-putri Ayah yang lainnya. Lebih mengenal mereka. Sebab kamu satu-satunya putra yang Ayah sayangi." Bisik Ayah sekali lagi. Wajahnya terlihat begitu mendertia. Tetapi hatiku tak luluh karenanya.

"Apakah, cara menunjukkan sayang yang Ayah sebut-sebut tadi dengan menelantarkan Mommy? Bijak sekali." Desisku dengan penuh kebencian. Ayah menghelakan nafasnya tanda lelah berdebat denganku. Perlahan ia mengeluarkan kertas dari laci kerjanya dan menyodorkannya padaku. Kutatap kertas using yang menggambarkan sebuah liontin kupu-kupu dengan batu sapphire biru di bagian sayapnya.

"Cari putriku, seorang gadis dewasa yang memiliki kalung ini." Printah Ayah kemudian. Aku menatap matanya dengan meneliti, seakan ingin membaca tatapan ragu dan sedih dari mata coklatnya, tetapi yang kutemui hanya kesungguhan dan permohonan darinya. Aku mendecak frustasi.

"Berapa umurnya?" Tanyaku kemudian. Ayah tersenyum agak lega melihat tanda-tanda perdamaian dariku.

"Sebaya denganmu" Ungkap Ayah kemudian. Membuat keningku mengrenyit tanda tidak suka.

***

Aku meneliti kerumunan dengan heran. Aku ingat dengan jelas, kalau aku meninggalkan Sintia di sini. Tapi, kemana sekarang dia pergi? Kulirik kerumunan yang disesak oleh orang-orang tidak kukenal dengan kesal.

"Hai Ndro." Sapa seorang wanita kepadaku. Aku tersenyum pura-pura peduli pada wanita itu meski pikiranku sedang ribut mencari-cari Sintia. "Lagi cari apa?" Tanya wanita tadi dengan nada yang dibuat prihatin. Aku nyaris muak mendengar suaranya.

Karena tidak kunjung mendengar jawaban dariku, wanita itu mendecak dan tersenyum dengan sinis. "Calon istrimu tuh wanita penggoda ya?" Tuduhnya tiba-tiba membuatku menatapnya penuh amarah. Melihat tatapanku, wanita itu tersenyum simpul penuh rahasia.

"Aku melihatnya berpelukan dengan seorang pria di depan." Jelas wanita itu sambil menunjuk teras depan. Aku menatapnya tidak percaya dan segera berjalan ke teras depan. Hendak membuktikan bahwa ucapannya salah. Begitu sampau di teras mataku berhenti pada sosok pria yang memeluk Sintia yang sedang menangis tersedu-sedu.

Aku berjalan mendekati mereka dengan geram. Hendak memisahkan mereka berdua dan berharap Sintia dapar menjelaskan padaku pristiwa yang baru saja terjadi sebelum emosiku terlanjur memuncak.

"No, kamu jahat! Kamu kejam! Kukira kamu engga bakal pulang!" Isak Sintia membuatku mematung sesaat. Kutatap punggung ramping dan tegap milik seorang pria yang dipanggilnya dengan "No". Aku mengertukan kening berusaha menebak siapa pria itu.

Begitu menginga pristiwa satu tahun yang lalu, saat sahabatku pergi ke Amerika demi gadis yang dicintainya, membuat dadaku berdesir dengan hebat. Desiran penuh ketakutan akan kehilangan Sintia.

Aku ingat dengan jelas bagaimana Sintia sering meneleponku berharap aku bertemu dengan Nino selama di Amerika. Selanjutnya bisa kudengar helaan nafas penuh kesedihan darinya saat aku selalu memberi jawaban yang selalu sama padanya, 'Aku tidak menemukan Nino, Sin. Maafin aku'

Sampai akhirnya Sintia berjuang mati-matian melupakan Nino, dan aku berjuang mati-matian memperoleh hatinya. Dan kini, dengan mudah Nino merebut Sintia kembali. Kulihat Nino menarik dagu Sintia dengan lembut. Perlahan wajahnya mendekati wajah Sintia yang masih berburai air mata.

Nino mengecup lembut bibir Sintia , bisa kuliaht waha Sintia tampak terkejut. Namun setelahnya, Sintia menutup matanya dan membalas ciuman dari Nino. Melihatnya hatiku tercabk. Perutku serasa diaduk-aduk, sehingga memperburuk suasana hatiku.

Betapa mudahnya Nino merebut Sintia dariku. Betapa mudahnya dia memperoleh Sintia kembali dari usahaku yang berat? Aku mendesah dengan berat, berusaha melepas sesak di rongga dadaku. Kemudian aku berjalan masuk kembali kedalam ruangan, berusaha memejamkan mata dan berlagak tidak melihat apapun, meski hatiku menyerukan hal sebaliknya.

Menanti Cinta SejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang