BAB 14

153 6 0
                                    

(Author POV)

Langit telah menggelap, menunjukkan betapa larutnya saat ini. Seorang Pria paruh baya, sedang berdiri menghadap kaca jendela, salah satu tangannya menggenggam telepon kabel dan tangan yang lainnya mengurut dahinya secara perlahan

"Aku ingin kamu menemukain identitas gadis itu." Printah Pria tua itu dengan suaranya yang berat, entah kenapa kali ini firasat membuatnya berfikir dengan kalut. Bukan tipikal dirinya yang biasanya. "Aku hanya takut jika dia anak Amanda." Ucap Pria itu kembali, kali ini matanya basah. Isi kepalanya terisi oleh sosok seorang wanita muda seumuran putra yang ia sayangi. Walau dia tidak mengetahui latar belakang gadis itu, tetapi kecantikannya begitu serupa dengan Amanda, istri pertamanya, dan itulah yang membuatnya resah sedari tadi.

Terdengar tawa renyah dari sebrang. "Memang kenapa kalau dia anak Amanda Santosa? Bukankah bagus? Putramu sudah begitu mengenalnya! Mereka pasti akrab." Terang seseorang di seberang dengan suara yang ceria, tetapi Santosa meneguk liurnya dengan susah payah. Baru pertama kali ini sepanjang hidupnya, ia menyesal telah menelantarkan putra-putrinya.

"Masalahnya Ros, putraku begitu mencintainya." Bisik Santosa dengan helaan nafas yang berat. Ia mengurut dadanya sambil menghelakan nafas, berharap dengan demikian, sesak didadanya dapat menghilang.

"Astaga! Akan segera kuselidiki. Kuharap jawabannya tidak benar." Jawab suara diseberang dengan buru-buru, suaranya penuh akan sarat kecemasan.

"Baiklah, terimakasih Rosi." Jawabnya dengan berat. Kemudian Santosa mematikan teleponnya dan duduk di bangku kerjanya dengan pandangan yang kosong. Pikirannya terpancang akan pristiwa lima bulan yang lalu saat putranya sedang menjalani pengobatan di Amerika.

"Ada seorang yang begitu kusukai." Ucap putra laki-lakinya dengan menerawang, bibirnya tertarik begitu membayangkan wajah gadis entah siapa itu.

"lantas?" Tanya Santosa tidak begitu paham. Apa putranya ingin segera menikahi gadis itu? Sehingga dia diberitahu saat ini?

"Aku harap Ayah merestui hubungan kami cepat atau lambat. Dia bukan gadis istimewa di mata orang lain. Tetapi istimewa di mataku, saat ini dia sedang tidak menyadari perubahan perasaannya padaku. Tapi aku tidak akan melepaskannya." Bisik putranya dengan serius dan sungguh-sungguh. Santosa tersenyum hambar

"Tentu Ayah akan merestuimu.Ayah pasti merestuimu." Bisik Santosa dengan tenang, kemudian tangan hangatnya mengacak rambut putranya.

Jika memang gadis yang dibawa putranya tadi adalah anak Amanda dan dirinya, entah akan seperti apa sikap putranya selanjutnya. Pasti, pasti putranya akan membenci dirinya, dan tidak akan memaafkan dirinya. Lantas apa yang harus ia perbuat? "Tenang saja Santosa, hasilnya belum keluar." Bisik Santosa didalam hatinya, tetapi otaknya menyerukan hal sebaliknya. Ia tidak peduli akan hasil dari kertas itu, sebab hasil dari pindaian matanya sudah sangat meyakinkan. Gadis itu adalah putrinya.

***

"Woy, pesen jus mangganya satu." Pesan seorang pria muda dengan riang. Sintia menghelakan nafasnya dengan berat dan tersenyum hambar.

"Hai No. Bentar ya, lagi banyak antrian." Jawabku dengan suara yang kubuat seriang mungkin, meski terdengar sebaliknya.

"Oke, sekalian bareng ke universitas gimana?" Tawar Nino kemudian, kutatap wajahnya yang tersenyum dengan senang. Bibirku kelu, ingin sekali aku menjeritkan isi hatiku, tetapi otakku meneriakkan sebaliknya.

"Aku sudah punya pacar loh No." Bisikku dengan sangat pelan, seakan kalimat itu kuharap tenggelam di tengah hiruk-pikuk pengunjung. Namun Nino tetap dapat mendengar suaraku.

"Hahahaha.. Santai dong Sintiaku. Inikan sebagai tanda persahabatan." Jawab Nino dengan senyumnya yang mengembang, tapi bagiku senyumnya terasa janggal. Ah, mungkin firasatku. Namun kemudian, hatiku terasa teremas mengingat jawabannya. "Persahabantan" bukankah harusnya begitu? Kenapa aku berharap lebih.

"Ini jusnya." Ucap mbak Tanti yang Tiba-tiba datang sambil membawa jus mangga, kesukaan Nino. Aku tersenyum seadanya sambil memberikannya kepada Nino.

"Ehm, biar aku siap-siap dulu." Seruku kemudian, sambil berlari menuju pintu rumah. Saat pintu tertutup, mataku membasah. Kenapa akhir-akhir ini kamu cengeng Sintia? Kenapa? Aku menepuk dadaku dengan perlahan, berharap dengannya pikiran kalut dan sesak di dadaku lenyap tanpa bekas.

Begitu sudah tenang, aku segera berlari ke kamar, menggunakan pakaian senyamannya, tiba-tiba mataku menangkap jaket berwarna biru tua dengan garis berwarna merah. Aku meneguk ludahku dengan susah payah. "Saat ini adalah saat yang tepat untuk mengembalikannya." Bisik hatinya dengan pelan. Tetapi, aku berusaha tidak menghiraukan isi hatiku, dan membiarkan jaket itu tetap di lemari. Berlagak seakan tidak melihat jaket itu di almari. Jaket yang membuatnya teringat akan pristiwa masa lalunya disekolah, saat hujan sedang berjatuhan. "Biarlah untuk sementara waktu jaket ini tetap di sini." Bisik hatiku yang lainnya. "Iya, seperti perasaanmu saat ini." Lanjutnya kemudian.

***

Saat kami semua sedang sibuk memikirkan isi dari kertas-kertas yang berserakan di atas lantai, tiba-tiba seseorang menepuk lembut pundakku. Aku memutar kepalaku mencari-cari siapa yang menepuk pundakku. Aku sedikit mengrenyit melihat wajah Andro yang kacau di hadapanku.

"Ada apa Ndro?" Tanyaku kawatir. Semua orang di kelompok kami mengalihkan pandangan dari leptop mereka dan menatap kami dengan ingin taku.

"Aku pinjem Sintia bentar boleh?" Tanya Andro kemudian kearah teman sekelompokku. Kulirik Nino yang duduk di samping Tisya tersenyum hangat, seakan mempersilahkan. Akhirnya aku mengemasi barangku dan mengikuti Andro masuk kedalam mobil mewahnya.

"Ada apa Ndro?" Tanyaku kembali, tapi Andro hanya diam saja dibangkunya, sambil menyetir menelusuri jalanan. Tiba-tiba mobilnya terparkir di pinggir jalan yang cukup sepi dan rindang. Karena tidak mengenali tempat ini, aku mengrenyit heran.

"Kita mau kemana sih?" Tanyaku kemudian, aku mengalihkan pandanganku dari jalanan dan menatap Andro yang terlihat sangat tertekan. Akhirnya aku pasrah dan memilih menunggu. Sampai Andro tiba-tiba menarik lenganku, membuatku terjatuh di dalam pelukannya. Perlahan wajahnya mendekatiku, membuatku kelimpungan berusaha melepaskan diri.

"Aku ingin sekali mengecup mu Sin. Kenapa kamu mengelak?" Bisik Andro dengan suaranya yang berat dan tertekan membuat hatiku tersayat-sayat, air mata bergulir perlahan dari mataku.

"Engga Ndro, kamu boleh cium bibirku kalau kamu mau." Bisikku kemudian, tetapi Andro mengrenyitkan dahinya seakan begitu kesakitan akan ucapan dan tingkahku. "Maafin aku Ndro, tadi kamu begitu tiba-tiba." Jelasku kemudian dengan kacau. Tetapi Andro tetap membisu sambil memandangi wajahku yang hanya berjarak beberapa centi saja.

"Engga Sin, aku udah ga bisa ngelakuin hal itu tanpa beban lagi." Bisik Andro sambil melepaskan pelukannya dariku. "Malah menjijikan jika aku melakukannya." Lanjut Andro ranju membuatku mengrenyit tidak paham.

"Kamu ngomong apa sih Ndro?" Tanyaku kemudian. Andro menggeleng dengan pahit.

"Kamu adalah kakakku Sin." Ungkap Andro kemudian membuatku membisu di tempat, membuat bibirku terkatup rapat-rapat, dan otakku berputar dengan begitu cepat.

"Kamu lagi bercandakan?" Tanyaku kemudian tetapi Andro hanya terdiam di bangkunya dengan matanya yang basah

Menanti Cinta SejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang