BAB 16

176 11 0
                                    

Readers, tolong beri vote dan komentarnya ya,

(Sintia)

Aku masih mematung di tempatku, masih membisu dengan hatiku yang berat. Entah karena keterkejutanku atas kenyataan yang Andro berikan, atau rasa sakitku atas Bunda? Sedikit frustasi aku berjalan masuk kedalam kafe. Kulihat Bunda sedang memberikan pesanan kepada seseorang.

"Bun," Panggilku lirih, kulihat Bunda yang terkejut melihatku

""Ada apa Sintia?" Tanya Bunda kawatir, wajahnya terlihat bingung dan bimbang. Aku hanya mematung di tempatku dan membisu, bagaimana aku menanyakan semua ini?

"Tiba-tiba Andro bilang kalau aku adiknya? Apa maksudnya Bun?" Tanyaku kemudian, tidak bisa kucegah air mata yang mulai bergulir menuruni pipiku. Wajah Bunda terlihat mengeras. Aku terus menatapnya seakan menanti jawaban.

"Lebih baik kita bicarakan di dalam." Putus Bunda sambil menyuruh mbak Tanti menggantikan tugasnya. Kemudian Bunda menggiringku ke kamarnya dengan wajahnya yang keruh. Setelah sampai di kamarnya, aku dan Bunda duduk di ranjangnya, dan Bunda mulai bercerita.

***

20 Tahun yang lalu

Seorang wanita berumur 23 tahun berdiri di depan sebuah rumah sambil menatap takjub. Bibirnya tertarik dengan lebar dan penuh kebahagiaan. Benar, tempat ini akan menjadi tempatnya memulai bisnis, bisnis yang ia harapkan sedari dulu bersama dengan suaminya. Yah, walau suaminya juga orang kantoran, tapi dia yakin usaha ini akan membantu ekonomi mereka nanti.

Segera dia memotret rumah itu dan cepat-cepat berjalan menuju halte bus. Tiba-tiba kepalanya terasa begitu pening, seakan ada yang menusuk-tusuk kepalanya menggunakan jarum. Wanita itu mencengkam tiang halte dengan erat, menopang tubuhnya yang nyaris limbung. sebagian orang menatapnya penuh tanda tanya, tetapi ia tidak peduli.

Pandangannya saat ini sendang blur. ah sepertinya ini pertanda bahwa dirinya akan segera pingsan. Disekanya kringat-kringat yang bergulir dengan deras di dahinya. Dia tidak bisa pingsan di sini. Ia tidak boleh pingsan di tempat seperti ini. Namun, pikirannya, tidak sejalan dengan tubuhnya yang lemah. Sehingga begitu saja tubuhnya limbung di Halte, membuat semua orang memekik histeris.

Wanita itu membuka matanya sayup-sayup. Lampu rumah sakit yang menyilaukan membuat nyeri di kepalanya semakin menjadi. Dijelajahinya seluruh ruangan sampai matanya menemukan seorang pria yang begitu ia kenali dan kasihi.

"Santosa," Bisik wainta itu dengan suaranya yang lega bercampur bahagia. Sudah lama ia tidak bertemu dengan suaminya yang harus pergi ke luar negeri secara terus-menerus karena tunuttan pekerjaan. Perlahan Santosa mendatangi ranjang dimana istrinya tertidur, kemudian ia mengecup lembut dahi wanita itu.

"Makasih sayang, kamu udah kasih aku kado yang spesial." Bisik Santosa dengan suaranya yang penuh kasih. Istrinya menatap Santosa tidak mengerti.

"Apa yang kamu katakan?" Tanya Istrinya kembali sambil mengrenyit heran, membuat Santosa mengulum senyum penuh kebahagiaan.

"Kamu hamil Amanda. Kamu hamill" Seru Santosa membuat Amanda tersenyum dengan lebar, refleks tangannya mengusap perutnya yang sedikit membesar dari sebelumnya. Ternyata dirinya tidak gendutan, ternyata dirinya telah mengandung seorang bayi.

"Santosa!!" Pekik Amanda penuh bahagia, sambil memeluk suaminya dengan hangat. Santosa membalas pelukan Amanda dengan erat.

"Lebih baik kita belanja keperluan untuk mu dan anak kita sekarang." Bisik Santosa membuat Amanda mengangguk setuju.

Menanti Cinta SejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang