BAB 11

187 6 0
                                    

"Cantik sekali," bisik seorang wanita tua sambil menatapku. Matanya menelitiku dengan detail, seakan dia ingin membaca dan membongkar isi dari pikiran dan watakku. Hatiku terenyuh menatap wajahnya yang tersenyum dengan letih, tangannya yang terlalu kecil dan ringkih menggengam erat lenganku. Semua sikap baiknya, membuat hatiku terharu di saat yang bersamaan.

"Ndro," Panggil wanita itu dengan suaranya yang pelan dan lelah.

"Apa Mom?" tanya Andro sambil mendekatkan tubuhnya kearah wanita itu. Sekarang aku dapat mengerti dari mana Andro mendapatkan mata terangnya. Ternyata mata terangnya ia peroleh dari wanita timur tengah ini, wanita yang difonis terkena kangker payudara, dan hanya menunggu waktu sampai ajal menjemputnya. Walau sakit, sayu, dan berantakan. Tapi bekas kecantikan Mommynya Andro tidak pernah sirna. Semua bagian dari wajah Andro begitu serupa dengan Mommynya. Ngomong-omong aku sekarang seperti Andro ya? Beda Ibu beda panggilan.

Pantas saja Mamanya Andro tidak mirip dengannya, pantas juga tiada kerut di wajahnya yang kencang dan cerah. Mamanya Andro adalah istri terakhir dari Ayah Andro yang kabarnya sudah menikah berkali-kali. Jadi penasaran, seberapa keren Ayah Andro sampai semua wanita bertekuk lutut dibawahnya.

"Ayahmu punya kebiasaan unik," Ucap Mommynya Andro sambil sesekali menyunggingkan senyum bahagia, mengenang masa lalu. "Dia selalu memberi tanda pada anak-anaknya." Cerita Mommy Andro lagi. Kemudian, dia melepas ikatan dari kalung yang menggantung dilehernya dengan perlahan dan memeberikannya kepada Andro. Andro menatap liontin berbentuk bola dengan membisu, diliriknya bagia belakang liontin yang berisi ukiran berbentuk huruf "S"

"S, Santosa, itu insial dari ayahmu." Cerita Ibu Andro kembali. "Dan dia memberikan kalung berbentuk kupu-kupu jika anaknya perempuan. Tapi tidak pernah dia melupakan inisial S dibalik setiap liontin yang dipesan dan didesainnya." Ungkap Mommy Andro kembali membuatku melihat tatapan Andro yang nanar. Kurang lebihnya, aku dan Andro sama. Sama-sama tidak memiliki kenangan dengan sosok yang disebut Ayah.

"Aku akan menyimpannya selalu Mom." Bisik Andro sambil mengecup lembut dahi wanita itu. Wanita itu tersenyum dengan lega, beberapa saat kemudian bunyi alat pendeteksi detak jantung terus berbunyi tanpa terputus. Genggaman erat di lenganku melonggar, membuatku tersentak dengan dadaku yang berdebar keras, aku berusaha melihat monitornya yang menunjukkan garis lurus. Aku segera berdiri dari tempat dudukku dan mendekap tubuh Andro yang bergetar hebat. Ia tidak terisak, ia hanya diam, namun tubuhnya bergetar dan matanya basah. Apa sesulit ini jika seorang pria sejati menangis? Melihat caranya menangis hatiku tersayat dengan dalam. Air mataku mengalir bersamaan, perasaan Andro tertumpahkan, dan dengan jelas terasa olehku.

***

"Woy! Kemarin asal kabur aja!" Grutu seorang pria yang merupakan salah satu dari anggota kelompokku, aku tidak mengurusi ucapannya, hanya membisu di tempatku sambil mengerjakan tugas. Pria itu mendengus melihat tingkahku membalasi ucapannya.

"Apa yang kau lakukan kemarin hah? Pacaran? Emang pacaran bisa kasih kamu makan?" Serunya penuh amarah, membuat beberapa anak di kelompok kami menatapku dengan takut.

"Lebih baik kamu diem aja. Aku lelah." Desisku dingin, dapat kulihat dari ekor mataku, bahwa pria itu membuka mulutnys hendak membalas ucapanku. Tetapi semua orang disana langsung melarangnya berkata-kata. Seseorang berbisik mengenai bencana yang dialami oleh Andro (menurutku sih). Sehingga pria itu mengurungkan niatnya, dan memilih mengerjakan tugasnya kembali.

HPku bergetar singkat, kubuka pesan singkat yang dikirim oleh Andro. "Jangan mampir dulu ya?" Pintanya, aku tahu dia memintaku untuk jangan mampir untuk kebaikan diriku. Sekali lagi hatiku terkoyak, perasaan sedih terasa di dalam rongga dadaku. Apa perasaan ini akan lebih parah saat aku kehilangan Bunda?

Menanti Cinta SejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang