Happy reading guys
***
Pukul 6 sore persis Dissa berdiri di depan pintu kamarnya, menekan 6 digit pin masuk.
Sudut bibirnya berkedut melihat sepasang sepatu sandal familiar di kepalanya terpampang rapih diatas rak.
"Udah pulang?" pertanyaan itu retoris tak ada jawaban yang keluar dari bibir tipis Dissa, karena gadis itu justru menatap tak santai orang yang berbaluk celemek seolah orang itu baru saja selesai masak atau memang begitu nyatanya.
"Ngapain disini?" Dissa bertanya dengan nada datar, Orang itu terkekeh kecil melepas celemek yang dia kenakan. "Mampir, gue udah buatin lo makan malem tuh diatas meja."
Orang itu mengambil tas selempang nya "Gue pamit pulang dulu." ucapnya tersenyum sebelum berjalan ke sisi Dissa memasang sepatunya.
"Kenapa?"
"Karena udah mau mal–"
"Kenapa lo masih peduli sama gue Arissa Amora?" Gerakan memasang sepatu Rissa sudah selesai dia berdiri tegap menatap Dissa yang juga sedang menatapnya.
"Gak ada alasan lain selain karena lo adik sekaligus kembaran gue Adissa Amora." ucapnya, menepuk dua kali pundak Dissa dan tanpa mendengar suara kembaranya dia berjalan keluar.
Air mata Rissa luruh sesaat dia menutup pintu apartemen, tubuhnya merosot terduduk dilantai berusaha sekuat mungkin menahan isak.
Dia ingin seperti orang-orang yang hidup akur bersama adiknya, tapi dia tidak bisa karena seperti ada sekat antara dirinya dengan Dissa.
Adiknya yang tidak akan tinggak diam kala dirinya diganggu oleh siswa lain saat masih menduduki bangku sekolah dasar. Rissa rasanya merindukan masa masa itu sebelum mereka lanjut ke jenjang sekolah menengah pertama. Saat dirinya belum meraih medali lantaran memenangkan olimpiade fisika tingkat nasional.
Kala itu masih jelas dibenaknya melihat Dissa menangis setelah dibanding-bandingkan dengan dirinya. Dissa yang hanya memperoleh hasil ulangan dengan nilai 75 dan dirinya angka satu nol nol yang ditulis besar seolah memamerkan angka itu.
Rissa masih menangis dalam diam didepan pintu Apartemen Dissa sebelum akhirnya sebuah suara mengejutkannya.
"Lo baik baik aja?" Rissa tertegun suara yang sangat familiar ditelinga nya tidak mungkin, dia salah dengar suara itu–
"Hey?"
–suara Theo pentolan SMA Pelita
Rissa beranjak berdiri mengusap jejak air mata yang sudah berhenti mengaliri kedua pipi cewek itu.
"Gak pa pa." ucapnya, tersenyum siapapun yang melihat itu pasti akan tahu itu palsu.
"Ikut gue cari makan?" itu tujuan awal Theo keluar dari kamar apartemennya dan mencari makan diluar sebelum akhirnya bertemu dengan Rissa yang menangis.
Rissa mengangguk mengiyakan. Mereka berdua berjalan keluar menuju basement tempat sedan putih milik Theo terparkir.
Siapa sangka sejak malam itu hubungan keduanya semakin dekat memantik perhatian dari sahabat kedua orang itu.
.
Malam harinya hujan deras mengguyur kota Jakarta awan hitam menutupi indahnya malam sehingga bintang bintang tidak bisa menapakkan dirinya.
Di kamar Ivone merasa gemetaran takut bayang-bayang hantu tadi masih tertangkap jelas di ingatannya. Ditambah suara gemuruh semakin membuat suasana mencekam.
Tidak ada orang rumah selain Ivone dan para pembantu. Tapi mereka semua pasti tengah berdiam diri bergelung selimut juga seperti Ivone.
Daddy nya sedang menghadiri acara bisnis dan Nando yang sedang pergi kumpul dengan teman-temannya. Dia sedikit menyesal menolak tawaran Nando yang memintanya ikut daripada dirumah sendirian tapi tadi jiwa jiwa rebahan Ivone mensominasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVONE
Teen FictionJustru hidup yang tenang adem ayem biasa aja bikin bosen, monoton. Tapi Ivone juga gamau mikir yanh berat berat, jadi mending mikirin Arka aja. Cowok keren dengan seribu pesonanya, siapa yang gak kenal Arka si ketua basket juga aktif sosmed pengikut...