Part 19

130 12 0
                                    

TOMATO ORANGE




Di saat hari libur begini, lebih enak jika berbaring santai sambil membaca manga atau menonton tv yang biasanya dipenuhi acara masak-masak, mendorong seseorang untuk mencoba-coba membuat masakan yang ditonton, atau malah lebih memilih memesan masakan cepat saji. Ditambah dengan sinar matahari yang tidak begitu terik, angin sepoi-sepoi....ah, surga....

TAPI!!

Disaat begini!, ekspetasi yang selalu diharapkan selalu kalah dengan realita yang ada!

Naruto menghela nafas. Entah sudah keberapa kali dia menghela nafas begini, tapi yang jelas Naruto merasa jengah dan bosan. Ingin segera menyudahi kerja sambilannya kali ini.

Sudah tau kan, Naruto bekerja sambilan di sebuah minimarket?. Tiap satu bulan sekali, di waktu yang tidak ditetapkan juga, salah satu pegawai diharuskan untuk membuat laporan keuangan sederhana yang tentunya sesuai dengan S.O.P minimarket itu. Yah...Naruto sih tidak masalah mengenai hal itu, toh sudah ada contohnya pula kan?. Tapi masalahnya, dia ini masuk shif malam, yang orang yang seharusnya bertanggung jawab untuk laporan ini adalah teman shif-nya yang masuk pagi!!!. 

Sumpah!. Naruto sebelum masuk tadi malam sudah harus mengerjakan tugas fisika yang membuatnya pusing tujuh keliling. Ditambah belum sempat makan malam gara-gara otaknya yang lambat menghitung rumus, bertemu beberapa konsumen yang menyebalkan, dan ini harus membuat laporan lagi!. 

Untungnya dari semua itu, Menma akhir-akhir ini mudah dia rawat dan tidak rewel saat dia suapi makan minum. Naruto sangat berterima kasih dengan oba-san tetangganya, yang selalu menunjukkan ekspresi senang ketika waktunya Menma dititipkan. Hah...Naruto tidak tau lagi harus bagaimana jika dia tidak punya tetangga seperti beliau.

"Maaf Uzumaki-kun...aku terlambat."

Naruto yang sudah dilanda ngantuk berat hanya melirik tajam. Yang dilirik menunduk sambil meminta maaf kembali.

"Kamu sengaja kan?."

"Ti-tidak, sungguh!. Aku minta maaf, Uzumaki-kun!" sosok itu membungkuk, hampir saja melakukan dogeza , tapi tidak jadi begitu melihat lantai yang semi basah habis di pel Naruto beberapa saat lalu.

"Selesaikan ini. Aku mau pulang"

"B-baik!. serahkan padaku!." Naruto melenggang melewati temannya (memang masih bisa disebut teman?) itu dengan ekspresi kusut tidak karuan. "....t-terima kasih Uzumaki-kun!. Hati-hati..." Naruto tidak menyahut apapun, langsung mengambil tas di loker tanpa berganti baju. Hah....sepertinya aku harus ganti kerja sambilan...


*


Sasuke mencoba untuk menatap dirinya sekali lagi di depan cermin besar kamarnya. Masih sangat dia ingat seperti apa ekspresi ayah dan ibunya begitu melihat dirinya baru pulang. Mata mereka seperti akan copot dari tempatnya begitu sosok Sasuke berjalan lambat-lambat. Sebenarnya ini pengalaman baru dan pertama kali bagi Sasuke. Sepanjang perjalanan menuju pulang dia terus saja menunduk antara malu dan takut dianggap aneh, makanya dia mempersiapkan masker dan topi hitam untuk itu.

Tapi apa memang aneh ya?

Sasuke bahkan tidak yakin dengan penampilannya sendiri. Padahal sudah berkali-kali lihat di cermin, Sasuke masih belum bisa menentukan apakah dirinya sekarang tampak lebih baik atau buruk.

Yang Sasuke pedulikan hanyalah bagaimana tanggapan Naruto nanti. Apakah safir itu nantinya akan menatap jijik, kagum?. Atau...atau...

Sasuke meringkuk di lantai, bersandar pada sisi ranjangnya seperti posisi kepompong. Sasuke pastinya akan merasa begitu menyesal sekaligus frustasi jika apa yang dia lakukan ini bisa membuat Naruto menjauh darinya. Hal ini lebih penting, ketimbang kehilangan beberapa puluh ribu yen untuk potong rambut dan make over sana sini. Toh selama ini, yang benar-benar tulus padanya hanya Naruto.

Atau....aku beri kabar?. Kirim pesan?.

Sasuke berbalik, meringkuk ke ranjang menutupi wajahnya ke bantal, berteriak. Sungguh, hal ini membuatnya kepikiran...

Seakan tersadar sudah berkecimpung di dunia sendiri, Sasuke kembali ingat jika besok ada tugas yang harus dikumpulkan, dan cerobohnya belum dia kerjakan sama sekali. Sudahlah, sepertinya juga...Naruto bakal tertawa habis-habisan besok.. Sasuke bergerak cepat menuju meja belajar, mengorek-orek isi tas, menemukan cepat buku yang dimaksud.

Pikirannya harus fokus untuk sementara ini, mengesampingkan hal yang belum pasti terjadi barusan, menutupnya sebentar agar tidak mengganggu konsentrasinya.

TOK...TOK....

Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok Mikoto sang ibu yang masuk perlahan.

"Nak, ibu bawakan melon..."

Sasuke menoleh, tersenyum dan mengangguk.

"Terima kasih, taruh saja di meja bu."

Mikoto mengangguk mengerti, meletakkannya diatas chabudai kamar Sasuke. Mikoto terdiam sebentar setelah menaruh sepiring potongan buah melon disana. Matanya menatap lurus ke arah punggung sang anak yang serius belajar.

"Apa....ada seseorang yang kamu sukai?"

Tak ada respon, tapi Sasuke menoleh putus-putus dengan ekspresi kaget. Mikoto ingin tertawa melihat rona merah itu muncul.

"Da-dari mana ibu-....."

"Hm~"

Mikoto tersenyum lebar, kelihatan begitu senang melihat salah satu putranya memasuki puber diumur segini, yang seharusnya bisa dikatakan terlambat.

"Apa cantik?, manis?..atau..?. Bagaimana dengan sikapnya?. Riang?, pemalu?..."

"Ibu..."

Mikoto tertawa pelan. Anaknya tampak begitu panik, dengan tanda wajah memerah sampai leher. Sebenarnya sudah lama Mikoto ingin mencoba percakapan seperti ini dengan sang putra, rasanya lebih santai dan keduanya menjadi dekat karena interaksi dari hati ke hati. Dan butuh berapa lama Mikoto menunggu moment seperti ini?. Cukup lama. Si ibu yang sudah hampir memasuki usia setengah abad ini sempat khawatir, apakah Sasuke punya cukup teman?. Apakah anaknya ini punya ketertarikan dengan lawan jenis?. Apakah Sasuke nantinya hanya akan mendedikasikan hidupnya untuk kerja?.

"Ibu hanya ingin tau..." Mikoto duduk perlahan di tepi ranjang, menatap Sasuke yang kali ini lebih ekspresif. Kelihatan...sangat ekspresif. Mikoto tidak meragukan turunan gen-nya yang dari neneknya dulu selalu dikenal berparas rupawan. Bahkan begitu juga dari pihak suami. Tapi baru kali ini dia menemui kasus langka, dan itu terjadi pada anaknya. Anak keduanya ini bisa dibilang kutu buku, suka memanjangkan rambutnya seperti tidak terurus, meski prestasi gemilangnya di sekolah menjadi perhatian dari keluarga besar. Si Sasuke Uchiha ini, si Sasuke Uchiha itu. Mungkin jika sang sulung tidak menghilang tiba-tiba, maka Sasuke kecil tidak akan tumbuh menjadi seperti ini. Mikoto yakin Sasuke akan tumbuh menjadi primadona sekolah, sering mengajak teman ke rumah, selalu berinteraksi dengan dirinya dan sang suami di rumah.

Mikoto bukannya kecewa atau apa. Hanya merasa senang saja dengan keberanian Sasuke hari ini. Akhirnya Sasuke bersedia berubah sedikit, lewat potong rambut ini.

" Apa....ada sesuatu yang membuatmu memotong rambut?. Apakah...karna sosok itu yang menyuruhmu?..."

Sasuke menghela nafas, menurunkan pundak sambil menautkan kedua tangannya erat.

" Hmm...salah satunya itu.."

" Benarkah?."

Sasuke semakin memerah, kali ini sampai tangan.

"Seperti apa..dia?.."

Awalnya Sasuke melirik ibunya ragu, lalu mulai rileks. Tentu, Mikoto masihlah seorang ibu. Sentuhannya sebagai ibu tidak akan bisa dikalahkan oleh siapapun. Mikoto sudah yakin sekali jika lewat pertanyaan memancing dan bersuara pelan, maka Sasuke akan membuka diri dengan sendirinya. Istilah lain dari Mikoto yang tiba-tiba seperti detektif, mengorek info soal calon mantu.

*
*
*

Yak, sampai disini dulu. Saya tidak bisa berkata banyak, sadar diri karna jarang up...rasanya mau ngubur muka ini ke bantal trus tidur (LHO?!). Okeh, see you next chap!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tomato OrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang