03. Hilangnya Mood Seorang Renatta
💮💮💮
"Pada dasarnya rasa sakit itu berawal dari rasa cinta yang terlalu dalam."
— Renatta —💮💮💮
Pagi hari telah tiba. Jam menunjukkan pukul 6 tepat. Matahari pun telah menunjukkan wujudnya, hingga semburat warna kuning keemasan muncul menggantikan langit gelap nan kelam menjadi terang benderang. Cahaya yang selalu Jaevan suka itu juga telah menembus jendela kamarnya. Cuaca hari ini terlihat bagus, cerah seperti hati Jaevan saat ini, entah nanti bagaimana, Jaevan tidak terlalu memikirkannya.
Sebelum keluar dari kamar, Jaevan menatap pantulan dirinya dari cermin yang tertempel di dinding. Memastikan bahwa dirinya sudah tampan dan rapi, dengan seragam sekolah yang melekat dengan sempurna di tubuhnya. Jaevan berdecak kagum setelah beberapa detik dia melamun.
"Widih, gue kok cakep banget yak ...," pujinya pada bayangan di cermin seraya menyisir rambut dengan jari-jari tangannya. Dengan cengiran khas yang dimiliki, dia tertawa kecil.
"Bingung dah gua, udah cakep sama ganteng gini tapi Renatta malah sukanya sama si Nanang, ck," kesal Jaevan, tapi dia tetap tidak melunturkan senyumnya.
"Padahal kalau diliat, cakepan juga gue. Hhh, bener kata Tania, si bule lokal matanya memang kudu dicek."
Setelah puas memuji ketampanan yang dimiliki ... umm lebih tepatnya mengecek apakah dirinya sudah siap menghadapi tantangan hari ini dan memberi semangat untuk dirinya, pria itu segera mengambil tas ransel lalu mengambil hoodie berwarna hitam miliknya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia lebih suka mengenakan hoodienya yang berwarna hitam, timbang warna tosca yang sering ia gunakan.
Setelah mengecek segala keperluan sekolah, Jaevan keluar dari kamar dengan tas yang menggantung di bahu kanannya. Menuruni anak tangga satu persatu dengan hati-hati. Takut jika derap langkah yang tercipta akan menggangu papanya.
Sampai di anak tangga terakhir pria itu mengedarkan pandangannya, terlihat sepi. Sepertinya papa berangkat kerja lebih awal, itu yang Jaevan pikirkan sebelum akhirnya ia mengedikkan bahu kemudian berjalan menuju pintu keluar.
"Bang Jev."
Suara tersebut membuat Jaevan menolehkan kepalanya ke sumber suara.
"Loh, Gib? Belom berangkat?" Tanya Jaevan dengan tangan kanan yang sibuk memegang lengan tas di bahunya. Gibran menggeleng, menandakan bahwa pria berumur satu tahun lebih muda dari Jaevan itu belum berangkat sekolah.
"Anterin Gibran ke sekolah dong, papa uda berangkat dari jam empat pagi tadi," Ujar Gibran dengan wajah memohon. Jaevan sempat terkekeh kecil, Gibran — adiknya itu sangat menggemaskan di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Here [On Going]
Teen FictionSetiap manusia yang ada di dunia pasti memiliki kisahnya masing-masing. Sama seperti malam yang bingung harus memilih antara indahnya Bulan atau terangnya Bintang. Seperti Hujan yang setia dengan gemuruh Petir, sekalipun terlihat menakutkan. Atau se...