11. Rembulan itu Bisa Lelah
🌻🌻🌻
"Kadang hidup itu perlu rasa sedih untuk dapat merasakan bahagia, juga perlu rasa sakit untuk membuatnya lebih kuat."
— Jaevandra —🌻🌻🌻
Bagi Winata, sudah biasa jika suasana makan malam itu terasa kaku, tidak pernah ada yang memulai hangatnya obrolan ringan, sekedar mengisi keheningan atau mempererat hubungan, namun tentu saja Winata adalah manusia normal yang tidak suka dan tidak terbiasa dengan kecanggungan serta ketegangan, bedanya Winata tidak menunjukkan rasa ketidaknyamanannya. Pria itu lebih suka makan sendiri, di dalam kamar seperti yang biasa ia lakukan.
Entahlah, Winata sendiri tak tebiasa dengan suasana makan malam bersama. Seperti saat itu, papanya mengajak makan malam bersama, secara sederhana, tentunya digelar dalam rumah. Dengan berbagai menu makanan yang telah disiapkan, namun tak ada satupun yang Winata minati selain rendang daging beserta tahu goreng.
Dulu saja, papanya tidak pernah ada waktu bagi Winata. Setiap kali dirinya ingin menghabiskan waktu dengan sang papa, beliau pasti menolak, dengan alibi menyelesaikan tugas-tugas kantor. Pria itu sendiri tentunya tidak mau mengganggu atau merepotkan sang papa, pada akhirnya juga Winata tak sedekat itu dengan orang yang telah membesarkan dirinya, karena jarang ada interaksi antara mereka, jika adapun pasti Winata hanya akan mendapati kata-kata pedas dan larangan dari sang papa.
"Apa kamu sudah memenuhi perintah papa?"
Seolah tak peduli jika ada orang didepannya, Winata terus melahap makanannya. "Yang mana?" Winata merespon dengan pertanyaan tanpa mau menatap lawan bicaranya.
"Jangan pura-pura lupa, Winata. Papa tidak membesarkan kamu dalam waktu satu atau dua tahun saja," desisnya tidak suka dengan respon sang anak yang terkesan meremehkan perintah.
Pria itu — Winata — menghela nafas, kemudian bergumam meng-iya-kan tanpa menuruti dengan sungguh-sungguh. Winata tau jika papanya tidak sebodoh itu, ia ingin mengalihkan topik pembicaraan, namun Winata tak ingin berakhir dengan naas. Dan saat ini, tentu pria itu tau kemana arah pembicaraan yang dibuat oleh papanya.
"Ingat Winata. Papa selalu mengawasi kamu dari jauh. Berhenti mencari tau tentang gadis itu, apalagi sampai kamu mendekatinya. Papa tidak akan segan melukainya, jika kamu berani melanggar larangan papa." Papanya berucap dengan nada datar namun ada getir tegas yang terselip.
Winata lebih memilih diam, dan menggeram rendah dalam kunyahannya. Kedua tangannya menggenggam garpu dan sendok dengan erat, tak peduli jika kuku jarinya menorehkan luka pada telapak tangan. Apa yang salah dengan gadis yang dia cintai? Bahkan Winata sendiri tidak tau mengapa papanya itu begitu membenci Renatta. Selalu saja Renatta yang menjadi ancaman. Sang papa benar-benar mengawasinya, sampai-sampai tahu dimana titik kelemahan seorang Winata. Jelas Winata tidak akan membiarkan sang papa menyentuh seujung kuku Renatta, bagaimanapun caranya gadis itu harus tetap aman. Sekalipun dengan cara yang sangat berbahaya dan beresiko.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Here [On Going]
Teen FictionSetiap manusia yang ada di dunia pasti memiliki kisahnya masing-masing. Sama seperti malam yang bingung harus memilih antara indahnya Bulan atau terangnya Bintang. Seperti Hujan yang setia dengan gemuruh Petir, sekalipun terlihat menakutkan. Atau se...