-happy reading!-
"Rubi mau Tante ini yang jadi istri Papa!" seru gadis itu sambil menunjuk Joy yang nyaris jantungan.
Gerakan tangan Deon terhenti dan Joy refleks menahan napas. Situasi macam apa yang mengelilingi mereka saat ini? Joy tidak berani menatap Rubi atau pun Deon. Seumur-umur menjadi budak korporat, belum pernah dia diberi perintah menikahi bosnya sendiri. Yang sering terjadi adalah dipaksa lembur dengan bayaran 'terima kasih' sampai tiba-tiba tipus dan cuma dikasih bingkisan buah oleh perusahaan.
"Tante mau jadi istri Papa, kan?" Rubi berdiri di hadapan Joy dengan wajah penuh harap.
Joy menelan ludah susah payah. Dia tidak mau berkata apa-apa, daripada akhirnya menyinggung Rubi dan terancam kehilangan pekerjaan. Menjadi pengangguran lebih buruk daripada menjadi perawan seumur hidup, setidaknya itu yang Joy pikir. Namun, beberapa detik kemudian terdengar tawa yang kelihatan sekali dipaksakan.
Deon pelakunya.
"Maaf, maaf. Anak saya kalau becanda emang suka kelewatan." Deon buru-buru menyelesaikan tanda tangan di kertas.
"Kok becanda?" seru Rubi, tak terima dengan ucapan sang ayah.
Deon bangkit dari kursi dan mengembalikan berkas tersebut kepada Joy yang sepertinya syok. Pria itu mengelus puncak kepala Rubi lalu tangannya turun untuk menutup mulut anaknya sambil terus tersenyum. Setelah kehilangan harga diri di mata sang anak, masa iya dia harus mengorbankan citranya di hadapan karyawan Winston Group sendiri?
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak," ujar Joy, segera melesat keluar ruangan.
"Iya, iya. Terima kasih."
"Ih, Papa!" Rubi memukul paha Deon sekeras yang ia mampu.
Senyum pria itu lenyap bergantian dengan wajah nelangsa. "Rubi nggak boleh main tunjuk-tunjuk orang kayak tadi. Nggak sopan, Nak."
"Tapi Rubi suka sama Tante tadi," balas Rubi, tak kalah keras.
"Suka nggak berarti harus dijadikan istri Papa dong. Kamu itu cuma kagum aja sama Tante Joy," ujar Deon, berusaha memberi pengertian kepada Rubi.
"Rubi nggak ngerti." Gadis itu melengos dan kembali ke sofa sambil memainkan iPad.
"Dan menikah itu nggak segampang kalau kamu minta makan roti bakar, Nak. Emang Papa laki-laki macam apa main disuruh menikah gitu aja?" seloroh Deon, dia mengendurkan simpulan dasi.
"Rubi bosen dibilang jadi anak duren terus," sahut Rubi, kedua alisnya berkedut karena kesal.
"Duren?" Kini Deon ikutan bingung.
"Iya! Padahal Rubi itu kan anak manusia, Pa. Tapi orang-orang suka bilang Rubi anak duren, kalau Papa punya istri, aku nggak akan dibilang anak duren lagi," sambung Rubi, dengan suara lebih kalem, tapi tetap kesal.
Deon nyaris kehilangan kata-kata. Tentu saja dia mengerti apa arti 'duren' yang dimaksud Rubi. Yang jelas bukan benar-benar buah durian seperti yang gadis itu pikir. Deon memperhatikan Rubi yang mulai menyetel lagu Psycho, anak itu sudah tenggelam dalam dunia fangirling sejak dini. Kalau dipikir-pikir, beban Rubi juga banyak untuk anak seusinya. Sebesar apa pun usaha Deon untuk menyempurna hidup sang putri, dimata orang-orang Rubi hanyalah bahan rasa kasihan.
"Rubi." Deon menghampiri gadis itu dan berlutut.
"Hm?"
"Rubi itu anak Papa, bukan anak duren. Nggak usah percaya sama orang lain, oke?" ujar Deon, meski suaranya beradu dengan Seulgi dalam vidio musik yang ditonton Rubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Bride ✅
Romance[DICARI ISTRI UNTUK PAPA!] ❝Kriteria: harus perempuan, nggak genit, nggak boleh pakai lipstik merah, harus sayang Rubi dan Sally.❞ Itu adalah isi dari selebaran yang ditulis Rubi menggunakan krayon. Dibantu dengan Carlos, bocah enam tahun itu menemp...