TLB - 11

37.9K 4.2K 94
                                    

-happy reading!-

Oke.

Joy memang terlalu meremehkan keturunan Winston. Dia pikir, Deon hanya akan mengajak dirinya makan di tempat biasa. Semacam kafe yang sedang digemari anak muda atau bahkan warung kaki lima. Namun, nyatanya mereka malah berhenti di sebuah restoran mahal yang menjual menu makanan khas Jepang. Sesungguhnya Joy ingin memastikan, tapi dia urungkan kembali karena takut terlihat tidak sopan.

"Kok diam?" tanya Deon, saat melihat Joy belum juga menyentuh makanan di meja.

Joy tersenyum kikuk. "Bapak duluan aja."

"Oke," kata Deon, sambil mengambil satu potong makanan dengan sumpit, lalu dia kembali melihat wanita itu. "Ngomong-ngomong, apa rencana kamu selanjutnya buat bisa kembalikan motormu itu?"

Joy yang sedang mengunyah makanan lantas terdiam. Ucapan Deon barusan seolah menyadarkan kalau mulai besok dia harus bertarung dengan para pengguna transportasi umum karena tarif ojek online dari rumah menuju kantor cukup menguras dompet. Meskipun dia sangat optimis bisa memeluk si Meti lagi, tapi Joy sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dia memang sudah tak sabar ingin memaki Ersa, tapi lagi-lagi hanya itu yang bisa dia lakukan. Mau dia tekan sekeras apa pun, Ersa tidak akan bisa menebus si Meti dalam semalam.

"Saya juga belum tahu, Pak. Bahkan, saya nggak tahu nominal yang harus dibayar buat nebus motor saya," kata Joy, mendadak sendu.

Deon hanya mengangguk-angguk. Urusan utang piutang memang hal paling rumit dalam hubungan antar manusia. Dia juga paling anti buat utang, tapi Petra selalu melarang dirinya untuk mengungkapkan itu kepada orang lain. Petra bilang, orang yang pada akhirnya memutuskan untuk meminjam uang, bukan karena mereka tidak bisa hemat dan menyesuaikan gaya hidup, di luar itu semua ada banyak alasan yang terkadang tidak mampu dipahami oleh segilintir orang meski mereka sama-sama manusia.

"Saya, sih, cuma berharap bisa melewati masa probation ini dengan lancar supaya diangkat jadi karyawan tetap," ujar Joy, seperti sedang bermonolog, tapi Deon tentu mendengar dengan sangat jelas.

"Saya bisa kabulkan itu," kata Deon.

Joy langsung mengangkat pandangan. "Cius, Pak?"

"Ciuslah," sahut Deon, dengan wajah penuh wibawa.

Wajah wanita 26 tahun itu lantas berubah sumringah. Dia ingin memekik kegirangan, tapi cukup tahu diri karena mereka ada di tempat umum. Lalu Joy teringat desas-desus anak kantor yang mengatakan kalau mereka bisa mempertahankan posisi di kantor pusat alias tempatnya bekerja sekarang, jenjang karir yang ia dapat bisa jauh lebih besar.

"Saya boleh request lagi nggak, Pak?" Joy meletakkan sumpit di atas mangkuk dan menatap Deon dengan sopan.

"Sebut aja apa pun yang kamu mau," kata Deon, bak sugar daddy kepada sugar baby-nya.

"Saya mau tetap di kantor pusat, Pak. Jangan dipindah ke luar kota, ya. Soalnya ibu saya kan tinggal sendiri di Jakarta, jadi nggak tega kalau nanti saya nggak ada di rumah," ujar Joy, beserta dusta kecil. Padahal harapan sesungguhnya adalah dia ingin lepas dari keluarganya.

Deon mengangguk sambil menggigit sumpit. "Bisa diatur."

Joy tak tahan untuk tidak tersenyum. "Pak Deon baik banget, sih. Saya nggak nyangka bisa ketemu atasan sebaik Bapak. Pantas aja Winston Group jaya terus."

Deon tersenyum mendengar betapa manisnya mulut Joy saat ini, berbanding terbalik dengan insiden waktu mereka terkunci di kamar Rubi beberapa waktu silam. Ah! Hampir saja dia melupakan tujuannya mengajak Joy jauh-jauh makan di restoran Jepang yang sangat privat ini agar tidak dilihat orang-orang kantor.

The Last Bride ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang