TLB - 07

38K 4.5K 94
                                    

-happy reading!-

"Jadi gitu ceritanya, Pak," ujar Carlos, setelah ditekan Deon untuk menjelaskan yang sebenar-benarnya mengapa kemarin malah Joy yang mengantar Rubi pulang. Ini sangat bahaya karena baru kali ini Deon marah dengan nada rendah dan suara dingin, kalau begini Deon mirip sekali dengan CEO-CEO yang ada di film atau novel. Karena biasanya pria itu tak punya wibawa sama sekali.

"Kamu pikir Rubi itu anak siapa? Seenaknya kamu oper dia ke orang lain tanpa izin dulu dengan saya. Kalau Rubi diculik atau dibawa kabur, kamu mau tanggung jawab?" semprot Deon, masih dengan posisi duduk yang sama.

"Maaf, Pak. Saya kira Non Rubi akan senang kalau Joy yang antar," sahut Carlos, tak berani menatap mata Deon.

"Los, tugas kamu itu jaga anak saya. Jangan pikir saya nggak tahu kalau kamu sengaja pilih Joy buat antar Rubi pulang. Nggak usah ikutan jadi Mak Comblang," kata Deon, jengkel.

Carlos mengangguk. "Iya, Pak. Maaf."

"Kalau urusan percintaan kamu saya recokin? Saya larang kamu izin buat ketemu calon mertua kamu itu, gimana?" tanya Deon.

"Kesal, Pak," jawab Carlos, spontan, tapi dia buru-buru meralat. "Anu, maksud saya, kesal sama diri sendiri."

Deon memijat pelipis dengan tangan yang tertahan di pegangan kursi. "Kamu keluar, deh."

"Saya nggak dipecat kan, Pak?" tanya Carlos memastikan.

"Kamu mau saya pecat?" Deon mengangkat pandangan.

Carlos segera menggeleng kuat. "Kalau begitu, saya permisi dulu."

Deon menghela napas dan bersandar pada kursi. Benar saja kalau memang Carlos adalah dalang dari kejadian kemarin meskipun bagian terkunci di kamar adalah murni ide Rubi. Jika mengingat hal tersebut, pria itu langsung mendadak kesal sendiri. Dia hanya merasa tidak ada yang berhak memilihkan pasangan hidupnya, selain diri sendiri. Lagipula dia sudah memilih Kiara sejak awal dan wanita itu benar-benar menjadikan dia pasangan sampai maut memisahkan.

Deon terus berpikir. Apakah adil jika dia menikah lagi? Apakah Kiara akan merestui? Dia sangat bimbang. Bukan berarti Deon tidak mau membuka hati, hanya saja dia merasa seperti ada yang tertahan dan membuat dia tak tergugah setiap melihat wanita.

"Aku harus apa, Ki?" Deon bermonolog sambil menatap figura putih yang ada di sudut meja. Foto Kiara dengan gaun pengantin yang tak pernah tergeser oleh apa pun sejak mereka menikah delapan tahun lalu.

Ini memang hanya tentang perasaan dan ketakutan Deon. Sebab, setiap Kiara hadir dalam mimpinya, Deon selalu menganggap bahwa itu petunjuk kalau wanita tersebut masih ada meski tak mampu dia lihat. Bahwa Kiara masih tak mengizinkan siapa pun untuk merebut posisinya dari hati Deon.

"Permisi, Pak."

Lamunan pria itu buyar, dia langsung menoleh ke pintu. Ada Dwi di sana.

"Kenapa, Dwi?" tanya Deon.

Wanita dengan lipstik merah cabe itu masuk. "Saya mau kasih info kalau nanti jam dua, Bapak ada meeting dengan Pak Pius di Taman Anggrek."

"Bukannya itu besok?"

"Pak Pius minta diubah hari ini saja dan kebetulan jadwal Bapak kosong. Jadi, tadi langsung saya approve karena Pak Pius bilang besok dia ada keperluan," terang Dwi.

Deon mengangguk. "Ya, sudah. Ketemu di mananya?"

"Kata sekretaris Pak Pius, bakal dihubungi nanti pas jam makan siang," ujar Dwi.

"Oke, makasih infonya," kata Deon.

Dwi tersenyum, tapi tak ada niat untuk meninggalkan ruangan. "Uhm, Bapak pergi sendiri?"

The Last Bride ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang