-happy reading!-
Petra melepas sabuk pengaman ketika mobilnya tiba di depan rumah sang bibi, Tina. Selesai melaksanakan rapat Q2 dengan tim finance, Petra langsung meninggalkan kantor. Sejak seminggu terakhir, konsentrasinya jadi sering buyar dan membuat Petra lelah sendiri. Fisiknya memang baik-baik saja, tapi dia tahu justru batinnyalah yang terguncang. Selepas hari ini, Petra berencana untuk mengajukan cuti kepada Deon.
"Tumben kamu sudah pulang jam segini."
Langkah kaki Petra langsung terhenti ketika dia mendengar suara wanita yang sangat ia kenali. Namun, Petra tak lantas menoleh dan tetap bergeming di tempat tanpa menjawab.
"Mau kabur lagi? Nggak capek pindah sana sini, numpang tidur di rumah orang sementara ada istri yang kamu tinggalin di rumah sendiri?" ujar Wulan, membeberkan apa yang Petra lakukan sejak satu minggu terakhir. Dia melangkah dan berhenti tepat di depan pria itu.
"Kamu kapan datang?" tanya Petra.
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Mas. Kamu sendiri ngapain ke rumah Bulik? Rumahmu itu bukan di sini," tegas Wulan, tak bisa lagi membendung amarah di wajahnya.
"Ya, udah. Kita omongin nanti aja. Masuk dulu," kata Petra, tak menunjukkan reaksi yang berarti dari emosi istrinya.
"Kamu mau pisah dari aku?" Wulan masih diam di tempat.
"Lan, kita di depan rumah orang sekarang. Nanti kalau ada tetangga Bulik yang dengar, nggak enak," ujar Petra, lalu dia menggenggam tangan Wulan dan membawa wanita itu masuk. Mereka menjauh dari garasi, tapi tidak sampai ke teras depan dekat pintu beranda.
"Benar kamu mau pisah dari aku?" tanya Wulan, sekali lagi.
"Aku belum ngomong apa-apa," kata Petra.
"Kalau gitu, ayo pulang," sahut Wulan, amarahnya sudah menurun sedikit demi sedikit. Sejujurnya dia sangat merindukan pria itu, dia ingin memeluk Petra yang selama satu minggu ini tak terlihat di pemandangannya. Namun, melihat sikap Petra yang dingin, bukan membuat Wulan marah, tapi justru sedih.
"Nggak sekarang," ucap Petra, pelan. Alih-alih menatap mata sang istri, dia justru menjatuhkan pandnagannya ke tas yang dibawa Wulan.
"Kenapa? Apa enaknya tidur di rumah orang lain kayak gini, sih, Mas?" cecar Wulan, tak habis pikir.
Petra menghela napas. "Mama masih di rumah kan?"
"Mama dan Linka mau jalan-jalan ke Bandung sama keluarga Om Ganesh hari Sabtu. Jadi, mau menginap dulu karena tanggung kalau harus balik ke Jogja," kata Wulan.
"Ya, udah. Sabtu aku pulang," ujar Petra.
"Kalau kamu nggak mau pulang hari ini, kita cerai, Mas," ucap Wulan.
"Wulan!" Pandangan Petra langsung tertuju penuh kepada sang istri. Dalam kamus hidup Petra, perceraian adalah hal yang paling dia takuti dan tak boleh terjadi. Petra mencintai Wulan dan itu fakta, sebesar apa pun masalah yang mereka hadapi.
"Makanya Mas pulang!" pekik Wulan, penuh amarah, tapi matanya memerah menahan tangis. "Mau sampai kapan kamu kayak gini? Sekali atau dua kali aku percaya kamu keluar rumah untuk menenangkan diri, tapi setiap keluargaku datang kamu selalu menghilang. Kamu nggak menghargai aku, Mas."
"Aku cuma nggak suka mereka ikut campur urusan rumah tangga kita. Kalau kamu nggak bisa menutup mulut mereka, ya biarkan aku pergi sebentar," balas Petra, emosinya ikut tersulut ketika Wulan berasumsi negatif tentangnya.
"Kita nggak perlu turutin apa yang mereka bilang, kita cuma tinggal dengarkan terus udah. Nggak perlu dibawa ke hati," ujar Wulan. Selama dia pun berusaha keras menjaga perasaan dan citra sang suami di depan keluarga besarnya, tapi Wulan sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menutup mulut keluarganya seperti yang Petra inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Bride ✅
Romansa[DICARI ISTRI UNTUK PAPA!] ❝Kriteria: harus perempuan, nggak genit, nggak boleh pakai lipstik merah, harus sayang Rubi dan Sally.❞ Itu adalah isi dari selebaran yang ditulis Rubi menggunakan krayon. Dibantu dengan Carlos, bocah enam tahun itu menemp...