-happy reading!-
*slight mature content*
🔞
.
.
.Ruangan yang biasanya sepi dan hanya diisi suara dari jari yang bertabrakan dengan keyboard, kini terasa hidup. Joy beberapa kali melirik Petra yang sedang berbincang dengan Wulan lewat telepon. Kadang-kadang dia terdistrak saking mesranya pasangan suami istri itu. Namun, Joy bisa mengerti dari mana datangnya kehangatan itu.
Sejak kabar ia mendengar kabar kehamilan Wulan dihari yang sama dia jadian dengan Deon, Petra bisa menelepon istrinya tiga sampai empat kali dalam sehari. Terkadang dia mempertanyakan, apa telinga mereka tidak panas terlalu sering teleponan? Tapi Joy tidak mengurus masalah orang lain.
"Iya, sayang. Gampanglah. Nanti bisa bareng Deon. Kamu jangan capek-capek, kalau nggak ada Pak Muklis nggak usah nyetir sendiri. Iya, oke. See you, love you." Petra meletakkan ponselnya di meja, senyum dari wajah pria itu tak kunjung luntur. Lantas, dia teringat sesuatu dan segera memanggil sekretarisnya. "Joy, kamu lagi sibuk?"
Wanita itu menggeleng pelan. "Cuma lagi susun data yang dikasih Mbak Raya kemarin sore."
"Oh, oke. Tinggal aja dulu, itu nggak urgent kok," kata Petra, lalu dia mengambil map biru dari laci yang ada di sebelah kiri. "Ini tolong kamu kasih ke Deon."
Joy bangkit dari kursi dan menerima map yang Deon berikan. Ternyata itu adalah proposal kerjasama dari perusahaan di bidang lain. Setahu Joy, Winston Group memang menerima beberapa kerjasama jangka pendek sebagai cara mereka menjalin 'pertemanan' antar perusahaan. Namun, sejak Deon naik tahta menggantikan sang ayah, perusahaan yang diterima semakin lama semakin sedikit karena pria itu benar-benar pemilih.
"Suruh dia tanda tangan hari ini juga, jangan terima alasan apa pun kalau dia nolak. Pokoknya kamu paksa atau apa kek," lanjut Petra.
"Oke, Pak." Joy meringis dalam hati. Perintah itu terlalu sulit dikabulkan. Mana ada karyawan yang bisa menentang bosnya sendiri. Terlebih Deon adalah CEO, bukan atasan biasa.
Dia keluar dari ruangan dan pergi ke lantai tujuh sambil mendekap map yang diberikan Petra. Sudah dua minggu sejak hubungannya dengan Deon resmi menjadi pasangan dan belum ada seorang pun yang tahu mengenai status mereka. Petra yang peka juga mendadak takt ahu apa-apa, mungkin karena perhatiannya sedang terdistrak oleh keluarga kecilnya. Di satu sisi Joy merasa lega, tapi di sisi lain dia memikirkan bagaimana dirinya harus bersikap ketika nanti orang-orang tahu kabar ini.
Joy melangkah keluar lift. Kadang kala dia merasa seperti sedang lari dari kenyataan, masalah keluarga yang belum ia selesaikan, melupakan masa lalu pahit dengan Kevin, dia balut dengan kehadiran Deon. Namun, setiap kali berinteraksi dengan pria itu, Joy selalu merasa senang dan tak bisa menampik perasaannya.
"Permisi." Joy mengetuk pintu ruangan Deon.
"Masuk."
Mendengar suara pria itu, Joy langsung membuka pintu. Deon segera meninggalkan perhatiannya dari PC saat melihat siapa yang masuk. Senyumnya mengembang, beruntung dia sudah mengusir Carlos setengah jam yang lalu.
"Disuruh Pak Petra," kata Joy, seraya mengangkat map yang dia bawa sebelum Deon bertanya.
"Apa ini?" Deon menerima map dari Joy.
"Proposal kerjasama antar perusahaan, kamu harus tanda tangan sekarang juga. Pak Petra harus segera susun rencana dan jadwalnya," kata Joy. Kalau dia berhasil meringankan pekerjaan Petra, dia juga yang akan kena dampak baiknya.
"Oke." Deon mengambil bolpoin dan segera membubuhkan tanda tangan di setiap lembar proposal.
Sementara itu, Joy berjalan menuju jendela tanpa gorden di belakang pria itu. Matanya dimanjakan dengan gedung pencakar langit yang terkesan indah bila dilihat dari ketinggian. Joy melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya, dia jadi merindukan motornya. Si Meti belum juga kembali dan mungkin sudah dijual oleh pihak debt collector. Ada sedikit keinginan Joy untuk pulang, karena biar bagaimana pun rumah itu adalah peninggalan satu-satunya milik sang ayah. Namun, dia enggan bertemu ibunya apalagi jika ada Ersa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Bride ✅
Romance[DICARI ISTRI UNTUK PAPA!] ❝Kriteria: harus perempuan, nggak genit, nggak boleh pakai lipstik merah, harus sayang Rubi dan Sally.❞ Itu adalah isi dari selebaran yang ditulis Rubi menggunakan krayon. Dibantu dengan Carlos, bocah enam tahun itu menemp...