-happy reading!-
Deon menutup map terakhir yang harus dia tanda tangani sebelum meninggalkan ruangan kerja. Tadi pagi dia sudah bergelut dengan batinnya untuk pergi ke kantor atau tidak. Mengingat bekerja dalam keadaan penuh khawatir terhadap Rubi sangatlah tidak nyaman, dia ingin berada di sisi gadis kecil itu. Namun, ucapam sang ibu benar-benar telak dan membuat Deon langsung memutuskan untuk pergi ke kantor saja.
“Udahlah, nggak perlu terlalu khawatir. Lagipula di sini ada Mama dan Wulan. Kamu datang juga bakal diusir sama Rubi.” Begitu kata Tina, ketika Deon terlihat bimbang.
Rubi memang masih menutup pintu maaf darinya. Siang tadi dia sempat melakukan panggilan video bersama Tina, tapi Rubi hanya buang muka tak peduli dengan apa saja yang Deon bicarakan. Sungguh menyakitkan tidak diacuhkan oleh anak sendiri. Maka dari itu, Deon tidak ingin membiarkan situasi ini terjadi lebih lama. Sebelum Rubi sungguh-sungguh membencinya, dia harus memberikan penawar agar anaknya kembali luluh.
“Pulang, Pak?” tanya Carlos, ketika Deon baru keluar dari lift.
“Nggak, mau menginap,” sahut Deon asal, sambil terus melangkah menyusuri lobi.
Carlos mingkem, tapi dia tetap penasaran dan membuntuti pria itu. “Non Rubi gimana kabarnya, Pak?”
“Nggak apa-apa, tinggal rawat luka fisiknya aja,” kata Deon, dia jadi mendadak melow.
“Maaf kemarin saya sudah lalai. Saya janji nggak akan terulang lagi,” kata Carlos, ketika mereka sudah mencapai ambang pintu masuk.
Deon berhenti dan menoleh. “Udahlah. Berapa kali kamu minta maaf dari kemarin? Bukan sepenuhnya salah kamu juga. Saya aja sebagai orang tuanya masih nggak becus.”
Carlos tertegun. Dia bisa melihat hawa nelangsa dari wajah Deon. Kalau sedang seperti ini, Carlos benar-benar kasihan dengan bosnya. Deon memang terlahir dengan berbagai kesempurnaan, mulai dari latar belakang keluarga hinga fisik yang mampu membuat banyak orang merasa iri. Namun, terkadang bila ada di posisi pria itu pun, belum tentu pundaknya akan setegar Deon. Pria itu hanya terlalu pandai berkamuflase lewat wajah konyolnya.
“Hari ini nggak beli Teh Sisri, Pak?” tanya Carlos, barangkali itu bisa membuat suasana hati Deon menjadi lebih baik, tapi pria blasteran tersebut hanya mengibaskan tangan.
“Lagi mengurangi gula biar awet muda,” kata Deon.
Carlos hanya cengar-cengir.
“Saya duluan.” Deon pun melanjutkan langkah menuju parkiran.
Namun, beberapa langkah lagi sampai mobil, dia berhenti. Deon baru ingat mengenai rencana bertemu dengan Joy, tapi saat dia menoleh ke pintu masuk Carlos sudah tidak ada. Padahal tadinya Deon ingin meminta tolong pria itu untuk menjembatani pertemuan dengan Joy. Deon putuskan untuk berbicara dengan Carlos esok hari, tapi saat dia baru saja ingin membuka pintu mobil terdengar keributan tak jauh dari tempat dirinya berdiri.
“Ya, nggak bisa gitu dong! Motor ini bukan milik dia, mana bisa dijadikan jaminan?”
Deon yang kepo langsung menoleh ke sumber suara. Sebuah motor berwarna putih sedang diperebutkan oleh seorang wanita dan pria dengan balutan jaket hitam. Yang memancing rasa penasaran Deon bukanlah keributan itu saja, tapi dua orang itu berada di jalur keluar kantor. Otomatis Deon berpikir kalau salah satu dari orang tersebut mungkin saja karyawan Winston Group. Merasa punya hak untuk menyingkirkan keributan itu, Deon meninggalkan mobil dan menghampiri dua orang tersebut.
“NGGAK! JANGAN SENTUH SI METI!” pekik wanita dengan kardigan hijau.
“Lo nggak punya hak! Motor lo ini udah dijadikan barang jaminan sama Ersa. Kalau dia nggak bisa bayar utang, ya udah seharusnya ini motor kita tarik. Kecuali lo mau bayarin,” kata pria itu, masih berusaha merebut kunci motor dari tangan si wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Bride ✅
Romance[DICARI ISTRI UNTUK PAPA!] ❝Kriteria: harus perempuan, nggak genit, nggak boleh pakai lipstik merah, harus sayang Rubi dan Sally.❞ Itu adalah isi dari selebaran yang ditulis Rubi menggunakan krayon. Dibantu dengan Carlos, bocah enam tahun itu menemp...