02. Rail Line

919 136 12
                                    

Nyaris untuk beberapa alasan, Jian berharap kalau pernikahan itu terlihat sesederhana seperti apa yang ia pernah saksikan di dalam kisah fiksi picisan. Seorang lelaki sempurna, seorang istri yang sempurna, tidak perlu repot memikirkan uang bulanan, keperluan keluarga, tabungan, rencana masa depan, biaya pendidikan sekolah anak-anak, sampai menjaga hubungan baik dengan mertua.

Namun fakta selalu terdengar getir nan pahit. Realita tidak pernah akan bisa dibubuhi serbuk gula oleh penulis fana mana pun yang mengidamkan kebahagiaan eternal. Itulah mengapa si gadis kerap menahan tawa saat membaca kisah setengah khayal yang diobral dalam buku romansa. Saat kamu mempertemukan dua kepala manusia untuk hidup bersama dalam ikatan sakral, maka jelas ada banyak hal yang patut dipertimbangkan, dihadapi, dan direncanakan. Jika tak mampu, status dan kesehatan mental yang menjadi taruhannya.

"Aku menyukaimu," ujar beberapa pria yang pernah mampir datang ke dalam hidupnya, menyodorkan perasaan, berharap disambut manis. "Barangkali kau mau mengambil satu atau dua kesempatan untuk berkencan denganku?"

Tiap kali momen tersebut terjadi, Jian masih bisa merasakan perutnya melilit, dadanya sesak. Jawabannya selalu sama—hampir terasa seperti respon robot penjawab telepon yang kamu temui tiap kali sambunganmu dialihkan—sebelum ia akan menjawab, "Maafkan aku dan terima kasih. Untuk sekarang, aku hanya sedang tidak berminat untuk membangun hubungan semacam itu dengan siapa pun. Aku harap kau bisa mengerti. Aku sungguh menyesal."

Lalu sang lawan akan buru-buru melarikan diri sebab tak kuasa meneguk atmosfer canggung yang menyeruak ke dalam udara. Jadi jika ditanya mengapa ia menerim lamaran pria bermarga Jeon ini, Jian tidak benar-benar yakin.

Mungkinkah karena ibunya? Mungkinkah karena ia merasa ada koneksi diantara dirinya dan Jungkook? Mungkinkah karena dirinya mendadak sudah siap? Namun jika dipikir kembali, ukuran siap atau tidaknya seseorang itu bisa ditakar dari sisi apa jika tidak mencoba sendiri? Namun mengingat lagi, pernikahan juga bukan lotere yang bisa kamu coba-coba seenaknya.

Menahan napas, membiarkan isi kepalanya berkelana dan memandang salju yang perlahan turun di luar jendela kereta, Jian menghela napas. Jarak semakin terkikis, rumah ditinggalkan jauh di belakang sana. Sejak meninggalkan Stasiun Gwangmyeong, semuanya sekarang terlihat seperti marshmallow yang dilelehkan dalam mangkuk, bertumpuk menggunung kecil di sana-sini.

"Aku dengar kau mengajukan cuti untuk mengunjungi keluarga calon suamimu, ya, Ji?" ujar Boram—beberapa hari yang lalu saat kabar mengenai dirinya hendak menikah dan mengajukan cuti mendadak tersebar seantero kantor.

Mendengarkan Boram berceloteh, Jian menghela napas. Ia tidak seharusnya bercerita pada perempuan riang yang satu ini. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Jadi di sana, memandang tumpukan berkas yang mesti diselesaikan, Jian menemukan sang rekan kerja melanjutkan antusias, "Aku harap hal baik akan selalu berada dalam genggamanmu. Semua orang di kantor bahkan sedang membicarakan dirimu, lho. Mereka bilang, laki-laki macam apa yang sudah membuat Ratu Es Abad Dua Puluh Satu kita jadi meleleh."

Jian mendengus. Julukan aneh. Tetapi ia tetap tersenyum diam-diam. "Apa itu seharusnya menjadi sebuah pujian?"

Boram tertawa. Suaranya melunak, "Aku harap dia benar-benar akan menjadi pendamping hidup dan matimu. Aku bersungguh-sungguh."

Jian mengetukkan jemarinya di atas meja, mengangguk perlahan dalam diam, berusaha menepis keraguan dan berharap bahwa itu memang benar adanya. Namun sebelum memori tersebut kembali memanjang selayaknya malam purnama, wajah Boram mendadak tergantikan dengan seraut wajah lain—satu sosok pemuda bermata rusa yang kemudian berkata setengah merajuk, "Aku bisa menunggu kamu mengajukan cuti kantor," ujar Jungkook beberapa hari yang lalu. "Setelah itu, kita bisa pergi ke Busan bersama-sama. Memikirkan kamu pergi sendiri, aku jadi tidak bisa tidur semalaman."

SomersaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang