Sebagai putra sulung Keluarga Jeon yang berasal dari putra bungsu atas dua bersaudara, Yoongi mengerti benar bahwa ia memiliki banyak sekali tanggung jawab yang mesti dipikul. Tak peduli ia mau atau tidak, lelah atau tidak, rela atau tidak. Mereka bukan sesuatu yang pantas dipertimbangkan. Sesuatu yang disebut sebagai perasaan itu merupakan hal yang tak perlu dibesar-besarkan, apalagi dinomorsatukan.
Jadi tak heran kalau kakeknya sempat berkata pada satu waktu, "Ketika seorang manusia ditahtakan sebuah mahkota yang terbuat dari emas serta permata, maka ia juga sudah diharuskan mampu menyandang beban dan beratnya, Yoongi." Memandang cangkir teh hitam yang mengepul pahit di atas meja, pria tersebut menatap cucunya lurus seraya melanjutkan, "Kau pasti akan merasa lelah, tetapi memang beban semacam itulah yang harus dibawa seorang pria. Jangan merengek, jangan mengeluh, dan jangan pernah membuat malu nama keluarga. Sebab jika demikian, bobot mahkotanya justru akan meremukkanmu tanpa ampun."
Yoongi masih berusia lima belas tahun kala itu. Rasanya seperti dijatuhi sepetak langit berukuran masif yang luar biasa berat. Tak adil, pikirnya. Apa cuma dia yang merasa tekanan besar seperti ini? Dia juga ingin membolos sekolah sesekali bersama teman-temannya, pergi ke warung internet untuk bermain game, atau bahkan sekadar mendapatkan detensi ringan sebab tak mengenakan sabuk sekolah. Jadi tatkala kakak ayahnya menikah dan memiliki seorang putra yang lahir tak sampai sembilan bulan lamanya setelah pernikahan, Yoongi secara sederhana berpikir, "Ah, setidaknya tanggung jawab yang diembankan padaku takkan kubawa sampai mati seorang diri."
Well, itu jelas harapan kosong sebab nyaris tak ada hal yang berubah bahkan setelah belasan tahun berlalu hingga sekarang.
"Ayah, tadi pagi sebelum berangkat bekerja, Bunda bilang Ayah mau pergi ke rumah Oma, ya?"
Yoongi sejenak terkesiap. Memorinya menghilang dalam hitungan detik, memalingkan wajah dan menemukan buah hatinya sudah berdiri di ambang pintu kamar, ia sontak tersenyum tipis. "Iya. Oma katanya membuat kimchi *), jadi Ayah diminta datang untuk mengambilnya. Bunda 'kan suka kimchi." Yoongi mengancingkan kemejanya, melangkah menuju pintu dan mengusap pipi tembam si kecil saat bertanya. "Miya mau ikut?"
"Boleh?"
"Boleh, dong. Tapi ambil dulu mantelnya dari dalam kamar."
"Hari ini tidak turun salju, kok, Yah."
"Tapi 'kan tetap dingin. Miya mau ikut, tidak?"
"Huhuu, iya, deh."
Yoongi menggelengkan kepala, menunggu sejenak lalu mengulurkan tangan yang disambut hangat tatkala si kecil kembali dengan berbalut mantel. Mengenakan jaketnya sendiri, Yoongi lantas menggenggam jemari mungil yang bahkan sanggup ia rengkuh sempurna. Pernikahan ini juga, pikirnya. Semua sudah direncanakan, semuanya sudah dibuat sebelum ia tahu. Membawa nama Keluarga Jeon hampir terdengar seperti dilahirkan ke dalam tatanan hidup yang telah dipersiapkan sejak lama. Tak boleh menunjukkan kelemahan, melayangkan protes, dan harus menundukkan kepala guna menaruh hormat.
Kakek-neneknya memperhatikan tradisi, menghormati leluhur, taat kepada agama. Mereka memiliki reputasi bagus, dihormati, juga tersohor. Yang mana artinya, Yoongi juga harus mengerti dia sudah sepatutnya mengambil peran di dalamnya. Prinsip hidupnya sudah dibentuk sedemikian rupa: ia adalah seorang pria dan pria tak boleh menjadi makhluk lemah yang mudah dipatahkan. Tak peduli kalaupun seluruh engsel tubuhnya terlepas dan ia berserakan menjadi kepingan. Termasuk diam saat tahu apa yang seharusnya dikubur dalam lubang hitam keluarga mereka. Rahasia kelam lama, perasaan yang tak tersampaikan, serta hitam pekat yang berkubang di dalam Rumah Utama.
"Ayah, kira-kira pohon mangganya Oma sudah berbuah lagi belum, ya?"
Yoongi yang mengunci pintu rumah, kembali menggenggam jemari putrinya saat berjalan keluar pagar, sontak menaikkan satu alis geli. Setelah memastikan pagar rumah juga sudah terkunci aman, ia mengikuti sepanjang trotoar kecil, menggandeng putrinya menuju rumah sang ibu. "Bukannya musim semi yang lalu Miya baru saja diberi mangga oleh Kak Kanna?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Somersault
FanfictionSebenarnya, Song Jian mengerti bahwa pernikahannya dengan Jeon Jungkook takkan berjalan normal, apalagi terasa semanis dan sehangat yang semua orang pikirkan. Tetapi dunia yang perempuan tersebut genggam memiliki dinding yang tak bisa dihancurkan se...